| Asava | Delapan Jalan Utama |
1. | Kilesa | | 3. Ucapan Benar
4. Perbuatan Benar
5. Pencaharian Benar | | Sila |
|
2. | Nivarana | | 6. Daya-upaya Benar
7. Perhatian Benar
8. Konsentrasi Benar | | Samadhi |
3. | Anusaya | 1. Pengertian Benar
2. Pikiran Benar | | Pañña |
1. KITAB SUCI AGAMA BUDDHA
Kitab Suci Agama Buddha yang tertulis dalam Bahasa Pali adalah
TIPITAKA, yang terdiri dari :
- Vinaya Pitaka yang berisikan tata-tertib bagi para bhikkhu/bhikkhuni.
- Sutta Pitaka yang berisikan khotbah-khotbah Sang Buddha
- Abidhamma Pitaka yang berisikan Ajaran tentang metafisika dan ilmu kejiwaan.
Sedangkan yang tertulis dalam bahasa Sansekerta adalah :
- Avatamsaka Sutra.
- Lankavatara Sutra.
- Saddharma Pundarika Sutra.
- Vajracchendika Prajna Paramita Sutra (Kim Kong Keng), dan lain-lain.
2. KESUNYATAAN DAN KENYATAAN
- Paramatha-sacca : Kebenaran mutlak (absolute truth), dan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- Harus benar.
- Tidak terikat oleh waktu ; waktu dulu, sekarang dan waktu yang akan datang sama saja.
- Tidak terikat oleh tempat ; di sini, di Amerika ataupun di bulan sama saja.
- Sammuti-sacca : Kebenaran relatif ; berarti bahwa sesuatu itu benar, tetapimasih terikat oleh waktu dan tempat.
3. EHIPASSIKO
Ehipassiko berarti “datang dan alamilah sendiri”. Umat Buddha
tidak diminta untuk percaya saja, tetapi justru untuk mengalami
sendiri segala sesuatu. Ini menunjukkan khas Buddhis, berbeda
dengan apa yang diajarkan oleh Agama-agama lain.
4. EMPAT KESUNYATAAN MULIA
I. |
Kesunyataan Mulia tentang Dukkha |
Hidup dalam bentuk apa pun adalah dukkha (penderitaan) : |
a. |
dilahirkan, usia tua, sakit, mati adalah penderitaan. |
b. |
berhubungan dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan. |
c. |
ditinggalkan oleh orang yang dicintai adalah penderitaan. |
d. |
tidak memperoleh yang dicita-citakan adalah penderitaan. |
e. |
masih memiliki lima khanda adalah penderitaan. |
Dukkha dapat juga dibagi sbb. : |
a. |
dukkha-dukkha |
- |
ialah penderitaan yang nyata,
yang benar dirasakan sebagai penderitaan tubuh dan bathin, misalnya
sakit kepala, sakit gigi, susah hati dll. |
b. |
viparinäma-dukkha |
- |
merupakan fakta bahwa semua perasaan
senang dan bahagia –berdasarkan sifat ketidak-kekalan– di
dalamnya mengandung benih-benih kekecewaan, kekesalan
dll. |
c. |
sankhärä-dukkha |
- |
lima khanda adalah penderitaan ; selama masih ada lima khanda tak mungkin terbebas dari sakit fisik. |
II. |
Kesunyataan Mulia tentang asal mula Dukkha |
Sumber dari penderitaan adalah tanhä,
yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya.
Semakin diumbar semakin keras ia mencengkeram. Orang yang pasrah
kepada tanhä sama saja dengan orang minum air asin untuk
menghilangkan rasa hausnya. Rasa haus itu bukannya
hilang, bahkan menjadi bertambah, karena air asin itu
yang mengandung garam. Demikianlah, semakin orang pasrah
kepada tanhä semakin keras tanhä itu mencengkeramnya.
Dikenal tiga macam tanhä, yaitu : |
1. |
Kämatanhä : kehausan akan kesenangan indriya, ialah kehausan akan :
a. bentuk-bentuk (indah)
b. suara-suara (merdu)
c. wangi-wangian
d. rasa-rasa (nikmat)
e. sentuhan-sentuhan (lembut)
f. bentuk-bentuk pikiran |
2. |
Bhavatanhä : kehausan untuk lahir
kembali sebagai manusia berdasarkan kepercayaan tentang adanya “atma
(roh) yang kekal dan terpisah” (attavada). |
3. |
Vibhavatanhä : kehausan untuk memusnahkan
diri, berdasarkan kepercayaan, bahwa setelah mati tamatlah
riwayat tiap-tiap manusia (ucchedaväda). |
III. |
Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya Dukkha |
Kalau tanhä dapat
disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan yang bahagia sekali,
karena terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan
ini dinamakan Nibbana. |
a. |
Sa-upadisesa-Nibbana |
= |
Nibbana masih bersisa. Dengan ‘sisa’ dimaksud bahwa lima khanda itu masih ada. |
b. |
An-upadisesa-Nibbana |
= |
Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa
atau juga dinamakan Pari-Nibbana. Sang Arahat telah beralih
ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Misalnya, kalau api padam, kejurusan mana api itu pergi? jawaban
yang tepat : ‘tidak tahu’ Sebab api itu padam karena
kehabisan bahan bakar. |
IV. |
Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha |
Delapan Jalan Utama
(Jalan Utama Beruas Delapan) yang akan membawa kita ke Jalan Menuju
Lenyapnya Dukkha, yaitu : |
Pañña |
|
1. |
Pengertian Benar (sammä-ditthi) |
2. |
Pikiran Benar (sammä-sankappa) |
Sila |
|
3. |
Ucapan Benar (sammä-väcä) |
4. |
Perbuatan Benar (sammä-kammanta) |
5. |
Pencaharian Benar (sammä-ajiva) |
Samädhi |
|
6. |
Daya-upaya Benar (sammä-väyäma) |
7. |
Perhatian Benar (sammä-sati) |
8. |
Konsentrasi Benar (sammä-samädhi) |
|
Delapan Jalan Utama ini dapat lebih lanjut diperinci sbb. : |
1. |
Pengertian Benar (sammä-ditthi)
menembus arti dari : |
a. |
Empat Kesunyataan Mulia |
b. |
Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum) |
c. |
Hukum Paticca-Samuppäda |
d. |
Hukum Kamma |
2. |
Pikiran Benar (sammä-sankappa) |
a. |
Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian
(nekkhamma-sankappa). |
b. |
Pikiran yang bebas dari kebencian
(avyäpäda-sankappa) |
c. |
Pikiran yang bebas dari kekejaman
(avihimsä-sankappa) |
3. |
Ucapan Benar (sammä-väcä)
Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika dapat memenuhi empat syarat di bawah ini : |
a. |
Ucapan itu benar |
b. |
Ucapan itu beralasan |
c. |
Ucapan itu berfaedah |
d. |
Ucapan itu tepat pada waktunya |
4. |
Perbuatan Benar (sammä-kammanta) |
a. |
Menghindari pembunuhan |
b. |
Menghindari pencurian |
c. |
Menghindari perbuatan a-susila |
5. |
Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
Lima pencaharian salah harus dihindari (M. 117), yaitu : |
a. |
Penipuan |
b. |
Ketidak-setiaan |
c. |
Penujuman |
d. |
Kecurangan |
e. |
Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat) |
Di samping itu seorang siswa harus pula menghindari lima macam perdagangan , yaitu : |
a. |
Berdagang alat senjata |
b. |
Berdagang mahluk hidup |
c. |
Berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup) |
d. |
Berdagang minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan |
e. |
Berdagang racun. |
6. |
Daya-upaya Benar (sammä-väyäma) |
a. |
Dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam bathin. |
b. |
Dengan sekuat tenaga berusaha
untuk memusnahkan unsur-unsur jahat dan tidak baik, yang sudah ada
di dalam bathin. |
c. |
Dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik dan sehat di dalam bathin. |
d. |
Berusaha keras untuk mempernyata,
mengembangkan dan memperkuat unsur-unsur baik dan sehat yang sudah
ada di dalam bathin. |
7. |
Perhatian Benar (sammä-sati)
Sammä-sati ini terdiri dari latihan-latihan Vipassanä-Bhävanä
(meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang hidup),
yaitu : |
a. |
Käyä-nupassanä = Perenungan terhadap tubuh |
b. |
Vedanä-nupassanä = Perenungan terhadap perasaan. |
c. |
Cittä-nupassanä = Perenungan terhadap kesadaran. |
d. |
Dhammä-nupassanä = Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran. |
8. |
Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
Latihan meditasi untuk mencapai Jhäna-Jhäna. |
Siswa yang telah berhasil melaksanakan Delapan Jalan Utama memperoleh : |
1. |
Sila-visuddhi |
- |
Kesucian Sila sebagai hasil dari pelaksanaan Sila dan terkikis habisnya Kilesa. |
2. |
Citta-visuddhi |
- |
Kesucian Bathin sebagai hasil dari pelaksanaan Samadhi dan terkikis habisnya Nivarana. |
3. |
Ditthi-visuddhi |
- |
Kesucian Pandangan sebagai hasil dari pelaksanaan Pañña dan terkikis habisnya Anusaya. |
Untuk lebih jelasnya, hal tersebut di atas akan diterangkan lebih lanjut seperti di bawah ini : |
|
Asava |
Delapan Jalan Utama |
1. |
Kilesa |
|
3. Ucapan Benar
4. Perbuatan Benar
5. Pencaharian Benar |
|
Sila |
|
2. |
Nivarana |
|
6. Daya-upaya Benar
7. Perhatian Benar
8. Konsentrasi Benar |
|
Samadhi |
3. |
Anusaya |
1. Pengertian Benar
2. Pikiran Benar |
|
Pañña |
Asava = |
Kekotoran bathin, dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan besar, yaitu: |
1. |
Kilesa |
= |
Kekotoran bathin yang kasar dan dapat jelas dilihat atau didengar. |
2. |
Nivarana |
= |
Kekotoran bathin yang agak halus, yang agak sukar diketahui. |
3. |
Anusaya |
= |
Kekotoran bathin yang halus sekali dan sangat sukar untuk diketahui. |
BHAVANA |
Agama Buddha mengenal 2 (dua) macam meditasi (Bhavana) : |
I. |
Samatha-bhavana |
= |
Meditasi untuk mendapatkan ketenangan bathin melalui Jhäna-Jhäna. |
|
Jhäna pertama : |
a. |
Vitakka |
= |
Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek. |
b. |
Vicära |
= |
Pikiran yang berhasil memegang obyek dengan kuat. |
c. |
Piti |
= |
Kegiuran |
d. |
Sukha |
= |
Kebahagiaan. |
e. |
Ekaggata |
= |
Pemusatan pikiran yang kuat. |
Jhäna kedua |
: |
Vicära, Piti, Sukha, Ekaggata. |
Jhäna ketiga |
: |
Piti, Sukha, Ekaggata. |
Jhäna keempat |
: |
Sukha, Ekaggata. |
Jhäna kelima |
: |
Ekaggata + keseimbangan bathin. |
Meditasi Samatha-bhävanä yang sangat dipujikan ialah Brahma-Vihära-bhävanä yang terdiri dari : |
1. |
Mettä-bhävanä |
= |
Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek. |
2. |
Karunä-bhävanä |
= |
Meditasi welas-asih terhadap semua mahluk yang sedang menderita. |
3. |
Muditä-bhävanä |
= |
Meditasi yang mengandung simpati terhadap kebahagiaan orang lain. |
4. |
Upekkhä-bhävanä |
= |
Meditasi keseimbangan bathin. |
Brahmä-Vihära-bhävanä dapat juga dipakai untuk melemahkan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. |
Tiga Akar Perbuatan |
Tiga hal yang di bawah
ini dapat disebut sebagai tiga akar atau sumber untuk melakukan
perbuatan, yaitu : |
1. |
Lobha |
= |
Kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu sehingga menimbulkan keserakahan. |
2. |
Dosa |
= |
Penolakan yang sangat terhadap sesuatu sehingga menimbulkan kebencian. |
3. |
Moha |
= |
Kebodohan ; tidak dapat menbeda-bedakan mana yang buruk dan mana yang baik. |
II. |
Vipassanä-bhävanä |
= |
Meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang tentang hidup, tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda. |
Latihan-latihan Vipassanä-bhävanä sudah diterangkan sewaktu membahas Perhatian Benar (sammä-sati).
Tujuan dari latihan-latihan bhävanä ialah untuk menyingkirkan
Nivarana (lihat pembahasan Asava) yang dianggap sebagai
rintangan untuk memperoleh ketenangan bathin maupun
Pandangan Terang tentang hidup dan hakekat sesungguhnya
dari benda-benda.
Perincian dari Nivarana adalah sbb. :1. Kämacchanda — nafsu keinginan
2. Vyäpäda — keinginan jahat, kebencian dan amarah.
3. Thina-middha — lamban, malas dan kesu.
4. Uddhacca-kukkucca — gelisah dan cemas.
5. Vicikicchä — keragu-raguan.
Dalam tingkat kesucian, umat Buddha dapat dibagi dalam dua golongan : |
1. |
Puthujjana |
- |
Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang belum mencapai tingkat kesucian. |
2. |
Ariya-puggalä |
- |
Ialah para bhikkhu dan orang-orang
berkeluarga yang setidak-tidaknya telah mencapai tingkat kesucian
pertama. |
Tingkat-tingkat kesucian
Tingkat kesucian |
Belenggu yang harus dipatahkan ; |
Lahir kembali |
1. Sotäpanna |
1. |
Sakkäyaditthi = Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal. |
2. |
Vicikicchä = Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya. |
3. |
Silabbataparämäsa =
Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan
manusia dari penderitaan. |
|
Maksimum
7 kali |
2. Sakadägämi |
Melemahkan belenggu-belenggu nomor 4 dan 5. |
1 kali |
3. Anägämi |
4. |
Kämaräga = Nafsu Indriya. |
5. |
Vyäpäda = Benci, keinginan tidak baik.
Setelah meninggal dunia, seorang Anägämi akan terlahir
di sorga Suddhavasa dan disitu akan mencapai Tingkat Arahat. |
|
Tidak akan terlahir kembali di alam manusia |
4. Arahat |
6. |
Ruparäga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk. |
7. |
Aruparäga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk. |
8. |
Mäna = Ketinggian hati yang halus. |
9. |
Uddhacca = Bathin yang belum seimbang benar. |
10. |
Avijjä = Kegelapan bathin. |
|
Mencapai Nibbana |
Keterangan |
: |
Perbedaan antara Avijjä dan Moha. |
Avijjä |
= |
Kebodohan/kegelapan bathin, karena
tidak dapat menembus arti dari Empat Kesunyataan Mulia, Hukum
Tilakkhana, Hukum Paticca-Samuppada, Hukum Kamma. |
Moha |
= |
Kebodohan/kegelapan bathin, karena tidak dapat membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik. |
5.HUKUM TILAKKHANA (TIGA CORAK UMUM)
Hukum Tilakkhana ini termasuk Hukum Kesunyataan ; berarti bahwa Hukum
ini berlaku di mana-mana dan pada setiap waktu. Jadi tidak
terikat oleh waktu dan tempat.
-
- Sabbe sankhärä aniccäSegala sesuatu dalam alam semesta ini yang
terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Umat
Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta ini
sebagai suatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak,
yaitu :
Uppada
(timbul) |
Thiti
(berlangsung) |
Bhanga
(berakhir/lenyap) |
- Sabbe sankhärä dukkhaApa yang tidak kekal sebenarnya tidak memuaskan dan oleh karena itu adalah penderitaan.
- Sabbe Dhammä AnattäSegala sesuatu yang tercipta dan tidak tercipta
adalah tanpa inti yang kekal/abadi.Contoh dari sesuatu
yang tidak tercipta adalah Nibbana.
Di samping paham anattä yang khas Buddhis terdapat juga dua paham lain yaitu :
-
- AttavädaPaham bahwa atma (roh) adalah kekal-abadi dan akan
berlangsung sepanjang masa (tidak dibenarkan oleh Sang
Buddha).
- UcchedavädaPaham bahwa setelah mati atma (roh) itu pun akan turut lenyap (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
Uraian secara matematika tentang ketiga paham tersebut adalah sbb. :
Attaväda
- A + p = A + p
- (A + p) + p1 = A + p + p1
- (A + p + p1) + p2 = A + p + p1 + p2
- (A-p-p1-p2) + … + pn = A + p + p1 + p2 + … + pn
Ucchedaväda
- A + p = Nihil
Anattä
- A + p = BA = Atma, roh
- B + p1 = Cp = Pengalaman hidup
- C + p2 = DI, II, III = Kehidupan ke I, II, III.
Contoh konkrit tentang paham anattä, misalnya kalau kita membuat
roti. Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam,
mentega, susu, air, api, tenaga kerja dll.. Tetapi setelah
menjadi roti tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian
tertentu dan mengatakan : ini adalah tepungnya, ini garamnya,
ini menteganya, ini airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya
dst. Karena setelah bahan-bahan itu diaduk menjadi satu dan
dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah sama sekali.
Kesimpulan : Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut
di atas, namun setelah melalui proses pembuatan dan
pembakaran di oven telah menjadi sesuatu yang
baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam bentuknya yang semula.
LIMA KHANDHA
Dalam Agama Buddha diajarkan bahwa seorang manusia terdiri dari lima
kelompok kehidupan/kegemaran (Khandha) yang saling
bekerja-sama dengan erat sekali. Kelima kelompok
kehidupan/kegemaran tersebut adalah :
- Rupa = Bentuk, tubuh, badan jasmani.
- Sañña = Pencerapan.
- Sankhära = Pikiran, bentuk-bentuk mental.
- Vedanä = Perasaan.
- Viññana = Kesadaran.
Gabungan dari No. 2, 3, 4 dan 5 dapat juga dinamakan nama (bathin),
sehingga seorang manusia dapat dikatakan terdiri dari rupa dan
nama. Dalam menangkap rangsangan dari luar, maka
bekerja-samanya lima khandha ini adalah sbb. :
- RupaKita menangkap suatu rangsangan melalui mata, telinga, hidung,
lidah, tubuh yang merupakan bagian dari badan jasmani kita.
- Viññana (citta)Kita lalu akan menyadari bahwa bathin kita telah menangkap suatu rangsangan.
- SaññaRangsangan tersebut mencerap ke dalam bathin kita melalui suatu bagian dari otak kita, mengenal obyek.
- SankhäraRangsangan ini kita akan banding-bandingkan dengan
pengalaman kita yang dulu-dulu melalui gambaran-gambaran
pikiran yang tersimpan dalam bathin kita.
- VedanäDengan membanding-bandingkan ini lalu timbul suatu perasaan
senang (suka) atau tidak senang (tidak suka) terhadap
rangsangan yang telah tertangkap melalui panca indera kita.
Proses mental ini berlangsung sbb. :
Kesadaran
Pencerapan
Pikiran
Perasaan.
Menurut Ajaran Sang Buddha, di dalam diri seorang manusia hanya
terdapat lima khandha ini dan tidak dapat ditemukan suatu
atma atau roh yang kekal dan abadi. Dengan cara ini, maka
anattä diterangkan melalui analisa.
6.HUKUM PATICCA-SAMUPPADA
Paham anattä dapat pula diterangkan melalui cara sinthesa, yaitu
melalui Hukum Paticca-Samuppada (Hukum Sebab-musabab Yang Saling
Bergantungan). Prinsip dari Hukum ini diberikan dalam empat
formula pendek, yaitu :
- Imasming Sati Idang Hoti Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
- Imassuppädä Idang UppajjatiDengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
- Imasming Asati Idang Na Hoti Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
- Imassa Nirodhä Idang Nirujjati Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.
Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling
bergantungan ini, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan
hidup dan juga berhentinya hidup dapat diterangkan dalam
formula dari duabelas nidana (sebab-musabab) :
- Avijjä Paccayä SankhäraDengan adanya kebodohan (ketidak-tahuan), maka terjadilah bentuk-bentuk karma.
- Sankhära Paccayä ViññänangDengan adanya bentuk-bentuk karma, maka terjadilah kesadaran.
- Viññäna Paccayä NamarupangDengan adanya kesadaran, maka terjadilah bathin dan badan jasmani.
- Namarupang Paccayä Saläyatanang.Dengan adanya bathin dan badan jasmani, maka terjadilah enam indriya
- Saläyatana Paccayä Phassa.Dengan adanya enam indriya, maka terjadilah kesan-kesan.
- Phassa Paccayä Vedanä.Dengan adanya kesan-kesan, maka terjadilah perasaan.
- Vedanä Paccayä Tanhä.Dengan adanya perasaan, maka terjadilah tanhä (keinginan).
- Tanhä Paccayä Upädänang.Dengan adanya tanhä (keinginan), maka terjadilah kemelekatan.
- Upädäna Paccayä Bhavo.Dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses tumimbal lahir.
- Bhava Paccayä Jati.Dengan adanya proses tumimbal lahir, maka terjadilah kelahiran kembali.
- Jati Paccayä Jaramaranang.Dengan adanya kelahiran kembali, maka
terjadilah kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll.
- Jaramarana.Kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll. adalah akibat dari kelahiran kembali.
Demikianlah kehidupan itu timbul, berlangsung dan bersambung terus.
Kalau kita mengambil rumus tersebut dalam arti yang
sebaliknya, maka kita akan sampai kepada penghentian dari
proses itu. Dengan terhenti seluruhnya dari kebodohan, maka
terhenti pula bentuk-bentuk karma; dengan terhentinya
bentuk-bentuk karma, maka terhenti pulalah kesadaran; …..
dengan terhentinya kelahiran kembali, maka terhenti pulalah kelapukan,
kematian, kesedihan dll.
7. HUKUM KAMMA
Kamma adalah kata bahasa Pali yang berarti “perbuatan”, yang
dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan,
yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran
kata-kata atau tindakan. Makna yang luas dan sebenarnya dari
Kamma, ialah semua kehendak atau keinginan dengan tidak
membeda-bedakan apakah kehendak atau keinginan itu baik
(bermoral) atau buruk (tidak bermoral), mengenai hal ini Sang
Buddha pernah bersabda :
“O, bhikkhu, kehendak untuk berbuat (Pali : Cetana) itulah yang
Kami namakan Kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat
dengan badan, perkataan atau pikiran.”
Kamma bukanlah satu ajaran yang membuat manusia menjadi orang yang
lekas berputus-asa, juga bukan ajaran tentang adanya satu nasib
yang sudah ditakdirkan. Memang segala sesuatu yang lampau
mempengaruhi keadaan sekarang atau pada saat ini, akan tetapi
tidak menentukan seluruhnya, oleh karena kamma itu meliputi
apa yang telah lampau dan keadaan pada saat ini, dan apa yang
telah lampau bersama-sama dengan apa yang terjadi pada saat
sekarang mempengaruhi pula hal-hal yang akan datang. Apa yang
telah lampau sebenarnya merupakan dasar di mana hidup yang sekarang
ini berlangsung dari satu saat ke lain saat dan apa yang akan
datang masih akan dijalankan. Oleh karena itu, saat sekarang
inilah yang nyata dan ada “di tangan kita” sendiri untuk
digunakan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu kita harus
hati-hati sekali dengan perbuatan kita, supaya akibatnya
senantiasa akan bersifat baik.
Kita hendaknya selalu berbuat baik, yang bermaksud menolong
mahluk-mahluk lain, membuat mahluk-mahluk lain bahagia,
sehingga perbuatan ini akan membawa satu kamma-vipaka
(akibat) yang baik dan memberi kekuatan kepada kita untuk
melakukan kamma yang lebih baik lagi. Satu contoh yang klasik
adalah sbb. :
Lemparkanlah batu ke dalam sebuah kolam yang tenang. Pertama-tama
akan terdengar percikan air dan kemudian akan terlihat
lingkaran-lingkaran gelombang. Perhatikanlah bagaimana
lingkaran ini makin lama makin melebar, sehingga menjadi
begitu lebar dan halus yang tidak dapat lagi dilihat oleh
mata kita. Ini bukan berarti bahwa gerak tadi telah selesai, sebab
bilamana gerak gelombang yang halus itu mencapai tepi kolam, ia
akan dipantulkan kembali sampai mencapai tempat bekas di mana
batu tadi dijatuhkan.
Begitulah semua akibat dari perbuatan kita akan kembali kepada kita
seperti halnya dengan gelombang di kolam yang kembali ke
tempat dimana batu itu dijatuhkan.
Sang Buddha pernah bersabda (Samyutta Nikaya I, hal. 227) sbb :
“Sesuai dengan benih yang telah ditaburkan begitulah buah yang
akan dipetiknya, pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat
kejahatan akan memetik kejahatan pula. Tertaburlah olehmu
biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan
buah-buah dari padanya”.
Segala sesuatu yang datang pada kita, yang menimpa diri kita,
sesungguhnya benar adanya. Bilamana kita mengalami sesuatu
yang membahagiakan, yakinlah bahwa kamma yang telah kita
perbuat adalah benar. Sebaliknya bila ada sesuatu yang
menimpa kita dan membuat kita tidak senang, kamma-vipaka itu
menunjukkan bahwa kita telah berbuat suatu kesalahan. janganlah
sekali-kali dilupakan hendaknya bahwa kamma-vipaka itu senantiasa
benar. Ia tidak mencintai maupun membenci, pun tidak marah
dan juga tidak memihak. Ia adalah hukum alam, yang dipercaya
atau tidak dipercaya akan berlangsung terus.
Terdapat dua belas jenis bentuk-bentuk kamma yang tidak diperinci
di sini. Bentuk kamma yang lebih berat (bermutu) dapat menekan —
bahkan menggugurkan — bentuk-bentuk kamma yang lain. Ada
orang yang menderita hebat karena perbuatan kecil, tetapi ada
juga yang hampir tidak merasakan akibat apapun juga untuk
perbuatan yang sama. Mengapa? Orang yang telah menimbun
banyak kamma baik, tidak akan banyak menderita karena perbuatan
itu, sebaliknya orang yang tidak banyak melakukan kamma-kamma baik
akan menderita hebat.
Singkatnya : Kamma Vipaka dapat diperlunak, dibelokkan, ditekan, bahkan digugurkan.
Kamma dapat dibagi dalam tiga golongan :
- Kamma Pikiran (mano-kamma).
- Kamma Ucapan (vaci-kamma).
- Kamma Perbuatan (kaya-kamma).
10 (sepuluh) jenis kamma baik
- Gemar beramal dan bermurah hatiakan berakibat dengan diperolehnya
kekayaan dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan
datang.
- Hidup bersusilamengakibatkan terlahir kembali dalam keluarga luhur yang keadaannya berbahagia.
- Bermeditasiberakibat dengan terlahir kembali di alam-alam sorga.
- Berendah hati dan hormatmenyebabkan terlahir kembali dalam keluarga luhur.
- Berbaktiberbuah dengan diperolehnya penghargaan dari masyarakat.
- Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lainberbuah dengan
terlahir kembali dalam keadaan berlebih-lebihan dalam
banyak hal.
- Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lainmenyebabkan terlahir dalam lingkungan yang menggembirakan.
- Sering mendengarkan Dhammaberbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan.
- Menyebarkan Dhammaberbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan (sama dengan No. 8).
- Meluruskan pandangan orang lainberbuah dengan diperkuatnya keyakinan.
10 (sepuluh) jenis kamma buruk
- Pembunuhanakibatnya pendek umur, berpenyakitan, senantiasa dalam
kesedihan karena terpisah dari keadaan atau orang yang
dicintai, dalam hidupnya senantiasa berada dalam ketakutan
- Pencurianakibatnya kemiskinan, dinista dan dihina, dirangsang oleh
keinginan yang senantiasa tak tercapai, penghidupannya
senantiasa tergantung pada orang lain.
- Perbuatan a-susilaakibatnya mempunyai banyak musuh, beristeri atau
bersuami yang tidak disenangi, terlahir sebagai pria atau
wanita yang tidak normal perasaan seksnya.
- Berdustaakibatnya menjadi sasaran penghinaan, tidak dipercaya khalayak ramai.
- Bergunjingakibatnya kehilangan sahabat-sahabat tanpa sebab yang berarti.
- Kata-kata kasar dan kotorakibatnya sering didakwa yang bukan-bukan oleh orang lain.
- Omong kosongakibatnya bertubuh cacad, berbicara tidak tegas, tidak dipercaya oleh khalayak ramai.
- Keserakahanakibatnya tidak tercapai keinginan yang sangat diharap-harapkan.
- Dendam, kemauan jahat / niat untuk mencelakakan mahluk lainakibatnya buruk rupa, macam-macam penyakit, watak tercela.
- Pandangan salahakibatnya tidak melihat keadaan yang sewajarnya,
kurang bijaksana, kurang cerdas, penyakit yang lama
sembuhnya, pendapat yang tercela.
Lima bentuk kamma celaka
Lima perbuatan durhaka di bawah ini mempunyai akibat yang sangat berat ialah kelahiran di alam neraka :
- Membunuh ibu.
- Membunuh ayah.
- Membunuh seorang Arahat.
- Melukai seorang Buddha.
- Menyebabkan perpecahan dalam Sangha.
8.HIRI DAN OTAPPA
Dua ciri khas yang dianggap dua sifat yang membantu melindungi dunia dari kekacauan :
- HiriPerasaan malu, yaitu malu melakukan hal-hal yang tidak baik.
- OtappaPerasaan takut, yaitu takut akan akibat yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
9. ATTHALOKA-DHAMMA
Dalam penghidupan seorang manusia tidak dapat terlepas dari 8 (delapan) keadaan, yaitu :
- läbha – aläbhauntung – rugi
- yasa – ayasaterkenal – tak terkenal
- nindä – pasamsädicela – dipuji
- sukha – dukkhagembira, bahagia – sedih, menderita dll
- .1.
KITAB SUCI AGAMA BUDDHA Kitab Suci Agama Buddha yang tertulis dalam
Bahasa Pali adalah TIPITAKA, yang terdiri dari : Vinaya Pitaka
yang berisikan tata-tertib bagi para bhikkhu/bhikkhuni. Sutta Pitaka
yang berisikan khotbah-khotbah Sang Buddha Abidhamma Pitaka yang
berisikan Ajaran tentang metafisika dan ilmu kejiwaan. Sedangkan yang
tertulis dalam bahasa Sansekerta adalah : Avatamsaka Sutra.
Lankavatara Sutra. Saddharma Pundarika Sutra. Vajracchendika
Prajna Paramita Sutra (Kim Kong Keng), dan lain-lain. 2. KESUNYATAAN
DAN KENYATAAN Paramatha-sacca : Kebenaran mutlak (absolute truth),
dan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : Harus benar.
Tidak terikat oleh waktu ; waktu dulu, sekarang dan waktu yang
akan datang sama saja. Tidak terikat oleh tempat ; di sini, di
Amerika ataupun di bulan sama saja. Sammuti-sacca : Kebenaran
relatif ; berarti bahwa sesuatu itu benar, tetapimasih terikat oleh
waktu dan tempat. 3. EHIPASSIKO Ehipassiko berarti “datang dan
alamilah sendiri”. Umat Buddha tidak diminta untuk percaya saja, tetapi
justru untuk mengalami sendiri segala sesuatu. Ini menunjukkan khas
Buddhis, berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Agama-agama lain. 4.
EMPAT KESUNYATAAN MULIA I. Kesunyataan Mulia tentang Dukkha Hidup dalam
bentuk apa pun adalah dukkha (penderitaan) : a. dilahirkan, usia tua,
sakit, mati adalah penderitaan. b. berhubungan dengan orang yang tidak
disukai adalah penderitaan. c. ditinggalkan oleh orang yang dicintai
adalah penderitaan. d. tidak memperoleh yang dicita-citakan adalah
penderitaan. e. masih memiliki lima khanda adalah penderitaan. Dukkha
dapat juga dibagi sbb. : a. dukkha-dukkha - ialah penderitaan yang
nyata, yang benar dirasakan sebagai penderitaan tubuh dan bathin,
misalnya sakit kepala, sakit gigi, susah hati dll. b. viparinäma-dukkha
- merupakan fakta bahwa semua perasaan senang dan bahagia
–berdasarkan sifat ketidak-kekalan– di dalamnya mengandung benih-benih
kekecewaan, kekesalan dll. c. sankhärä-dukkha - lima khanda adalah
penderitaan ; selama masih ada lima khanda tak mungkin terbebas dari
sakit fisik. II. Kesunyataan Mulia tentang asal mula Dukkha Sumber dari
penderitaan adalah tanhä, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada
habis-habisnya. Semakin diumbar semakin keras ia mencengkeram. Orang
yang pasrah kepada tanhä sama saja dengan orang minum air asin untuk
menghilangkan rasa hausnya. Rasa haus itu bukannya hilang, bahkan
menjadi bertambah, karena air asin itu yang mengandung garam.
Demikianlah, semakin orang pasrah kepada tanhä semakin keras tanhä itu
mencengkeramnya. Dikenal tiga macam tanhä, yaitu : 1. Kämatanhä :
kehausan akan kesenangan indriya, ialah kehausan akan : a.
bentuk-bentuk (indah) b. suara-suara (merdu) c. wangi-wangian d.
rasa-rasa (nikmat) e. sentuhan-sentuhan (lembut) f. bentuk-bentuk
pikiran 2. Bhavatanhä : kehausan untuk lahir kembali sebagai manusia
berdasarkan kepercayaan tentang adanya “atma (roh) yang kekal dan
terpisah” (attavada). 3. Vibhavatanhä : kehausan untuk memusnahkan
diri, berdasarkan kepercayaan, bahwa setelah mati tamatlah riwayat
tiap-tiap manusia (ucchedaväda). III. Kesunyataan Mulia tentang
lenyapnya Dukkha Kalau tanhä dapat disingkirkan, maka kita akan berada
dalam keadaan yang bahagia sekali, karena terbebas dari semua
penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana. a.
Sa-upadisesa-Nibbana = Nibbana masih bersisa. Dengan ‘sisa’ dimaksud
bahwa lima khanda itu masih ada. b. An-upadisesa-Nibbana = Setelah
meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah
Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana. Sang Arahat telah
beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Misalnya, kalau api padam, kejurusan mana api itu pergi? jawaban yang
tepat : ‘tidak tahu’ Sebab api itu padam karena kehabisan bahan bakar.
IV. Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha Delapan
Jalan Utama (Jalan Utama Beruas Delapan) yang akan membawa kita ke Jalan
Menuju Lenyapnya Dukkha, yaitu : Pañña 1. Pengertian Benar
(sammä-ditthi) 2. Pikiran Benar (sammä-sankappa) Sila 3. Ucapan
Benar (sammä-väcä) 4. Perbuatan Benar (sammä-kammanta) 5. Pencaharian
Benar (sammä-ajiva) Samädhi 6. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma) 7.
Perhatian Benar (sammä-sati) 8. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
Delapan Jalan Utama ini dapat lebih lanjut diperinci sbb. : 1.
Pengertian Benar (sammä-ditthi) menembus arti dari : a. Empat
Kesunyataan Mulia b. Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum) c. Hukum
Paticca-Samuppäda d. Hukum Kamma 2. Pikiran Benar (sammä-sankappa) a.
Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian (nekkhamma-sankappa).
b. Pikiran yang bebas dari kebencian (avyäpäda-sankappa) c. Pikiran
yang bebas dari kekejaman (avihimsä-sankappa) 3. Ucapan Benar
(sammä-väcä) Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika dapat memenuhi empat
syarat di bawah ini : a. Ucapan itu benar b. Ucapan itu beralasan c.
Ucapan itu berfaedah d. Ucapan itu tepat pada waktunya 4. Perbuatan
Benar (sammä-kammanta) a. Menghindari pembunuhan b. Menghindari
pencurian c. Menghindari perbuatan a-susila 5. Pencaharian Benar
(sammä-ajiva) Lima pencaharian salah harus dihindari (M. 117), yaitu :
a. Penipuan b. Ketidak-setiaan c. Penujuman d. Kecurangan e.
Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat) Di samping itu seorang
siswa harus pula menghindari lima macam perdagangan , yaitu : a.
Berdagang alat senjata b. Berdagang mahluk hidup c. Berdagang daging
(atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup)
d. Berdagang minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan
ketagihan e. Berdagang racun. 6. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma) a.
Dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik
di dalam bathin. b. Dengan sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan
unsur-unsur jahat dan tidak baik, yang sudah ada di dalam bathin. c.
Dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik dan
sehat di dalam bathin. d. Berusaha keras untuk mempernyata,
mengembangkan dan memperkuat unsur-unsur baik dan sehat yang sudah ada
di dalam bathin. 7. Perhatian Benar (sammä-sati) Sammä-sati ini
terdiri dari latihan-latihan Vipassanä-Bhävanä (meditasi untuk
memperoleh pandangan terang tentang hidup), yaitu : a. Käyä-nupassanä
= Perenungan terhadap tubuh b. Vedanä-nupassanä = Perenungan
terhadap perasaan. c. Cittä-nupassanä = Perenungan terhadap
kesadaran. d. Dhammä-nupassanä = Perenungan terhadap bentuk-bentuk
pikiran. 8. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi) Latihan meditasi untuk
mencapai Jhäna-Jhäna. Siswa yang telah berhasil melaksanakan Delapan
Jalan Utama memperoleh : 1. Sila-visuddhi - Kesucian Sila sebagai
hasil dari pelaksanaan Sila dan terkikis habisnya Kilesa. 2.
Citta-visuddhi - Kesucian Bathin sebagai hasil dari pelaksanaan
Samadhi dan terkikis habisnya Nivarana. 3. Ditthi-visuddhi - Kesucian
Pandangan sebagai hasil dari pelaksanaan Pañña dan terkikis habisnya
Anusaya. Untuk lebih jelasnya, hal tersebut di atas akan diterangkan
lebih lanjut seperti di bawah ini : Asava Delapan Jalan Utama 1.
Kilesa Kilesa 3. Ucapan Benar 4. Perbuatan Benar 5. Pencaharian
Benar > Sila Line 2. Nivarana Nivarana 6. Daya-upaya Benar 7.
Perhatian Benar 8. Konsentrasi Benar > Samadhi 3. Anusaya 1.
Pengertian Benar 2. Pikiran Benar > Pañña Asava = Kekotoran
bathin, dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan besar, yaitu: 1. Kilesa =
Kekotoran bathin yang kasar dan dapat jelas dilihat atau didengar. 2.
Nivarana = Kekotoran bathin yang agak halus, yang agak sukar
diketahui. 3. Anusaya = Kekotoran bathin yang halus sekali dan sangat
sukar untuk diketahui. BHAVANA Agama Buddha mengenal 2 (dua) macam
meditasi (Bhavana) : I. Samatha-bhavana = Meditasi untuk mendapatkan
ketenangan bathin melalui Jhäna-Jhäna. Jhäna pertama : a. Vitakka =
Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek. b. Vicära =
Pikiran yang berhasil memegang obyek dengan kuat. c. Piti = Kegiuran
d. Sukha = Kebahagiaan. e. Ekaggata = Pemusatan pikiran yang kuat.
Jhäna kedua : Vicära, Piti, Sukha, Ekaggata. Jhäna ketiga : Piti,
Sukha, Ekaggata. Jhäna keempat : Sukha, Ekaggata. Jhäna kelima :
Ekaggata + keseimbangan bathin. Meditasi Samatha-bhävanä yang sangat
dipujikan ialah Brahma-Vihära-bhävanä yang terdiri dari : 1.
Mettä-bhävanä = Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek. 2.
Karunä-bhävanä = Meditasi welas-asih terhadap semua mahluk yang
sedang menderita. 3. Muditä-bhävanä = Meditasi yang mengandung
simpati terhadap kebahagiaan orang lain. 4. Upekkhä-bhävanä =
Meditasi keseimbangan bathin. Brahmä-Vihära-bhävanä dapat juga dipakai
untuk melemahkan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan perbuatan
yang tidak baik. Tiga Akar Perbuatan Tiga hal yang di bawah ini dapat
disebut sebagai tiga akar atau sumber untuk melakukan perbuatan, yaitu :
1. Lobha = Kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu sehingga
menimbulkan keserakahan. 2. Dosa = Penolakan yang sangat terhadap
sesuatu sehingga menimbulkan kebencian. 3. Moha = Kebodohan ; tidak
dapat menbeda-bedakan mana yang buruk dan mana yang baik. II.
Vipassanä-bhävanä = Meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang tentang
hidup, tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Latihan-latihan
Vipassanä-bhävanä sudah diterangkan sewaktu membahas Perhatian Benar
(sammä-sati). Tujuan dari latihan-latihan bhävanä ialah untuk
menyingkirkan Nivarana (lihat pembahasan Asava) yang dianggap sebagai
rintangan untuk memperoleh ketenangan bathin maupun Pandangan Terang
tentang hidup dan hakekat sesungguhnya dari benda-benda. Perincian dari
Nivarana adalah sbb. :1. Kämacchanda — nafsu keinginan 2. Vyäpäda —
keinginan jahat, kebencian dan amarah. 3. Thina-middha — lamban, malas
dan kesu. 4. Uddhacca-kukkucca — gelisah dan cemas. 5. Vicikicchä —
keragu-raguan. Dalam tingkat kesucian, umat Buddha dapat dibagi dalam
dua golongan : 1. Puthujjana - Ialah para bhikkhu dan orang-orang
berkeluarga yang belum mencapai tingkat kesucian. 2. Ariya-puggalä -
Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang setidak-tidaknya
telah mencapai tingkat kesucian pertama. Tingkat-tingkat kesucian
Tingkat kesucian Belenggu yang harus dipatahkan ; Lahir kembali 1.
Sotäpanna 1. Sakkäyaditthi = Pandangan sesat tentang adanya pribadi,
jiwa atau aku yang kekal. 2. Vicikicchä = Keragu-raguan terhadap Sang
Buddha dan AjaranNya. 3. Silabbataparämäsa = Kepercayaan tahyul bahwa
upacara agama saja dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Maksimum
7 kali 2. Sakadägämi Melemahkan belenggu-belenggu nomor 4 dan 5. 1
kali 3. Anägämi 4. Kämaräga = Nafsu Indriya. 5. Vyäpäda = Benci,
keinginan tidak baik. Setelah meninggal dunia, seorang Anägämi akan
terlahir di sorga Suddhavasa dan disitu akan mencapai Tingkat Arahat.
Tidak akan terlahir kembali di alam manusia 4. Arahat 6. Ruparäga =
Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk. 7. Aruparäga =
Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk. 8. Mäna
= Ketinggian hati yang halus. 9. Uddhacca = Bathin yang belum seimbang
benar. 10. Avijjä = Kegelapan bathin. Mencapai Nibbana Keterangan :
Perbedaan antara Avijjä dan Moha. Avijjä = Kebodohan/kegelapan
bathin, karena tidak dapat menembus arti dari Empat Kesunyataan Mulia,
Hukum Tilakkhana, Hukum Paticca-Samuppada, Hukum Kamma. Moha =
Kebodohan/kegelapan bathin, karena tidak dapat membedakan apa yang baik
dan apa yang tidak baik. 5.HUKUM TILAKKHANA (TIGA CORAK UMUM) Hukum
Tilakkhana ini termasuk Hukum Kesunyataan ; berarti bahwa Hukum ini
berlaku di mana-mana dan pada setiap waktu. Jadi tidak terikat oleh
waktu dan tempat. Sabbe sankhärä aniccäSegala sesuatu dalam
alam semesta ini yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak
kekal. Umat Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta ini sebagai
suatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak, yaitu : Uppada
Petunjuk (timbul) Thiti Petunjuk
(berlangsung) Bhanga (berakhir/lenyap) Sabbe
sankhärä dukkhaApa yang tidak kekal sebenarnya tidak memuaskan dan oleh
karena itu adalah penderitaan. Sabbe Dhammä AnattäSegala sesuatu
yang tercipta dan tidak tercipta adalah tanpa inti yang
kekal/abadi.Contoh dari sesuatu yang tidak tercipta adalah Nibbana. Di
samping paham anattä yang khas Buddhis terdapat juga dua paham lain
yaitu : AttavädaPaham bahwa atma (roh) adalah kekal-abadi dan
akan berlangsung sepanjang masa (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
UcchedavädaPaham bahwa setelah mati atma (roh) itu pun akan turut
lenyap (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha). Uraian secara matematika
tentang ketiga paham tersebut adalah sbb. : Attaväda A + p = A + p
(A + p) + p1 = A + p + p1 (A + p + p1) + p2 = A + p + p1 + p2
(A-p-p1-p2) + … + pn = A + p + p1 + p2 + … + pn Ucchedaväda A +
p = Nihil Anattä A + p = BA = Atma, roh B + p1 = Cp =
Pengalaman hidup C + p2 = DI, II, III = Kehidupan ke I, II, III.
Contoh konkrit tentang paham anattä, misalnya kalau kita membuat roti.
Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu,
air, api, tenaga kerja dll.. Tetapi setelah menjadi roti tidak mungkin
kita akan menunjuk satu bagian tertentu dan mengatakan : ini adalah
tepungnya, ini garamnya, ini menteganya, ini airnya, ini apinya, ini
tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan itu diaduk menjadi satu
dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah sama sekali.
Kesimpulan : Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut di
atas, namun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven
telah menjadi sesuatu yang baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk
mengembalikannya dalam bentuknya yang semula. LIMA KHANDHA Dalam
Agama Buddha diajarkan bahwa seorang manusia terdiri dari lima kelompok
kehidupan/kegemaran (Khandha) yang saling bekerja-sama dengan erat
sekali. Kelima kelompok kehidupan/kegemaran tersebut adalah : Rupa =
Bentuk, tubuh, badan jasmani. Sañña = Pencerapan. Sankhära =
Pikiran, bentuk-bentuk mental. Vedanä = Perasaan. Viññana =
Kesadaran. Gabungan dari No. 2, 3, 4 dan 5 dapat juga dinamakan nama
(bathin), sehingga seorang manusia dapat dikatakan terdiri dari rupa dan
nama. Dalam menangkap rangsangan dari luar, maka bekerja-samanya lima
khandha ini adalah sbb. : RupaKita menangkap suatu rangsangan
melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubuh yang merupakan bagian dari
badan jasmani kita. Viññana (citta)Kita lalu akan menyadari bahwa
bathin kita telah menangkap suatu rangsangan. SaññaRangsangan
tersebut mencerap ke dalam bathin kita melalui suatu bagian dari otak
kita, mengenal obyek. SankhäraRangsangan ini kita akan
banding-bandingkan dengan pengalaman kita yang dulu-dulu melalui
gambaran-gambaran pikiran yang tersimpan dalam bathin kita.
VedanäDengan membanding-bandingkan ini lalu timbul suatu perasaan senang
(suka) atau tidak senang (tidak suka) terhadap rangsangan yang telah
tertangkap melalui panca indera kita. Proses mental ini berlangsung
sbb. : Kesadaran > Pencerapan > Pikiran > Perasaan.
Menurut Ajaran Sang Buddha, di dalam diri seorang manusia hanya terdapat
lima khandha ini dan tidak dapat ditemukan suatu atma atau roh yang
kekal dan abadi. Dengan cara ini, maka anattä diterangkan melalui
analisa. 6.HUKUM PATICCA-SAMUPPADA Paham anattä dapat pula diterangkan
melalui cara sinthesa, yaitu melalui Hukum Paticca-Samuppada (Hukum
Sebab-musabab Yang Saling Bergantungan). Prinsip dari Hukum ini
diberikan dalam empat formula pendek, yaitu : Imasming Sati Idang
Hoti Dengan adanya ini, maka terjadilah itu. Imassuppädä Idang
UppajjatiDengan timbulnya ini, maka timbullah itu. Imasming Asati
Idang Na Hoti Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu. Imassa
Nirodhä Idang Nirujjati Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga
itu. Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling
bergantungan ini, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan
juga berhentinya hidup dapat diterangkan dalam formula dari duabelas
nidana (sebab-musabab) : Avijjä Paccayä SankhäraDengan adanya
kebodohan (ketidak-tahuan), maka terjadilah bentuk-bentuk karma.
Sankhära Paccayä ViññänangDengan adanya bentuk-bentuk karma, maka
terjadilah kesadaran. Viññäna Paccayä NamarupangDengan adanya
kesadaran, maka terjadilah bathin dan badan jasmani. Namarupang
Paccayä Saläyatanang.Dengan adanya bathin dan badan jasmani, maka
terjadilah enam indriya Saläyatana Paccayä Phassa.Dengan adanya enam
indriya, maka terjadilah kesan-kesan. Phassa Paccayä Vedanä.Dengan
adanya kesan-kesan, maka terjadilah perasaan. Vedanä Paccayä
Tanhä.Dengan adanya perasaan, maka terjadilah tanhä (keinginan).
Tanhä Paccayä Upädänang.Dengan adanya tanhä (keinginan), maka terjadilah
kemelekatan. Upädäna Paccayä Bhavo.Dengan adanya kemelekatan, maka
terjadilah proses tumimbal lahir. Bhava Paccayä Jati.Dengan adanya
proses tumimbal lahir, maka terjadilah kelahiran kembali. Jati
Paccayä Jaramaranang.Dengan adanya kelahiran kembali, maka terjadilah
kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll. Jaramarana.Kelapukan,
kematian, keluh-kesah, sakit dll. adalah akibat dari kelahiran kembali.
Demikianlah kehidupan itu timbul, berlangsung dan bersambung terus.
Kalau kita mengambil rumus tersebut dalam arti yang sebaliknya, maka
kita akan sampai kepada penghentian dari proses itu. Dengan terhenti
seluruhnya dari kebodohan, maka terhenti pula bentuk-bentuk karma;
dengan terhentinya bentuk-bentuk karma, maka terhenti pulalah kesadaran;
….. dengan terhentinya kelahiran kembali, maka terhenti pulalah
kelapukan, kematian, kesedihan dll. 7. HUKUM KAMMA Kamma adalah kata
bahasa Pali yang berarti “perbuatan”, yang dalam arti umum meliputi
semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk,
lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Makna yang
luas dan sebenarnya dari Kamma, ialah semua kehendak atau keinginan
dengan tidak membeda-bedakan apakah kehendak atau keinginan itu baik
(bermoral) atau buruk (tidak bermoral), mengenai hal ini Sang Buddha
pernah bersabda : “O, bhikkhu, kehendak untuk berbuat (Pali : Cetana)
itulah yang Kami namakan Kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat
dengan badan, perkataan atau pikiran.” Kamma bukanlah satu ajaran yang
membuat manusia menjadi orang yang lekas berputus-asa, juga bukan
ajaran tentang adanya satu nasib yang sudah ditakdirkan. Memang segala
sesuatu yang lampau mempengaruhi keadaan sekarang atau pada saat ini,
akan tetapi tidak menentukan seluruhnya, oleh karena kamma itu meliputi
apa yang telah lampau dan keadaan pada saat ini, dan apa yang telah
lampau bersama-sama dengan apa yang terjadi pada saat sekarang
mempengaruhi pula hal-hal yang akan datang. Apa yang telah lampau
sebenarnya merupakan dasar di mana hidup yang sekarang ini berlangsung
dari satu saat ke lain saat dan apa yang akan datang masih akan
dijalankan. Oleh karena itu, saat sekarang inilah yang nyata dan ada “di
tangan kita” sendiri untuk digunakan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab
itu kita harus hati-hati sekali dengan perbuatan kita, supaya akibatnya
senantiasa akan bersifat baik. Kita hendaknya selalu berbuat baik, yang
bermaksud menolong mahluk-mahluk lain, membuat mahluk-mahluk lain
bahagia, sehingga perbuatan ini akan membawa satu kamma-vipaka (akibat)
yang baik dan memberi kekuatan kepada kita untuk melakukan kamma yang
lebih baik lagi. Satu contoh yang klasik adalah sbb. : Lemparkanlah
batu ke dalam sebuah kolam yang tenang. Pertama-tama akan terdengar
percikan air dan kemudian akan terlihat lingkaran-lingkaran gelombang.
Perhatikanlah bagaimana lingkaran ini makin lama makin melebar, sehingga
menjadi begitu lebar dan halus yang tidak dapat lagi dilihat oleh mata
kita. Ini bukan berarti bahwa gerak tadi telah selesai, sebab bilamana
gerak gelombang yang halus itu mencapai tepi kolam, ia akan dipantulkan
kembali sampai mencapai tempat bekas di mana batu tadi dijatuhkan.
Begitulah semua akibat dari perbuatan kita akan kembali kepada kita
seperti halnya dengan gelombang di kolam yang kembali ke tempat dimana
batu itu dijatuhkan. Sang Buddha pernah bersabda (Samyutta Nikaya I,
hal. 227) sbb : “Sesuai dengan benih yang telah ditaburkan begitulah
buah yang akan dipetiknya, pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan,
pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula. Tertaburlah olehmu
biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah dari
padanya”. Segala sesuatu yang datang pada kita, yang menimpa diri kita,
sesungguhnya benar adanya. Bilamana kita mengalami sesuatu yang
membahagiakan, yakinlah bahwa kamma yang telah kita perbuat adalah
benar. Sebaliknya bila ada sesuatu yang menimpa kita dan membuat kita
tidak senang, kamma-vipaka itu menunjukkan bahwa kita telah berbuat
suatu kesalahan. janganlah sekali-kali dilupakan hendaknya bahwa
kamma-vipaka itu senantiasa benar. Ia tidak mencintai maupun membenci,
pun tidak marah dan juga tidak memihak. Ia adalah hukum alam, yang
dipercaya atau tidak dipercaya akan berlangsung terus. Terdapat dua
belas jenis bentuk-bentuk kamma yang tidak diperinci di sini. Bentuk
kamma yang lebih berat (bermutu) dapat menekan — bahkan menggugurkan —
bentuk-bentuk kamma yang lain. Ada orang yang menderita hebat karena
perbuatan kecil, tetapi ada juga yang hampir tidak merasakan akibat
apapun juga untuk perbuatan yang sama. Mengapa? Orang yang telah
menimbun banyak kamma baik, tidak akan banyak menderita karena perbuatan
itu, sebaliknya orang yang tidak banyak melakukan kamma-kamma baik akan
menderita hebat. Singkatnya : Kamma Vipaka dapat diperlunak,
dibelokkan, ditekan, bahkan digugurkan. Kamma dapat dibagi dalam tiga
golongan : Kamma Pikiran (mano-kamma). Kamma Ucapan
(vaci-kamma). Kamma Perbuatan (kaya-kamma). 10 (sepuluh) jenis
kamma baik Gemar beramal dan bermurah hatiakan berakibat dengan
diperolehnya kekayaan dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan
datang. Hidup bersusilamengakibatkan terlahir kembali dalam keluarga
luhur yang keadaannya berbahagia. Bermeditasiberakibat dengan
terlahir kembali di alam-alam sorga. Berendah hati dan
hormatmenyebabkan terlahir kembali dalam keluarga luhur.
Berbaktiberbuah dengan diperolehnya penghargaan dari masyarakat.
Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lainberbuah dengan
terlahir kembali dalam keadaan berlebih-lebihan dalam banyak hal.
Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lainmenyebabkan terlahir dalam
lingkungan yang menggembirakan. Sering mendengarkan Dhammaberbuah
dengan bertambahnya kebijaksanaan. Menyebarkan Dhammaberbuah dengan
bertambahnya kebijaksanaan (sama dengan No. 8). Meluruskan pandangan
orang lainberbuah dengan diperkuatnya keyakinan. 10 (sepuluh) jenis
kamma buruk Pembunuhanakibatnya pendek umur, berpenyakitan,
senantiasa dalam kesedihan karena terpisah dari keadaan atau orang yang
dicintai, dalam hidupnya senantiasa berada dalam ketakutan
Pencurianakibatnya kemiskinan, dinista dan dihina, dirangsang oleh
keinginan yang senantiasa tak tercapai, penghidupannya senantiasa
tergantung pada orang lain. Perbuatan a-susilaakibatnya mempunyai
banyak musuh, beristeri atau bersuami yang tidak disenangi, terlahir
sebagai pria atau wanita yang tidak normal perasaan seksnya.
Berdustaakibatnya menjadi sasaran penghinaan, tidak dipercaya khalayak
ramai. Bergunjingakibatnya kehilangan sahabat-sahabat tanpa sebab
yang berarti. Kata-kata kasar dan kotorakibatnya sering didakwa yang
bukan-bukan oleh orang lain. Omong kosongakibatnya bertubuh cacad,
berbicara tidak tegas, tidak dipercaya oleh khalayak ramai.
Keserakahanakibatnya tidak tercapai keinginan yang sangat
diharap-harapkan. Dendam, kemauan jahat / niat untuk mencelakakan
mahluk lainakibatnya buruk rupa, macam-macam penyakit, watak tercela.
Pandangan salahakibatnya tidak melihat keadaan yang sewajarnya, kurang
bijaksana, kurang cerdas, penyakit yang lama sembuhnya, pendapat yang
tercela. Lima bentuk kamma celaka Lima perbuatan durhaka di bawah ini
mempunyai akibat yang sangat berat ialah kelahiran di alam neraka :
Membunuh ibu. Membunuh ayah. Membunuh seorang Arahat.
Melukai seorang Buddha. Menyebabkan perpecahan dalam Sangha. 8.HIRI
DAN OTAPPA Dua ciri khas yang dianggap dua sifat yang membantu
melindungi dunia dari kekacauan : HiriPerasaan malu, yaitu malu
melakukan hal-hal yang tidak baik. OtappaPerasaan takut, yaitu takut
akan akibat yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. 9.
ATTHALOKA-DHAMMA Dalam penghidupan seorang manusia tidak dapat terlepas
dari 8 (delapan) keadaan, yaitu : läbha – aläbhauntung – rugi
yasa – ayasaterkenal – tak terkenal nindä – pasamsädicela – dipuji
sukha – dukkhagembira, bahagia – sedih, menderita dll.
- aOleh karena itu Kitab Suci agama Buddha dinamakan Tipitaka
(Pâli) atau Tripitaka (sansekerta).
Di antara kedua versi Pâli dan Sansekerta itu, pada dewasa ini
hanya Kitab Suci Tipitaka (Pâli) yang masih terpelihara secara lengkap,
dan Tipitaka (Pâli) ini pulalah yang merupakan kitab suci bagi agama
Buddha mazhab Theravâda (Pâli Canon).
VINAYA PITAKA
Vinaya Pitaka berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan
bagi para bhikkhu dan bhikkhuni; terdiri atas tiga bagian :
1. Sutta Vibhanga
2. Khandhaka, dan
3. Parivâra.
Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan
bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang
mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat pelanggaran
yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat
menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu adalah : berhubungan
kelamin, mencuri, membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri, dan
membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau
kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. untuk ketujuh jenis pelanggaran
yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan
yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
Kitab Khandhaka terbagi atas Mahâvagga
dan Cullavagga. Kitab Mahâvagga berisi peraturan-peraturan dan uraian
tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan purnama
dan bulan baru di mana dibacakan Pâtimokkha (peraturan disiplin bagi
para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa),
upacara pada akhir vassa (pavâranâ), peraturan-peraturan mengenai
jubah Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit,
peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma
(upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.
Kitab Cullavagga berisi peraturan-peraturan
untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang
bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya,
tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan
yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal,
peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok
bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (âcariyâ) dan calon bhikkhu
(sâmanera), pengucilan dari upacara pembacaan Pâtimokkha, penahbisan
dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama di
Râjagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali. Kitab
Parivâra memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya,
yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran
dan ujian.
SUTTA PITAKA
Sutta Pitaka terdiri atas lima 'kumpulan' (nikâya) atau buku,
yaitu :
1. Dîgha Nikâya,
merupakan buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta
panjang, dan terbagi menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahâvagga
dan Pâtikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta yang terkenal ialah
: Brahmajâla Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah), Samannaphala
Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa), Sigâlovâda
Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari
umat berumah tangga), Mahâsatipatthâna Sutta (memuat secara
lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang, Vipassanâ), Mahâparinibbâna
Sutta (kisah mengenai hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama).
2. Majjhima Nikâya,
merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah
menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannâsa); dua pannâsa
pertama terdiri atas 50 sutta dan pannâsa terakhir terdiri atas 52
sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di antaranya ialah
: Ratthapâla Sutta, Vâsettha Sutta, Angulimâla Sutta,
Ânâpânasati Sutta, Kâyagatasati Sutta dan sebagainya.
3. Anguttara Nikâya, merupakan buku
ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipâta (bagian)
dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor,
untuk memudahkan pengingatan.
4. Samyutta Nikâya, merupakan buku keempat
dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi
lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.
5. Khuddaka Nikâya, merupakan buku kelima
dari Sutta Pitaka yang terdiri atas kumpulan lima belas kitab, yaitu :
a. Khuddakapâtha,
berisi empat teks : Saranattâya, Dasasikkhapâda, Dvattimsakâra,
Kumârapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana, Tirokudda,
Nidhikanda dan Metta Sutta.
b. Dhammapada, terdiri atas 423 syair yang
dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia.
c. Udâna, merupakan kumpulan delapan
puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab ini memuat ucapan-ucapan
Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.
d. Itivuttaka, berisi 110 sutta, yang masing-masing
dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam bhagavâ (demikianlah sabda
Sang Bhagavâ).
e. Sutta Nipâta, terdiri atas lima vagga
: Uraga, Cûla, Mahâ, Atthaka dan Pârâyana Vagga.
Empat vagga pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima
terdiri atas enam belas sutta.
f. Vimânavatthu, menerangkan keagungan
dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui perbuatan-perbuatan
berjasa.
g. Petavatthu, merupakan kumpulan cerita mengenai
orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari perbuatan-perbuatan tidak
baik.
h. Theragâthâ, kumpulan syair-syair,
yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa syair berisi
riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang diucapkan oleh
para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.
i. Therigâthâ, buku yang serupa
dengan Theragâthâ yang merupakan kumpulan dari ucapan para
Theri semasa hidup Sang Buddha.
j. Jâtaka, berisi cerita-cerita mengenai
kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu.
k. Niddesa, terbagi menjadi dua buku : Culla-Niddesa
dan Mahâ-Niddesa. Culla-Niddesa berisi komentar atas Khaggavisâna
Sutta yang terdapat dalam Pârâyana Vagga dari Sutta Nipâta;
sedang Mahâ-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam
Atthaka Vagga dari Sutta Nipâta.
l. Patisambhidâmagga, berisi uraian
skolastik tentang jalan untuk mencapai pengetahuan suci. Buku ini terdiri
atas tiga vagga : Mahâvagga, Yuganaddhavagga dan Paññâvagga,
tiap-tiap vagga berisi sepuluh topik (kathâ).
m. Apadâna, berisi riwayat hidup dari
547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang semuanya hidup pada
masa Sang Buddha.
n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang
menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah
yang paling akhir.
o. Cariyâpitaka, berisi cerita-cerita
mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam bentuk syair,
terutama menerangkan tentang 10 pâramî yang dijalankan oleh
Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut
Cariyâ.
ABHIDHAMMA PITAKA
Kitab Abhidhamma Pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun
secara analitis dan mencakup berbagai bidang, seperti : ilmu jiwa, logika,
etika dan metafisika. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku (pakarana),
yaitu :
1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika
dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.
2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat
dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi
delapan bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhâjaniya,
Abhidhannabhâjaniya dan Pññâpucchaka atau daftar
pertanyaan-pertanyaan.
3. Dhâtukatha, terutama membicarakan
mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.
4. Puggalapaññatti, menguraikan
mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut
urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim
dalan Kitab Anguttara Nikâya.
5. Kathâvatthu, terdiri atas dua puluh
tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (kathâ) dan
sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai
sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika.
6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang
disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Âyatana, Dhâtu, Sacca,
Sankhârâ, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.
7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab"
yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara
batin dan jasmani).
Gaya bahasa dalam Kitab Abhidhamma Pitaka bersifat sangat teknis dan
analitis, berbeda dengan gaya bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya
Pitaka yang bersifat naratif, sederhana dan mudah dimengerti oleh umum.
Pada dewasa ini bagian dari Tipitaka yang telah diterjemahkan dan dibukukan
ke dalam bahasa Indonesia baru Kitab Dhammapada dan beberapa Sutta dari
Dîgha Nikâya.
http://mitta.tripod.com/kitab.htm
http://sulut.kemenag.go.id/file/file/BimasBuddha/fwtq1365897829.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Tipi%E1%B9%ADaka
Sejarah
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah
bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari
Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai
untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita,
tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak
berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka
([Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut
dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran
sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu
generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok
Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha
dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan
umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan
Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta
merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM).
Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama
kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui
kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon.
Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali)
diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan
diletakkan di bukit Mandalay.
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sanskerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya
pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan demikian
tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia
dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda
dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah
lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda
(ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi.
Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka,
Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara
lain.
Sidang Agung I (Konsili I)
Sidang Agung I diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei) dan berlangsung selama 2 bulan. Sidang ini dipimpin oleh YA. Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat. Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha. Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu.
Tujuan dari sidang pertama ini adalah untuk menghimpun ajaran Sang
Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang
berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Mengulang Dhamma dan Vinaya agar ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.
Kesimpulan dari sidang pertama ini adalah Sangha tidak akan
menetapkan hal-hal mana yang perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus
dilaksanakan, juga tidak akan menambah apa-apa yang telah ada. Mengadili
Y.A. Ananda. Mengucilkan Chana. Agama Buddha masih utuh.
Sidang Agung II (Konsili II)
Sidang Agung II diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah yang I) dan berlangsung selama 4 bulan. Dipimpin oleh YA. Revata dan dibantu oleh YA. Yasa serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu. Sidang diadakan di Vesali. Sponsor sidang agung ini adalah Raja Kalasoka.
Sidang kedua ini diadakan karena sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika) menghendaki untuk memperlunak Vinaya yang sangat keras (tetapi gagal).
Dalam sidang kedua ini kesalahan-kesalahan Bhikkhu-Bhikkhu dari suku Vajjis yang melangggar pacittiya dibicarakan, diakui bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang hadir menyatakan setuju. Pengulangan Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan nama "Satta Sati" atau "Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa dalam bidang pemurnian Vinaya.
Sidang Agung III (Konsili III)
Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I). Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta. Sidang diadakan di Pataliputta. Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja Asoka dari Suku Mauriya.
Tujuan sidang ini adalah untuk menertibkan perbedaan pendapat yang
mengaktifkan perpecahan Sangha. Memeriksa dan menyempurnakan Kitab Suci
Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha). Raja Asoka meminta agar para
Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, agar Bhikkhu Sangha bersih dari oknum-oknum yang bermaksud tidak baik.
Sidang ini menghasilkan keputusan untuk menghukum Bhikkhu-Bhikkhu selebor. Ajaran Abhidhamma diulang tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa, sehingga lengkaplah pengertian Tipitaka (Vinaya, Sutta, dan Abhidhamma). Jadi pengertian Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III. Y.A. Tissa memilih 10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami Ajaran Sang Buddha untuk menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka dan perhimpunan tersebut berlangsung selama 9 bulan.
Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua, yaitu : Theravãda (Sthaviravada) dan Mahasanghika.
Sementara itu ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa pada Konsili III
ini bukan merupakan konsili umum, tetapi hanya merupakan suatu konsili
yang diadakan oleh Sthaviravada.
Sidang Agung IV (Konsili IV)
Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM). Dipimpin oleh Y.A. Rakhita Mahathera dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu. Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale.
Tujuan dari sidang keempat ini adalah mencari penyelesaian karena
melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang mengancam Ajaran-ajaran
dan kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak lain.
Keputusan sidang ini adalah supaya Tipitaka disempurnakan komentar
dan penjelasannya serta menuliskan Tipitaka dan komentarnya di atas daun
lontar.
Konsili ini diakui sebagai konsili yang ke IV oleh sekte Theravãda.