BAB
I
PENDAHULUAN
Agama Budha
merupakan sejarah agama-agama di India
yang dimulai semenjak tahun 500
SM hingga tahun 800 M. Secara historis agama tersebut mempunyai kaitan erat dengan agama yang
mendahuluinya, akan tetapi juga mempunyai beberapa perbedaan dengan agama yang mendahuluinya dan yang datang
sesudahnya, yaitu agama Hindu.
Zaman Budha dimulai ketika putra
Raja Sudhodana yang bernama “ Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut logika dan
mengembangkan sistem Yoga dan Semadhi sebagai jalan untuk menghubungkan diri
dengan Tuhan. Agama Hindu dari India Selatan menyebar sampai
keluar India dengan berbagai cara. Terutama melalui perdagangan bebas
internasional.
Perlu diketahui bahwa peradaban pada masa ini telah dapat disejajarkan
dengan peradaban-peradaban seperti Yunani, Mesir, dan Eropa yang telah maju.
Pengetahuan tentang Sejarah kerajaan ini dapat menambah pengetahuan kita
tentang sejarah dunia, selain itu dapat dikomparasikan dengan kerajaan-kerajaan
nasional yang juga berpengaruh pada dunia kala itu.
Secara
geografis, agama Budha mempunyai tiga periode, yaitu periode pertama tetap
terbatas pada orang-orang India secara keseluruhannya. Periode kedua sudah
berkembang dan menyebar keluar dari negeri asalnya India ke Asia Timur dan ada
pengaruh pada pemikiran filsafat non Indian; dan pada periode ketiga
pusat-pusat kreatif pemikiran Budhis didirikan diluar India, terutama di China.[1]
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Agama Budha Di India
Agama Budha telah berlangsung kira-kira 2.600 tahun dan selama
periode itu telah mengalami perkembangan. Sejarah perkembangan agama Budha di
India setelah Budha Gautama wafat dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu a)
Masa perkembangan awal hingga pasamuan agung Kedua, b) Masa kekuasaan Raja
Asoka; dan c) Masa Kemunduran Agama Budha di India.[1]
1.
Masa
Perkembangan Awal
Pemerintahan Magadha
Raja-raja Magadha yang
terkenal ialah Sisunaga (642 SM), Bimbisara (582 SM), dan Ajatasatru, nama lain
Kunika (554 SM). Bimbisara memperluas kerajaan Magadha dan menaklukan
kerajaan-kerajaan di sekelilingnya. Di masa pemerintahan Ajatasatru agama
Buddha dan Jaina mulailah bersaing untuk merebut kedudukan yang terpenting.
Menurut berita di masa itu Devadatta seorang keponakan Buddha melawan agama
Buddha dan mendirikan cabang agama baru yang mempunyai pengikut hingga abad
ke-7, tarikh Masehi. Ajasatru memperluas kerajaan Magadha dan memindahkan
ibukotanya ke Pataliputra, di tepi sungai Gangga.[2]
Beberapa tahun kemudian
di waktu pemerintahan Udaya, cucu Ajatasaru (kurang lebih 516 SM) Darios dari
Persia menaklukan daerah di Sindh dan Punjab, di hulu sungai Indus. Dalam berita-berita itu tertulis bahwa raja
Persia mempunyai prajurit-prajurit bangsa India yang turut berjuang di tanah
Yunani.
Sejak abad ke-5 SM, sejarah kerajaan Magadha
tidak begitu jelas lagi. Yang agak dapat dipercayai adalah kisah ini. Salah
seorang keturunan Bimbasara yang tidak begitu besar kuasanya dibunuh dan
diganti menterinya yang bernama Mahapadma Nanda dari golongan Sudra. Raja
itulah asal keturunan 9 orang raja yang berturut-turut memerintah Magadha
sampai tahun 322 SM. Pada tahun itu Nanda yang penghabisan dibunuh oleh oleh
Chandragupta Maurya. Menurut dugaan ia adalah seorang keturunan Nanda juga akan
tetapi kawin dengan perempuan kasta rendah. Dengan Chandragupta mulailah
riwayat kejadian-kejadian di India jelas dan dapat ditentukan. Diwaktu
pemerintahan raja itu, Magadha berhasil merebut kuasa yang seluas-luasnya. Akan
tetapi dua tahun sebelum ia diangkat menjadi raja terjadilah peristiwa yang
besar akibatnya bagi seluruh India, yaitu penyerbuan Iskandar Zulkarnain ke
India.[3]
Penyerbuan Iskandar Zulkarnain ke India
Iskandar Zulkarnain adalah seorang raja dan
panglima besar Yunani yang mahsyur dalam sejarah Barat purbakala. Ayahnya
memerintah dalam negeri kecil, yaitu Makedonia, bagian dari tanah Yunani. Waktu
masih muda ia mendapat pendidikan yang luas, bukan dalam keprajuritan saja tapi
dalam ilmu filsafat dan pemerintahan juga. Ayahnya mempunyai cita-cita untuk
mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Yunani dan memperluas kerajaannya
sampai ke daerah Asia, akan tetapi sebelum ia dapat menjalankannya, ia dibunuh
oleh seorang penjahat.[4]
Putra mahkota Iskandar
juga yang pada ketika itu baru berumur 24 tahun menjadi raja di negeri
Makedonia sebagai penggantinya. Iskandar mengadakan persediaan untuk meneruskan niat ayahnya itu. Di
tahun 334 SM balatentaranya menyebrang selat Hellesponts yang memisahkan Eropa
dengan Asia. Dengan cepat seperti halilintar ia menaklukan Asia Muka (Turki
sekarang), Syria, Palestina, Mesir, Persia, dan Baktria, sehingga di tahun 327
SM jadi sudah tujuh tahun sudah meninggalkan negerinya, balatentaranya tiba di
batas India, negeri yang mengandung banyak rahasia kekayaan dan hasil-hasil
kebudayaan yang luhur. Bagi seorang pahlawan yang muda, remaja nafsunya tidak
dapat tertahankan lagi untuk memasuki dan memerangi India yang sudah begitu
dekat di hadapannya.
Setelah didirikannya benteng-benteng pertahanan
di tapal India dan Baktria. Maka tahun 327 SM turunlah ia ke lembah India
melalui pegunungan Hindu – Kush dan jurang-jurang yang dalam.
Menurut berita, Iskandar mula-mula tidak
mendapatkan perlawanan dalam negeri-negeri yang didudukinya. Di antara negeri
yang terkenal itu ialah negeri Takkashila. Peninggalan kota itu sekarang masih
nampak di dekat kota Rawalpindi. Ia menyebrangi hulu sungai India dan terus
memasuki Punjab atau negeri lima sungai. Akan tetapi ketika melalui sungai
Jhilam (dalam bahasa Yunani: Hydaspes) Iskandar mengalami perlawanan hebat yang
belum pernah dialaminya dalam tujuh tahun, sejak ia menyerbu ke Asia. Tatkala
Iskandar sampai di tepi sungai Jhilam, raja negeri Poros sudah siap sedia
menantikan kedatangannya dengan tentara terdiri dari 30.000 serdadu berjalan,
4000 serdadu berkuda, 300 kereta perang yang ditarik empat ekor kuda, 200 gajah
perang, semua membawa senjata yang langka.[5]
Iskandar lebih dari tiga bulan terhambat dan
terpaksa mengadakan persediaan untuk melawan, balatentara yang kuat itu.
Akhirnya dapatlah ia menyerang pasukan gajah raja Poros itu dulu, sehingga
terjadi kekacauan di antara binatang-binatang itu. Mereka menginjak serta
membantingkan baik musuh maupun pasukan raja sendiri dengan belalainya sampai
mati. Sesudah itu barulah pasukan berkuda mengepung dan menghalaukan
balatentara Poros itu ke pinggir sungai Jhilam yang dalam itu. Tidak lama
kemudian raja Poros terpaksa menyerah, setelah ia mendapat luka-luka yang
parah. Iskandar menghormati musuhnya dan memerdekakan tawanan semuanya, mereka
berjanji akan berkerja sama dengan orang Yunani.[6]
Tiba di tepi sungai bias, balatentara Iskandar
mogok dan mengatakan tidak bersedia berperang lagi, melainkan hendak pulang ke
Yunani yang tujuh tahun mereka tinggalkan. Dengan bijaksana Iskandar memenuhi
kemauan tentaranya dan mengumumkan supaya perang di India diselesaikan pada
tempat itu saja. Sebelum balik ke Yunani, Iskandar mendirikan dua belas candi
sebagai tanda peringatan dan tanda perasaan berterima kasih kepada dewa-dewa
kebangsaan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 326 SM.
Iskandar menganggap negeri-negeri itu semuanya
masuk bagian-bagian kerajaannya dan ia berharap akan lekas kembali ke India.
Sebagai wakilnya untuk memerintah negeri-negeri yang takluk itu diangkatnya
Poros, musuh lama itu. Akan tetapi kedatangan ajalnya kedatangan ajalnya tidak
dapat dielakkan dan dengan wafatnya tidak lama kemudian, India terlepas dari
kerajaan Yunani.
Meskipun penjajahan politik lenyap dari India
tidak berarti peristiwa itu tidak ada akibatnya. Karena sejak itu terjadilah
hubungan yang erat antara India dengan negeri Barat. Perhubungan lalu lintas
yang melalui jurang Khaibar sudah terbuka juga pertalian dengan kota-kota di
pantai Persia. Hasil dan bahan-bahan dari india mulai mengalir ke negeri Barat
dan sejak zaman itu terjadilah perhubungan antara Timur dan Barat.[7]
Zaman Kerajaan Maurya
Mengingat lemahnya kedudukan
wakil-wakil yang ditinggalkan oleh Iskandar di India, tidak lama setelah beliau
wafat, penduduk negeri tersebut langsung bertindak untuk merebut kemerdekaannya.
Pemimpin gerakan tersebut adalah Chandragupta, keturunan raja Nanda
di Magadha, yang dibuang keluar negerinya dan tiba di India Utara. Dengan
demikian, muncul dugaan bahwa Chandragupta pernah bertemu dengan Iskandar dan
sebagai pemuda bangsawan yang mempunyai perasaan keprajuritan, beliau tentu
tertarik oleh kegagahan dan kebijaksanaan pahlawan tersebut.
Kerajaan Iskandar dibagi-bagi
oleh para panglima perangnya sehingga mereka bisa menjadi raja di daerah masing
- masing. Di antara mereka, Seleukos menguasai bagian timur yang melingkupi
India Utara. Tindakannya untuk mempertahankan kekuasaannya di negeri itu
dikalahkan oleh Chandragupta dari Magadha, sehingga beliau terpaksa
mencari perdamaian pada tahun 305 SM. Perdamaian itu sangat berarti, karena
semenjak itu Seleukos mempunyai utusan - utusan di Pataliputta, ibu
kota Magadha. Salah seorang utusan yang bernama Megasthenes,
menuliskan pengalamannya di sana dengan rapi dan
teliti. Surat - suratnya masih tersimpan dan salinannya menjadi
sumber penting untuk mengetahui keadaan dalam kerajaan Chandragupta pada masa
itu (322 - 298 SM) dan pemerintahan putranya, yakni Raja
Bindusara (298 - 272 SM).[8]
Penulilain yang terkenal adalah
Chakya Vishnugupta atau Kautilya, seorang Brahmana, guru besar penasihat
Chandragupta ketika beliau berada dalam pembuangan. Setelah Chandragupta
menjadi raja, beliau diangkat sebagai menteri dan dalam jabatan itu beliau
menulis undang-undang yang dikumpulkan dan dinamai Kautilya-Arthasastra. Kitab itu
mengandung kejadian yang sangat bermakna untuk sejarah India kuno,
baru ditemukan di Tanjore oleh seorang ahli Hindu,
Shamasastri pada tahun 1906. Beliau yang menafsirkan dan
menerbitkan Arthasastra itu.
Kitab Arthasastra memberikan
keterangan yang cukup banyak mengenai peraturan pemerintahan dan kehakiman di
zaman itu. Keterangan-keterangan itu semuanya menggambarkan Magadha sebagai suatu
negeri yang maju dan mempunyai kebudayaan tinggi, pemerintahan, keuangan,
kehakiman, perekonomian serta cara pertahanan yang teratur. Peraturan-peraturan
pemerintahan tersebut muncul dari kebijaksanaan dan pemikiran sendiri, bukan
meniru negeri lain.
Raja adalah pemegang kekuasaan
tertinggi, di bawahnya terdapat raja - raja muda yang menguasai propinsi-propinsi.
Di samping raja, ada suatu badan penasihat tinggi. Pusat pemerintahan
diserahkan kepada 18 kementerian yang amat lengkap, yakni kementerian
pertahanan negeri, dibagi atas 8 bagian.Para pejabat menerima gaji yang
cukup supaya mereka tidak memeras penduduk. Pajak tanah, cukai barang masuk,
pajak penghasilan, yang dihitung dengan aturan - aturan yang modern, sudah
dijalankan di kerajaan Magadha. Untuk meningkatkan
hasil pertanian diadakan irigasi secara besar – besaran yang sangat diperlukan
di negeri panas seperti India. Jalan - jalan raya terdapat di seluruh kerajaan.
Untuk mengetahui keadaan rakyat, secara diam – diam, raja mengirim utusan –
utusan khusus untuk mengadakan pemeriksaan di daerah – daerah.[9]
Pertahanan di dalam negeri sangat
kuat. Menurut keterangan Megasthenes, tentara Magadha terdiri dari
sekitar 600.000 prajurit, 30.000 prajurit berkuda, 9.000 ekor gajah dan 8.000
kereta perang. Keraton raja di Pataliputta sangat indah dengan banyak
harta yang terkumpul di dalamnya. Para pegawai wanita bekerja di
dalam keraton dengan kedudukan teratur.
Kaum Brahmana mendapat
perlindungan yang khusus, mereka banyak memberikan pengaruh kepada raja.
Menurut kabar dari kaum Jaina, sesudah terjadi kelaparan hampir 10 tahun,
Raja Chandragupta mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjadi
pengikut Jaina, karena beliau merasa bersalah terhadap rakyatnya. Beliau
digantikan oleh putranya, Raja Bindusara (298 - 272 SM).
Riwayat Raja Bindusara tidak
begitu jelas. Raja Bindusara pertama kali memerangi bangsa - bangsa di
daerah Deccan di India Tengah. Beliau digantikan oleh putranya yang
terkenal dalam sejarah India, yakni Raja Asoka Vardana (272-232 SM).[10]
Kerajaan
Maurya merupakan salah satu kerajaan yang memegang peranan penting dalam
sejarah Asia Selatan. Penemuan dan peninggalannya adalah penemuan penting yang
dapat menjelaskan bagaimana peradaban masyarakat India jaman dahulu.
Kekaisaran Maurya diperintah oleh Dinasti Maurya yang didirikan oleh Candragupta di Pataliputra (sekarang disebut Patna) di Magadha, India timur laut. Pada 322 SM, Chandragupta naik tahta
hasil dari kudeta yang dipimpinnya dari dinasti Nanda. Pada masa pemerintahan
Chandragupta merupakan persinggungan antara India dengan bangsa asing, tepatnya
kekaisaran Macedonia yang dipimpin oleh Alexander Agung. Peristiwa ini
berlangsung 2 tahun sum Chandragupta naik tahta. Kedatangan Macedonia selain
dengan maksud politis, juga dengan maksud menyebarkan kebudayaan barat ke
timur. Pasca ekspansi bangsa barat adalah kemunculan budaya hellenisme, yakni
perpaduan antara budaya timur dengan budaya barat.
Chandragupta naik tahta beberapa saat pasca kematian
Alexander Agung. Ia berhasil menguasai daerah yang sebelumnya dikuasai oleh
Macedonia, dan bahkan berhasil menjalin hubungan dengan musuh Alexander Agung,
Seloucos Nicator (penguasa Yunani di Asia Barat) yang kemudian banyak membantu
Chandragupta dalam menuliskan sejarah India.
Menurut kitab Wisnu Purana, jumlah raja-raja Dinasti Maurya ada sepuluh dan
memerintah selama 137 tahun:
10. Brihadratha
Chandragupta mengambil alih kekuasaan di Maghada pada
321 SM. Dalam waktu 10 tahun, ia telah menginvasi sebagian besar India utara.
Ia seorang negarawan yang baik, dan India menjadi makmur di bawah pengaruhnya.
Putranya, Bindusara (293-268 SM), memperluas kerajaan hingga jauh ke bagian
selatan India.[11]
Cucu Chandragupta, Asoka (268-233 SM), merupakan
penguasa terbesar Maurya. Ia memperluas kerajaan, yang dihuni oleh penduduk
dengan lebih dari 60 keyakinan dan bahasa yang berbeda. Tahun 261 SM, pasukan
Maurya menghancurkan penduduk Kalingga dalam sebuah peperangan yang banyak
mengucurkan darah dan memakan korban sebanyak 200.000 jiwa. Menyaksikan
kengerian serta penderitaan tersebut, Asoka merasa sangat terguncang dan ia
memutuskan bahwa tidak ada kemenangan militer yang harus dibayar semahal itu.
Ia berpindah agama, dari seorang Hindu menjadi pengikut Buddha, dan
menanggalkan kekuasaan militer sebagai sebuah kebijakan nasional. Ia melarang
persembahan korban hewan maupun manusia dan mempertahankan angkatan daratnya
semata-mata sebagai sarana pertahanan. Asoka juga menerapkan hukum moral Buddha
mengenai sikap baik dan menjauhi kekerasan serta memberikan perdamaian,
kebudayaan, kehormatan, dan kemakmuran bagi rakyatnya.
Raja Asoka
dengan resmi telah mengikuti ajaran Buddha, akan tetapi rakyat pada
umumnya masih setia kepada ajaran Hindu, yang sudah berakar teguh dalam
masyarakat sejak zaman purba. Para Brahmana masih memberikan pengaruh
yang besar kepada rakyat. Dalam keadaan demikian, Raja Asoka mengeluarkan
amanat supaya di antara agama-agama dan aliran - aliran haruslah ada ikatan
persaudaraan dan perdamaian, setiap agama bebas untuk melakukan kebaktian dan
mendapatkan perlindungan yang sama dari raja.[12]
Di bidang keagamaan dikatakan masyarakat
beragama Hindu memuja Heracles, Dionysus, maupun Zeus Ombrios. Pusat pemujaan
Heracles adalah Mathura,dari sini kita dapat menduga bahwa Heracles itu
Kreshna, yang lebih dikenal sebagai sais kerata perang Arjuna, dan yang
sekaligus menjadi Raja di Yadava, dan tempat kelahirannya di Mathura. Sedangkan yang dimaksud dengan
Dionysus boleh jadi ialah Dewa Siwa, dan Zeus ialah Dewa Indra. Dapat
disimpulkan dari bidang keagamaan bahwa masyarakat pada masa Chandragupta banyak
memuja Dewa, dan Dewa yang di puja adalah Dewa local.[13]
2. Masa
Kekuasaan Raja Asoka
Raja Asoka
adalah raja yang ketiga dalam dinasti Maurya, yang telah memperbesar kerajaan Magadha di
Pataliputra, yakni Patna sekarang didataran sungai Gangga.[14] Kelahiran raja Asoka tidak bisa diketahui
secara pasti, namun prasasti yang ditemukan di India mengatakan bahwa raja
Asoka hidup pada 300 SM. Beliau Naik tahta sekitar tahun 273 SM. Wafat tahun
233 SM.
Sebelum raja
Asoka memeluk agama Budha, beliau merupakan seorang panglima perang yang
berhasil meluaskan kekuasaan hampir keseluruh India.[15]
Akan tetapi, ia berlainan dengan nenek dan bapaknya, ia ternyata seorang lemah
lembut, peramah dan suka berbakti, setia kepada agama dan amat sangat mengasihi
rakyatnya.
Pada tahun ke-8
dari masa pemerintahannya Ia mengadakan
peperangan di Deccan dalam menaklukan karajaan Kalinga (dipantai Teluk
Benggala). Setelah raja Asoka mendengar bahwa dalam peperangan itu kurang lebih
dari 100.000 orang Kalinga binasa dan 150.000 orang ditawan, ia amat sedih hati
dan bersumpah tidak akan mengangkat senjata lagi terhadap siapapun juga untuk
selama-lamanya. Makin lama makin nampaklah kerinduan raja untuk memeluk agama
Budha dan menjalankan segala syarat-ayarat agama itu dalam kehidupan
sehari-hari serta dalam pemerintahan.[16]
Ia juga
menyesali perbuatan-perbuatannya kemudian diarahkan untuk menyebarkan dan
mengembangkan agama yang dipeluknya, disamping usaha-usaha lain untuk mensejahterakan rakyatnya. Dalam
masa pemerintahannya, agama Budha berkembang menjadi agama yang berpengaruh di
seluruh India dan mempunyai peranan dalam berbagai bidang kehidupan, baik
sosial, kebudayaan, ekonomi maupun politik.[17]
Begitulah agama Budha perpindahan dari suatu madzhab yang mengandung
aliran-aliran Agama hindu kepada suatu agama dunia.[18]
Ditahun 249 SM
atau 24 tahun sejak tahun Asoka menjadi raja, baginda ziarah mengunjungi semua
tempat-tempat suci yang bersangkutan dengan hidup dan pengajaran Gautama Budha.
Kota-kota itu ialah: Kapilavastu (tempat lahir Budha), Sarnath
dekat Benares (tempat Budha pertama kali menyebarkan agamanya), Sravasthi,
Gaya (tempat pohon Bodhi yang suci), dan Kusinagara (tempat
wafatanya). Ditempat-tempat itu Beginda memberi sedekah dan mendirikan
tanda-tanda peringatan yang sampai sekarang amat berarti bagi ilmu sejarah.[19]
Dengan resmi
raja Asoka meninggalkan agama Brahma dengan memeluk agama Budha. Kemudian
baginda masuk Bhiksu (reshi). Dari sikap ini teranglah bahwa agama Budha
dizaman itu mendapat kedudukan sebagai agama kerajaan. Atas titah raja Asoka
didirikan lebih kurang 48.000 buah stupa. Yang masih ketinggalan, ialah stupa
yang mashur di Sanchi (India Tengah), dekat ibu negeri provinsi yang dibawah
pemerintahannya dulu. Untuk anaknya putri Charumati yang sungguh sangat berbakti didirikan oleh
raja beberapa wihara atau asrama bagi kaum wanita, terutama dibagian Nepal.[20]
Sejarah
menuturkan tentang kekayaan dan keindahan yang luar biasa dari kota dan istana raja serta penggalian-penggalian
membenarkan adanya perkembangan kebudayaan yang tinggi. Tradisipun menceritakan
bermacam-macam contoh kesalehan raja ini. Yang sudah pasti ialah bahwa ia
seorang penganut agama Budha yang setia
dan malahan ia minta dirinya ditahbiskan sebagai biksu dan berusaha keras
meluaskan ajaran itu.[21]
Diwaktu
pemerintahan Asoka seluruh India hampir dapat disatukan. Hanya bagian ujung
selatan yang belum takluk kepadanya. Kepulau Sailan dikirim utusan-utusan untuk
mengajarkan agama Budha. Sejak itu dari pulau itu tiap-tiap tahun beratus-ratus
orang datang ziarah kedaerah Benares. Dari zaman Asoka sampai sekarang
pulau Sailan adalah suatu pusat
pertahanan agama Budha.[22]
Dalam sejarah
India belum pernah terdapat seorang raja yang begitu luas kerajaannya seperti
Asoka. Kerajaan Chandra Ghupta di abad ke-5 SM, dan kerajaan Moghul (Sultan
Akbar dan turunannya) diabad ke-16 dan 17 tidak sampai menjadi kerajaan Asoka
itu.[23]
Salah satu
usahanya yang dianggap penting bagi sejarah perkembangan agama Budha adalah
pembuatan piagam-piagam yang dipahatkan pada tugu-tugu batu atau lereng-lereng
gunung yang ditandatanganinya dengan nama “Piyadassi”, yang berarti penuh
kemanusiaan. Piagam-piagam itu berisi pemberitahuan kepada rakyatnya agar hidup
sesuai dengan ajaran-ajaran Sang Budha, penyesalannya atas peperangan yang
dilakukannya dan ajaran agar menghormati ajaran lain.[24]
Bahasa yang
dipakai dalam maklumat-maklumat itu ialah bahasa Prakrit, bahasa orang biasa
pada masa itu. Bahasa amat rapat perhubungannya dengan bahasa Sankrit dan
dengan bahasa Pali yang lazim dipakai dalam kitab-kitab agama Budha.
Prasasti-prasasti itu mengandung berbagai undang-undang dan aturan-aturan
tentang agama dan masyarakat, perdamaian antara agama-agama, upacara,
kebaktian, dll.[25]
Dari
maklumat-maklumat itu nyata juga bagaimana susunan pemerintahan pada zaman
Asoka. Terang pula kesucian rohani raja itu, sebab dari susunan kata-kata dan
perasaan-perasaan batin yang terpahat itu terbit dari sanubari raja sendiri
bukan dari buah pikiran menteri atau pandit-pandit diistananya.[26]
Diatas telah
dikatakan, bahwa Asoka dengan resmi memeluk agama Budha. Akan tetapi rakyat
pada umumnya masih setia kepada agama Hindu, yang sudah berakar teguh dalam
masyarakat sejak purbakala. Pandit-pandit Brahma masih besar pengaruhnya kepada
rakyat. Dalam keadaan demikian Asoka mengeluarkan amanat supaya diantara
agama-agama dan mazhab-mazhab haruslah ada ikatan persaudaraan dan perdamaian:
tiap-tiap agama merdeka dalam melakukan kebaktian dan mendapat perlindungan
yang sama dari raja. Pendidikan masyarakat didasarkan kepada pelajaran Budha.
Oleh sebab itu, ia melarang membunuh yang berjiwa, baik manusia maupun hewan.
Orang yang melanggar peraturan itu
mendapat hukuman keras. Agama Budha percaya bahwa manusia itu dalam
hidupnya melalui beberapa tingkat dan menjelma tiap-tiap kali dalam suatu jenis
makhluk. Penjelmaan itu ditentukan oleh karma, yang terdapat dalam tiap-tiap
manusia, yaitu hasil dari segala perbuatannya yang baik atau buruk. Oleh karena
itu manusia dan penyelamatannya tak boleh dibunuh.[27]
Usaha-usaha
Raja Asoka dapat diperinci sebagaimana berikut
• Mendirikan rumah sakit-rumah sakit
• Mendirikan rumah-rumah peribadatan (stupa dan wihara)
• Mengeluarkan aturan-aturan yang meringankan untuk penduduk.
• Membangun jalan-jalan guna menunjang pemerintahan menuju “pejabat
Dharma”.
• Pembuatan piagam-piagam yang dipahat pada tugu-tugu batu atau
lereng-lereng gunung yang ditandatanganinya dengtan nama “piyadassi” yang
berarti “penuh kemanusiaan”.
Melakukan ziarah mengunjungi semua tempat-tempat suci. Seperti:
Kapilavastu (tempat lahir Budha), Sarnath dekat Benares (tempat Budha pertama
kali menyebarkan agamanya), Sravasti Gaya (tempat pohon Bodhi yang suci) dan
Kusinagara (Tempat wafatnya). Ditempat-tempat itu Beginda memberi sedekah dan
mendirikan tanda-tanda peringatan yang sampai sekarang amat berarti bagi ilmu
sejarah
•
Menaklukan
seluruh India, hanya bagian ujung selatan yang belum takluk kepadanya.
•
Memerdekakan
tiap-tiap agama dalam melakukan kebaktian dan mendapat perlindungan yang sama
dari raja.
•
melarang
membunuh yang berjiwa, baik manusia maupun hewan. Orang yang melanggar
peraturan itu mendapat hukuman keras.
•
Asoka
memerintahkan supaya tiap-tiap orang menghormati orang tuanya, leluhurnya dan
orang-orang yang diatasnya.
•
supaya tiap-tiap
orang mencari kebenaran dan menuntut kerendahan dan kemurahan hati.
•
Dibawah
kekuasaan raja Asoka ini pula diadakan pasamuan agung ketiga pada tahun 249 SM
di Pataliputra, yang dimaksudkan untuk meneliti kembali ajaran-ajaran Budha
serta mencegah penyelewengan-penyelewengan yang mengakibatkan perpecahan dalam
sangha.
•
Mengirimkan
utusan-utusan keberbagai negara untuk menyebarkan dharma, antara lain ke Siria,
Mesir. Yunani, Macedonia, India Belakang, dam Asia Tenggara. Salah seorang
utusan yang dikirim itu adalah Mahinda, putra raja Asoka sendiri, ke Srilangka
yang hingga sekarang merupakan salah satu pusat agama Budha.
3. Kemunduran
Agama Budha Di India
Setelah
mengalami perkembanmgan yang mengesankan di India kurang lebih lima abad,
akhirnya agama Budha mengalami kemunduran baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya.[28]
Pemasukan yang selalu bertambah dari unsur Hinduistik kedalam ajaran agama
Budha, akhirnya menyebabkan keruntuhan agama Budha di India. Sejak permulaannya
ajaran itu bersikap sabar (toleran) terhadap berbagai ajaran-ajaran dan
tindakan keagamaan lain. Karena itu agama Budha kurang tajam kelihatan sebagai
suatu agama yang mempunyai batasan-batasannya. Tambahan pula semakin mujarat
dan kurang tertuju kepada hati dan angan-angan khalayak ramai. Itulah sebabnya
maka didaerah-daerah dimana orang memeluk agama Budha, masih banyak juga
dilakukan orang adat kebiasaan agama lain.[29]
Pada abad
ketujuh Masehi, kemerosotan tersebut semakin meluas ke India, antara lain
disebabkan oleh serangan bangsa Hun Putih dari Utara yang banyak
menghancurkan pusat-pusat peribadatan agama Budha. Usaha untuk mengatasi
kemunduran tersebut juga ada, seperti yang dilakukan oleh Kaisar Harsya
(606-647), namun kemunduran itu agaknya sudah tidak dapat dicegah lagi.[30]
Beberapa kerajaan pada masa sesudah raja Asoka wafat
yang kemudian menjadikan kemunduran agama Budha di India.
Zaman Kerajaan Andra
Kerajaan Andhra didiami oleh Bangsa Dravida
letaknya di Teluk Benggala, diantara sungai Godavari dan Krihsna. Sewaktu
pemerintahan Ashoka kerjaan itu ditaklukkan dan diharuskan membayar upeti,
namun kemudian kerajaan itu bertambah kuat sehingga seorang diantara mereka
menduduki Kerajaan Maurya.
Selama raja Andhra memerintah Agama Brahma dan
Budha mendapat penghargaan yang sama. Dalam masyarakat negeri Andhra terdapat
empat golongan ;
1. Raja dan
Kepala Daerah
2. Pegawai
Negeri
3. Pekerja
yang terdidik
4. Pekerja
tangan
Kerajaan Andhra terkenal makmur sebab mempunyai
perhubungan laut dengan luar negeri. Sampai sekarang belum diketahui bagaimana
lenyapnya kerajaan itu. Sisa kerajaan Iskandar masih terdapat di Persia, yaitu
Kerajaan Baktria. Penduduknya kebanyakan adalah penggembala ternak. Namun
akhirya kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Bangsa Parthi yang terus merebut
Daerah Sungai Indus di India Barat. Di zaman inilah terjadi perpindahan Bangsa
Asia tengah ke India.
Kerajaan Parthi
(India Barat)
Sisa kerajaan Iskandar Zulkarnain yang masih terdapat di Persia pada masa itu adalah kerajaan Baktria.Penduduknya kebanyakan pengembarayang suka berpindah tempat untuk menggembalakan ternaknya.Bangsa itu
selalu hendak memasuki India. Terutama setelah mereka didesak oleh bangsa lain
yang datang dari sebelah utara. Kerajaan Baktria akhirnya ditaklukan oleh bangsa Parthi yang kemudian terus
merebut daerah sungai Indus di India Barat. Dizaman
ini terjadilah perpindahan bangsa-bangsa Asia Tengah ke India (bangsa-bangsa
Parthi dan saka) secara besar-besaran. Raja yang terkenal dari bangsa Parthi
adalah Gondophares. Menurut berita, raja inilah yang membawa agama kristen ke
India.
Kerajaan Kushan
(India Utara)
India utara menderita kerusakan disebabkan oleh masuknya
bangsa Yue-chi dari Tiongkok Tengah. Setelah mengetahui kelemahan raja-raja Andhra, Bangsa Yue-chi ingin merebut
India dengan menaklukkan daerah Gandhara dan Punjab. Bangsa ini
amat perkasa, sehingga mereka menaklukkan daerah-daerah Turkestan dan mengusir
bangsa-bangsa Saka atau Scyth dari kediamannya disekitar laut Kaspia. Mereka
mendirikan suatu kerajaan yang kuat sebelah utara India. Dan kerajaan diganti dengan nama Kerajaan Kushan, diambil dari nama suku
Bangsa Yue-Chi. .
Raja Kushan yang termasyur bernama Kanishka,
namanya disebut dalam kitab Budha di India, Tibet, dan Mongolia karena ia
terkenal sebagai pembela Agama Budha. Pada waktu itu kerajaan Kushan menguasai
India Utara, Lembah Gangga dan Indus jadi, belum seluruh kekuasaan Ashoka.
Dalam sejarah agama Budha terberita permusyawaratan
besar diadakan diantara pemimpin agama Budha atas perintah Kanishka untuk
menyelesaikan bermacam-macam perselisihan yang timbul dalam agama dan
menyelidiki kitab-kitab mengenai ilmu agama dan filsafat agar dapat disatukan. Semua keputusan yang diambil ditulis pada tembaga dan disimpan dalam stupa
dekat kota Srinagar.
Raja Kanishka memajukan kerajaan Kushan dengan
memajukan budaya dalam sejarah India dinamakan masa Ghandara. Di negeri itu
terdapat barang-barang kuno. Barang-barang itu kebanyakan terdiri dari lukisan
pada dinding batu yang dipahat.
Diantara
keturunan Kanishka ialah Vasudeva (182-220). Sewaktu pemerintahannya sudah tampak
tanda-tanda keruntuhan. Mula-mula adanya penyakit Pest yang menular dari
Babylon ke sebelah barat sampai Eropa hingga ke India yang mendatangkan maut
berjuta-juta orang. Kejadian kedua kuasa Kerajaan Persia yang dipimpin Ardhasir
makin mengencang. Kemudian kerajaan Kushan pecah belah dan lenyap dari sejarah.
Dengan runtuhnya kerajaan Kushan dan Andhra sampai pada zaman Gupta.[31]
Zaman Kerajaan Gupta
Zaman keemasan pada
pemerintahan Raja Asoka. Agama Budha dijadikan dasar pemerintahan. Di segala
penjuru kerajaan didirikan tiang-tiang batu bertahtakan ajaran agama Budha. Di
pucuk tiang tersebut terdapat patung singa sebagai kebesaran kerajaan Maurya. Setelah
Raja Asoka meninggal, kerajaan terpecah menjadi bagian-bagian kecil. Pada abad
IV muncul seorang raja yaitu Candragupta I yang
membangun Kerajaan Gupta. dengan pusatnya di Lembah Sungai
Gangga. Pada masa pemerintahan Raja Candragupta I, agama Hindu dijadikan agama
negara, namun agama Buddha masih tetap dapat berkembang.[1]
Masa kejayaan Kerajaan Gupta terjadi pada masa
pemerintahan Samudragupta. Pada
masa pemerintahannya Lembah Sungai Gangga dan Lembah Sungai Indus berhasil
dikuasainya dan Kota Ayodhia ditetapkan sebagai ibukota kerajaan.
Pengganti Raja Samudragupta adalah Candragupta II, yang dikenal sebagai Wikramaditiya. Ia juga bergama Hindu,
namun tidak memandang rendah dan mempersulit perkembangan agama Budha. Bahkan
pada masa pemerintahannya berdiri perguruan tinggi agama Buddha di Nalanda. Di bawah pemerintahan Candragupta II kehidupan rakyat semakin makmur dan
sejahtera.. Kesusastraan mengalami masa gemilang. Pujangga yang terkenal pada
masa ini adalah pujangga Kalidasa
dengan karangannya berjudul "Syakuntala". Perkembangan seni patung
mencapai kemajuan yang juga pesat. Hal ini terlihat dari pahatan-pahatan dan
patung-patung terkenal menghiasi kuil-kuil di Syanta.[2]
Dalam-perkembangannya Kerajaan Gupta mengalami
kemunduran setelah meninggalnya Raja Candragupta II. India mengalami masa
kegelapan selama kurang lebih dua abad.
Agama Hindu mengalami sebuah pasang surut dengan
munculnya agama-agama baru di India yakni Budha, Jain dan Sikh. Namun berkat
peranan Dinasti Gupta, agama Hindu kembali mendapat tempat pada masyarakat
India sampai saat ini. Di Zaman Gupta yakni pada masa Pemerintahan Samudragupta
dan Candragupta II. Ayah dan anak ini merupakan dua di antara pemimpin-pemimpin
hebat bangsa Gupta. Dinasti tersebut menguasai hampir seluruh India Utara dari
320 sampai 497 M, meski pengaruh mereka tersebar lebih luas dan bertahan lebih
lama.
Kerajaan
Harsha
Dalam sejarah India sebelum zaman Islam terdapat
pemerintahan Harsha, raja Hindu. Dua buah sumber keterangan dapat disebutkan
yaitu kitab yang ditulis oleh Hiuen Tsang tatkala ia mengunjungi India di tahun
630-644 ketika raja Harsha pada puncak kuasanya dan kitab Harsha-carita yang
menjelaskan peristiwa yang terjadi selama pemerintahan Raja Harsha yang ditulis
pujangga keraton bernama Bana.
Di tahun 604 ayahnya mengirim saudaranya yang
sulung Rajavardhana dengan tentara yang kuat untuk memerangi bangsa Huna di
sebelah utara. Tidak berapa lama ayahnya wafat dan diganti oleh putra mahkota,
meskipun ada sebagian pembesar yang lebih suka pada Harsha tetapi ia menolak.
Raja yang baru terpaksa meninggalkan kota
tempatnya untuk membalas perbuatan yang membunuh iparnya dan menganiaya adik
perempuannya. Raja Malwa yang dicari itu dapat dikalahkan tetapi tidak lama
kemudian raja sendiri dibunuh oleh beberapa penjahat.
Selama satu tahun pemerintahan kacau karena Harsha menolak permintaan rakyat mengganti saudaranya. Dan pada tahun 606 ia menerima permohonan itu akan tetapi sebagai pemangku. Pekerjaan pertamanya ia mencari adik perempuannya ke pegunungan.
Selama satu tahun pemerintahan kacau karena Harsha menolak permintaan rakyat mengganti saudaranya. Dan pada tahun 606 ia menerima permohonan itu akan tetapi sebagai pemangku. Pekerjaan pertamanya ia mencari adik perempuannya ke pegunungan.
Putri itu yang mempunyai kebijaksanaan dan watak
yang luar biasa diangkat sebagai penasihat raja. Enam tahun kemudian Harsha
dipilih menjadi raja bernama Maharajadhiraja Sri Harsha. Untuk memperkuat
kerajaannya dengan memperluas daerah kekuasaan dari India utara sampai ke Teluk
Benggala dan merubah nama kerajaan menjadi Kanauj.
Kesusastraan di zaman itu menarik minat raja
sendiri dengan menulis syair-syair yang sampai sekarang masih terkenal. Seperti
Kanishka dan Chandragupta II juga mengadakan permusyawaratan yang luhur dengan
pemimpin agama Budha. Hal itu dituliskan oleh Hiuen Tsang saat perjalanannya di
ibukota Kanauj di tahun 643.
Di tahun 647 raja Harsha wafat setelah
memerintah 46 tahun. India tidak akan melupakan namanya, sebab ialah raja yang
membawa keamanan dan kemakmuran serta membangkitkan India kembali dari
penindasan bangsa Huna.[3]
Dari laporan
parantau Cina seperti Fa Hsien (399-414), Hsuan Chuang dan I’tsing,
dapat diketahui bahwa jumlah wihara di India sudah semakin berkurang dan
pengamalan serta pengajaran agama Budha semakin kendor. Agama Budha semakin
lama semakin semakin bersifat India lama dengan semakin banyaknya unsur asli
India yang masuk kedalam agama tersebut.Disamping itu, muncul kembali
persaingan dengan agama Brahmana yang mulai bangkit setelah sempat terdesak
oleh agama Budha untuk jangka waktu yang cukup lama. Akan tetapi yang paling
terparah dari semua itu adalah rusaknya kebatinan ajaran agama Budha dan
perkembangan Islam yang mulai menyebarkan ajarannya ke Timur sejak abad delapan
Masehi.[4]
Akibat dari
hal-hal di atas, aliran Theravada dan Mahayana lambat laun tersingkir dari
tanah kelahirannya sendiri terutama karena peranan sangha yang cukup besar
dalam penyebaran agama Budha selama ini menjadi jauh berkurang sejak abad
ketujuh Masehi tersebut. Kemunduran peranan Sangha ini antara lain disebabkan
banyaknya unsur non-Budhis yang masuk kedalam agama Budha, sehingga menyebabkan
merosotnya penghargaan rakyat terhadap sangha dan mengakibatkan berkurangnya
dana yang diterimanya.[5]
Namun,
kemunduran agama Budha di India dapat di pandang sebagia terbukanya kesempatan
bagi agama Budha untuk berkembang di luar India.[6]
KRONOLOGI PERKEMBANGAN BUDDHISME
(TIMELINE BUDDHISME)
B. Perkembangan Agama Budha Di Cina
Jauh
sebelum agama Budha mengalami kemunduran di India, agama tersebut telah
tersebar ke beberapa negara di sekitar India, baik karena usaha golongan
Theravada maupun Mahayana. Oleh karena itu, ketika agama Budha mulai berkurang
peranannya di India, justru berkembang lebih baik di negara-negara yang pernah
menerima penyebaran agama tersebut dengan membentuk pusat-pusat kegiatan baru
hingga sekarang.[1]
Dari
segi geografis, perkembangan kedua aliran agama Budha di luar India tersebut
memperlihatkan pembagian wilayah yang cukup menarik. Aliran Theravada
berkembang ke Selatan, kewilayah-wilayah yang sekarang disebut dengan Srilanka,
Burma, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Indonesia. Sementara aliran
Mahayana berkembang ke Utara memasuki wilayah-wilayah Nepal, Tibet, Mongolia,
Cina, Korea, dan menyebar ke Jepang juga Indonesia.[2]
1.
Latar
Belakang Situasi Sosial Keagamaan Cina Sebelum Budha Datang
Pada dasarnya pandangan berpikir orang Cina selalu
mengembalikan hakekat keharmonisan antara kehidupan “langit” (alam gaib) dan
kehidupan di bumi (alam dunia nyata). Mereka percaya bahwa alam semesta ini
sebagai akibat dari inkarnasi kekuatan alam. Alam dikuasai oleh spirit-spirit
yang kekuatannya luar biasa. Alam semesta semata-mata hanyalah ekspresi dari
kekuatan-kekuatan alam yang dipengaruhi oleh spirit-spirit yang mendiami alam.
Beberapa spirit itu berada dan hidup di dalam fenomena-fenomena alam seperti
langit, matahari, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, gunung, serta fenomena-fenomena
alam lainnya. Di antara spirit-spirit alam itu adalah spirit yang berasal dari
arwah leluhur yang kekuatan hidupnya sangat besar, sekeluarga dapat melanjutkan
kekekalan hidupnya setelah jasad jasmaniahnya mati.
Menurut dasar pikiran orang Cina, seluruh fenomena
alam itu dapat dibagi dua klasifikasi yaitu yang dan yin. “Yang” merupakan
prinsip dasar untuk laki-laki, matahari, arah selatan, panasnya cahaya (siang),
dan segala yang termasuk keaktifan, sedangkan “yin” adalah suatu prinsip
seperti: wanita, bulan, arah utara, dingin, gelap (malam), dan segala yang
bersifat pasif. Orang Cina beranggapan bahwa manusia harus dapat menyesuaikan
diri dengan ritme alam semesta. kehidupan harus harmonis dengan tiga dasar
yaitu: kehidupan langit, bumi, dan kehidupan manusia itu sendiri. Di samping
itu harus disesuaikan pula dengan fengsui yang berarti angin dan air.
Penyesuaian itu berarti hidup manusia itu harus disesuaikan dengan arah angin
dan keadaan air di mana manusia bertempat tinggal. Tiap bangunan yang
dipergunakan harus pula disesuaikan dengan keadaan fengsui, sehingga akan
terhindar dari segala malapetaka.[3]
Kedua prinsip yin dan yang ini merupakan nafas dan
kekuatan yang dilambangkan dalam bentuk lingkaran yang dibagi dalam dua bagian
dengan garis yang saling melingkar yang memisahkan yang dan ying. Bulatan
melambangkan prinsip alam semesta, dimana alam semesta ini terwujud oleh karena
kedua prinsip kesatuan antara yang dan yin. “Yang” merupakan daya cipta suatu
sifat Tuhan yang memberi gerakan dan hidup kepada sesuatu. “Yin” bersifat bahan
atau zat yang diberi kemampuan menerima “yang”, sehingga terjadilah hidup dan
bergerak. Dengan kata lain, “yang” bersifat memberi dan memperbanyak, sedangkan
“yin” bersifat menerima dan menyimpan. Adanya kesatuan hidup ini terjelmalah
fenomena alam semesta seperti: air, kayu, bumi, dan makhluk hidup di dalamnya.
Penciptaan dan pergerakan kesatuan yang dan yin tunduk dan mengikuti hukum tata
kehidupan alam semesta, sehingga dengan demikian bergerak dengan teratur dan
berirama. Ritme ini mengisi dan mengatur setiap ruangan di alam semesta ini
seperti jalannya matahari, bintang, bulan, pergantian musim, dan lain-lain.
Ritme ini disebut tao yaitu bagaimana sesuatu di dunia itu dijadikan dan jalan
bagaimana orang harus mengatur hidup. Tao adalah jalan Tuhan. Dasar demikian
inilah yang selanjutnya menimbulkan paham Taoisme.
Dalam kehidupan orang Cina, ada tiga ajaran yang
mereka anut yaitu Toisme, Konfusianisme, dan Buddha. Ketiga ajaran ini sudah
saling menyatu (sinkretisme) dan dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw
(dialek Hokkian). Dalam kehidupannya, orang Cina memang sangat toleran terhadap
soal-soal agama. Setiap agama dianggap baik dan bermanfaat, begitu pula dengan
ajaran Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha yang mempunyai banyak
kesamaan-kesamaan pandangan dan saling membutuhkan sehingga ketiga ajaran
tersebut berpadu menjadi satu.[4]
Toisme
Taoisme merupakan ajaran pertama bagi orang Cina yang
dikemukakan Laotze. Ia dilahirkan di Provinsi Hunan pada tahun 604 SM.
Dikisahkan, Laotze merasa amat kecewa akan kehidupan dunia, sehingga ia
memutuskan untuk pergi mengasingkan diri dengan tidak mencampuri urusan
keduniawian. Ia kemudian menulis kitab Tao Te Ching yang kelak
menjadi dasar pandangan ajaran Taoisme. Tao berarti “jalan” dan dalam arti luas
yaitu realitas absolut, yang tidak terselami, dasar penyebab, dan akal budi.
Kitab Tao Te Ching memuat ajaran bahwa seharusnya manusia mengikuti
geraknya (hukum alam) yaitu dengan menilik kesederhanaan hukum alam. Dengan Tao
manusia dapat menghindarkan diri dari segala keadaan yang bertentangan dengan
irama alam semesta. Taoisme diakui sebagai suatu pre-sistematik berpikir
terbesar di dunia yang telah mempengaruhi cara berpikir orang Cina.
Haryono (1994), menyimpulkan bahwa pada dasarnya
filsafat Taoisme dibangun dengan tiga kata, yaitu:
1. Tao Te, “tao” adalah kebenaran, hukum alam, sedangkan
“te” adalah kebajikan. Jadi Tao Te berarti hukum alam yang merupakan irama dan
kaidah yang mengatur bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya.
2. Tzu-Yan artinya wajar. Manusia seharusnya hidup secara
wajar, selaras dengan cara bekerja sama dengan alam.
3. Wu-Wei berati tidak campur tangan dengan alam. Manusia
tidak boleh mengubah apa yang sudah diatur oleh alam.
Pada zaman pertengahan dinasti Han muncul seorang yang
bernama Zhang Dao-ling, yang juga menulis kitab Tao. Ia juga menyembuhkan orang
sakit, membuat jimat sehingga banyak orang yang kemudian menjadi
pengikutnya. Begitu besar pengaruhnya hingga pada akhirnya ajaran-ajarannya
menjadi dasar dari agama Tao yang kemudian disebut Tao-Jiao. Di dalam
penerapannya, aliran mereka berbeda dengan ajaran Tao yang dilontarkan oleh
Laotze. Jika Laotze mengajarkan hidup selaras dengan alam, Tao-Jiao justru
mengajarkan upaya untuk menentang kehendak alam. Usaha ini mereka lakukan
dengan jalan melakukan tapa untuk hidup abadi, membuat jimat-jimat
dan kias guna menolak pengaruh jahat, sakit, penyakit, dan sebagainya
(Setiawan, dkk, 1982: 156-157). Dalam prakteknya, perwujudan ajaran Tao-Jiao
antara lain berupa atraksi-atraksi seperti berjalan di atas bara api, memotong
lidah, dan perayaan-perayaan tertentu.[5]
Konfusianisme
Konfusianisme atau Konghuchu mulai dikenal di Cina
melalui pemikiran-pemikirannya yang cemerlang yang dilontarkan pada zaman Chou Timur
(770-221 SM). Konghuchu lahir pada tahun 551 SM berasal dari kota Lu, Provinsi
Shandong. Pada masa itu dinasti Chou tengah kehilangan kendali
terhadap para tuan tanah yang menempati hampir setengah bagian dari wilayah
Cina. Konghuchu dibesarkan oleh ibunya karena ia sudah kehilangan ayahnya
ketika masih berusia tiga tahun. Ketika dewasa dan bekerja sebagai pegawai di
kuil bangsawan Zhou, ia mengikuti semua detail-detail yang terdapat dalam
perayaan yang akhirnya menjadikannya sebagai seorang yang ahli dalam ritual
agama kuno.
Konfusianisme adalah humanisme, tujuan yang
hendak dicapai adalah kesejahteraan manusia dalam hubungan yang harmonis dengan
masyarakatnya. Kodrat manusia menurut konfusius adalah “pemberian langit”, yang
berarti bahwa dalam hal tertentu ia berada di luar piliham manusia.
Kesempurnaan manusia terletak dalam pemenuhannya sebagai manusia yang
seharusnya. Moralitas merupakan realisasi dari rancangan yang ada dalam
manusia. Oleh karena itu, tujuan manusia yang paling tinggi adalah menemukan
petunjuk sentral bagi moral yang mempersatukan manusia dengan seluruh isi
alam semesta. Bagi Konfusius, manusia adalah baian dari konstitutif dai seluruh isi
alam semesta. Manusia harus berhubungan secara indah dan harmonis dengan
harmoni alam di luarnya. Ungkapan yang paling terkenal yang merupakan inti
ajarannya yaitu tidak berbuat kepada orang lain apa yang dia tidak sukai orang
lain perbuatan pada dirinya. Secara praktis ajaran Konfusius dapat disimpulkan
menjadi tiga pokok yaitu:[6]
1. Pemujaan
terhadap Tuhan (Thian)
Konfusius mengajarkan keyakinan kepada pengikutnya
bahwa Thian atau Tuhan menjadi awal atas sumber kesadaran alam semesta dan
segalanya. Ia menekankan bahwa amat perlu untuk melakukan sembahyang korban
terhadap Thian. Pengertian Tuhan dalam kepercayaan Tionghoa sebenarnya juga
tidak berbeda dengan agama-agama yang lain yaitu sebagai pencipta alam semesta
dan segala isinya. Dalam kepercayaan kalangan rakyat, Tuhan biasanya disebut
sebagai Thian atau Shangdi atau Siang Te (dialek Hokkian). Thian adalah penguasa
tertinggi alam semesta ini. Karena itu, kedudukan-Nya berada di tempat yang
paling agung, sedangkan para dewa dan malaikat yang lain adalah para
pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan di alam semesta ini, sesuai
dengan fungsinya masing-masing. Di dalam sistem pemerintahan ini, merupakan
cerminan dari prinsip Yin dan Yang, yang diwujudkan dalam bentuk pemerintahan
di dunia dan pemerintahan surga yang dilakukan oleh para dewa yang dipuncaki
oleh Shangdi. Rakyat percaya pemerintahan surga memiliki struktur yang sama
dengan pemerintahan dunia. Kalau pemerintahan dunia terdiri dari kaisar, para
keluarganya, perdana menteri, menteri-menteri sipil dan militer, dan lain
sebagainya, maka pemerintahan surga pun dipimpin oleh Shangdi dan dibantu para
dewa-dewa baik sipil maupun militer untuk mengatur tata tertib di alam semesta
ini. Sebab inilah maka para kaisar (hung-di) yang di bumi merasa perlu untuk
memuja Shangdi (yang berkedudukan di atas) untuk memohon perlindungan dan
berkah serta petunjuk-petunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan di mayapada
ini agar selalu selaras dengan kehendak Shangdi (Shang=di atas, di=tanah).[7]
2. Pemujaan
terhadap leluhur
Pemujaan terhadap leluhur adalah menolong seseorang
untuk mengingat kembali asal-usulnya. Di sini asal mula manusia adalah dari
leluhurnya. Upacara pemujaan terhadap leluhur di sini diperlukan sesaji.
Sebagian besar aktifitas rumah tangga dalam keluarga Cina selalu berhubungan
dengan roh leluhur. Salah satu fungsi utama dalam keluarga adalah melakasanakan
pemujaan terhadap leluhur. Pemujaan leluhur dipandang sebagai perwujudan dari
bakti anak terhadap orang tua dan leluhurnya (Xiao). Pelaksanaan upacara
pemujaan leluhur dalam keluarga dipimpin oleh ayah sebagai kepala keluarga.
Keluarga Cina menganut garus keturunan dari pihak ayah atau disebut
patrilineal. Garis keturunan sangat penting bagi mereka guna menjaga
kelangsungan keluarga. Oleh karena itu, anak laki-laki sangat penting untuk
meneruskan garis keturunan.
3.
Penghormatan terhadap Konfusius
Bagi orang Cina merupakan kewajiban mereka untuk
menghormati Konghuchu yang mereka anggap sebagai guru besar seperti halnya
penghormatan terhadap orang tua. Konghuchu dianggap telah berjasa dalam
mengajarkan dasar-dasar ajaran moral yang sampai sekarang masih terus diterapkan.
Filsafatnya yang pada akhirnya menyatu dengan kehidupan masyarakat Cina membuat
secara keseluruhan ajaran Konfusius lebih banyak ditujukan kepada manusia
sebagai makhluk hidup.[8]
1. Masa Awal Kedatangan Agama Budha Di Cina
Agama
Budha masuk ke Cina melalui jalur sutra akan tetapi tidak diketahui secara
pasti kapan agama Budha masuk ke Cina, namun pendapat yang umumnya diterima
ialah pada masa dinasti Han.[1]
Menurut ceritanya, pada tahun ketiga dari pemerintahannya Kaisar Ming Ti
bermimpi melihat suatu benda terbuat dari emas yang terbang melayang-layang di
atas istananya. Kepala benda itu bersinar seperti matahari dan bulan. Menurut
tafsiran menterinya hal itu menunjukkan adanya kelahiran makhluk ilahi (Budha)
disebelah Barat Cina. Kaisar Ming Ti segera mengutus 18 orang ke India.[2]
Ketika
kaisar Ming Ti (58-76 M) mengirimkan utusan ke India untuk meneliti agama
Budha. Perkembangan awal agama tersebut di Cina kurang meperlihatkan hasil yang
menggembirakan karena mendapat perlawanan dan tantangan dari kepercayaan dan
filsafat asli Cina yang telah berkembang sebelumnya, seperti, yang diajarkan oleh Konfusius, disamping
ajaran dan filsafat Budha dianggap terlalu kaku dan metafisis sehingga
dirasakan sangat bertentangan dengan alam pikiran Cina yang praktis dan
matrealistis. Perkembangan yang mulai cukup pesat itu terjadi setelah abad
kedua Masehi, yang antara lain jatuhnya dinasti Han yang diikuti dengan
merosotnya paham konfusianisme dan Taonisme sehingga mengakibatkan Cina
menghadapi periode kegelisahan Budaya. Tradisi dan struktur sosial yang ada
mulai melemah, sementara alternatif baru belum muncul.[3]
Dalam
situasi budaya seperti itulah, Budha Mahayana muncul dan dipandang mampu
memenuhi kebutuhan yang ada dengan menawarkan suatu bentuk upacara keagamaan
yang berbeda dari tradisi-tradisi yang sudah ada sebelumnya disatu pihak, dan
dilain pihak kepercayaan dan tradisi asli tadi memberikan sumbangan dalam
membentuk kualitas agama Budha yang merakyat di Cina.[4]
Sebelum
agama Budha masuk ke Cina, Dao-Jiao (agama Tao) adalah agama yang tertua di
Cina. Agama Budha yang di Cina disebut Fo-Jiao juga tidak lepas daripengaruh
Dao-Jiao. Pengaruh Dao-Jiao menjadi kerangka dari kepercayaan masyarakat Cina,
dalam perkembangannya dijumpai adanya Bhiksu yang memimpin kuli-kuil Dao. Para
pendeta Dao sering kali juga membaca paritta agama Budha. Singkritisme yang
berkembang di Cina dapat dikatakan bahwa agama Budha yang terpengaruh disana
adalah Mahayana dalam perkembangannya yang terkhir.
Pada
periode awal perkembangan agama Budha di Cina itu banyak didirikan
wihara-wihara dan dilakukan penerjemahan naskah-naskah Budha ke dalam baahasa
Cina. Salah seorang penerjemah yang terkenal adalah Sarvastivadin yang
telah mengerjakan terjemahan tidak kurang dari 100 naskah Budha kedalam bahasa
Cina.[5][6]
Agama
Budha berkembang dengan baik sekali pada abad ke-6 dibawah pemerintahan Kaisar
Liang.[7]
Akan tetapi masa keemasan agama Budha di
Cina terjadi antara abad ke-7 M hingga abad ke-9 M, dibawah kekuasaan dinasti
Tang. Pada masa ini kontak antara Cina dan India tidak hanya terbatas pada
bidang keagamaan saja, tetapi juga menyangkut bidang-bidang yang lain.[8]
Agama
Budha yan di negeri Cina juga khususnya mempunyai bentuk yang menjadikannya
jauh dari Agmaa Budha yang benar. Orang-orang Cina telah membalutnya dengan kebudayaan dan kehidupan
mereka. Mereka menjadikan bilangan Tuhannya sebanyak 33tahun srabaimana yang
telah mereka alkukan sebelum datangnya agama Budha. Untuknya mereka mendirikan
kuil-kuil yang menarik dengan dihiasi karya seni yang indah. Diantara
sebab-seba yang mendorong orang-orang Cina menerima ajaran Budha ini adalah
karena ia masuk knegara mereka sesudah Budha dijadikan sbagai Tuhan dan
patung-patungnya dijadikan sebagai berhala-berhala yang disembah, kepadanya
diberikan korban dan untuknya dilakukan upacara ritual. Mereka juga mempunyai
cara-cara prmujaan terhadap Tuhan-Tuhan mereka yang hampir-hampir serupa dengan
cara-cara ini. diantara sebab-sebab yang menarik mereka kepada penganutan agama
Budha lagi adalah karena agama itu penyelamat dan bersih. Melalui Nirwana ia memberi kenikmatan dan kebahagiaan
didalam hidup dan sesudah mati. Ia mendorong bersikap lembut dan sayang,
mempengaruhi denan kebaikan dan mengahpuskan hawa nafsu yang xalim serta
menjauhi kejahatan.[9]
2.
Masa
Keemasan Pada Masa Kekuasaan Dinasti Tang
Masa
keemasan agama Budha di Cina terjadi antara abad ke-7 M hingga abad ke-9 M
dibawah kekuasaan dinasti Tang. Pada masa dinasti Tang, agama Budha diadaptaskan dan dikombinasikan dengan
kebudayaan setempat, seperti terlihat dalam berbagai karya seni yang bercorak
keagamaan. Masa keemasaan ini juga ditandai dengan banyaknya ilmuan Cina yang
melakukan perjalanan untuk mempelajari dan menulis sejarah agama keberbagai
negeri termasuk Nusantara, menerjemahkan kitab-kitab Sutra dan memperkaya
dengan ide-ide keagamaan yang ganjil dan
menakjubkan. Diantara para ilmuan itu adalah Fa Hien, Hi Nen Tsang dan
I’sing.[10]
Namun
kemajuan agama Budha di Cina itu ditandai pula dengan kebangkitan kembali
Konfusianisme yang bersifat sosiallitis sehingga sering berbenturan dengan
ajaran Budha yang menekankan pada kehidupan sejati melalui hidup membiara
sebagai Bhikkhu. Pertentangan tersebut merembet pula pada tradisi Cina yang
menekankan pada kehidupan keluarga disatu pihak, dengan ajaran agama Budha untuk hidup selibat dan membiara dilain
pihak, yang secara ekonomis tidak membantu pengembangan produktifitas keluarga
dan masyarakat.[11]
Pada tahun 845 timbullah
penganiayaan terhadap orang-oranga Budha, yang disebabkan karena iri hati kaum
Taois dan pengikut Kong Hu Cu. Beribu-ribu Biksu dipaksa untuk meninggalkan
agama Budha. Semenjak itu agama Budha tidak dapat berkembang dengan baik.[12]
Namun
sejauh itu agama Budha tetap mampu mengakomodasikan dirinya dengan kepercayaan
tersebut sehingga memperoleh tempat sejajar dengan konfusianisme dan Taonisme.
Bahkan ketiga-tiganya membentuk landasan filsafat dan agama di Cina yang di
kenal sebagai Sam Kauw,
atau Tri Dharma, yang berarti tiga ajaran.[13]
3.
Masa
Kemunduran Agama Budha Di Cina
Pada tahun 845 agama Buddha di China menghadapi
cobaan berat. Kaisar Wu Zong yang berkuasa mengeluarkan perintah untuk
melenyapkan pengaruh agama Buddha atas pertimbangan ekonomi. Lebih dari
4.600 vihāra dan 40.000 biara di wilayah kerajaan dihancurkan, lebih dari
260.500 bhikṣu-bhikṣuni dipaksa kembali ke kehidupan rumah tangga
sementara lebih dari 150.000 dipaksa menjadi pekerja kerajaan. Dan tidak dapat
dibayangkan banyaknya karya-karya sūtra dan sastra yang ditulis selama 6
dinasti ikut terbakar dan hancur.
Dalam keadaan yang sulit tersebut, agama Buddha
dari aliran Chan saja yang dapat bertahan dan tidak banyak terpengaruh
karena aliran ini tidak tergantung pada kitab-kitab ataupun upacara-upacara. Bhikṣu-bhikṣu
aliran Chan dapat bekerja sendirisendiri untuk mendapatkan nafkahnya
dan tidak tergantung dari masyarakat.
Krisis yang terjadi pada masyarakat China setelah
runtuhnya dinasti Han telah diwarnai oleh nilai-nilai yang dibawa oleh
ajaran agama Buddha yang masuk melewati Asia Tengah. Diseluruh wilayah
kerajaan, baik di utara, selatan, maupun suku-suku nomad (pengembara) serta di
lingkungan kaum terpelajar maupun masyarakat umum, agama Buddha diterima
dengan tangan terbuka. Kemudian agama Buddha ikut berkembang dalam
pasang surutnya dinasti-dinasti.
Ajaran agama Buddha mempunyai pengaruh yang
kuat dalam kebudayaan China. Ajaran Mahāyāna membawa pengaruh terhadap
seni patung dan seni lukis di negeri ini. Agama Buddha juga menambah
perbendaharaan bahasa China serta menambah wawasan pandangan dan pemikiran
bangsa China. Keberadaan ajaran Kong Hu Chu dan Tao yang ada tidak cukup kuat
untuk menahan para cendekiawan pergi ke India mempelajari pandangan-pandangan
baru. Menjelang akhir abad ke-8, kebudayaan China berkembang ke arah yang
sebaliknya. Ketimpangan kehidupan biara dan kerajaan telah dijadikan alasan
bagi penguasa untuk mengesampingkan agama Buddha dan mengembalikan
pandangan asli yang berdasarkan ajaran Kong Hu Chu dan Tao. Beberapa waktu
kemudian kedua ajaran asli China mengalami zaman kebangkitan kembali pada abad
ke 10.[14]
4. Tokoh-tokoh
yang berperan dalam perkembangan agama Buddha di Cina
a. Kumarajiva
(344-413M)
Kumarajiva dilahirkan di kara shard
an tidak lama setelah itu ibunya memeluk agama Buddha dan menjalani kehidupan
suci menjadoi Bhikkhuni. Dia mempunyai guru. Sejak berusia 9 tahun dia dibawa
ibunya ke kasmir untuk belajar kitab-kitab dan filsafat agama Buddha. Dia juga
mempunyai guru (Budhudatta) yang menganut pandangan Mahayana. Dengan penetahuan
yang luas dan mendalam tentang filsafat aliran-aliran Buddha dan penguasaan
terhadap bahasa Sansekerta maupun Cina.
b. Paramatha
(513-569M )
Adalah seorang sramana yang berasal
dari suatu pendidikan agama Buddha dengan bahasa sankerta Paramatha juga
menerjemahkan kitab-kitab sanskreta kedalam bahasa Cina.
c. Bodhidarma
(wafat tahun 528/536)
Bodhidarma pergi ke Cina bertujuan
untuk memperkenalkan system filsafat. Filsafat Bodhidarma yaitu filsafat
kekosongan (sunyata) dan sunyata tidak dapat dibandingkan dengan apapun juga.
Aliran Bodhidarma ini berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan dengan
keadaan.
d. Huan-Tsang
(602-664M)
Huan-Tsang merupakan seorang penulis
sejarah maupun penerjemah kitab-kitab Sankerta kedalam bahasa Cina. Huan-Tsang
menerjemahkan dengan cara bebas untuk menerjemahkan hal yang dimaksud,
meniadakan pengulangan-pengulangan dan memberikan tambahan.
e. Bodhiruci (
571-727M)
Nama asli Budhiruci adalah
Dharmaruci. Arti kata yang mengandung dari masing-masing nama tersebut adalah
cinta-Dharma menjadi cinta pengetahuan. Bohiruci mempelajari beberapa ilmu
pengetahuan se[erti astronomi, ilmu bumi dan agama serta menjadi Bhikkhu setelah
mempelajari ilmu tersebut dan samsara hidupnya dia membaktikan dirinya untuk
menerjemahkan kitab-kitab agama Buddha.[15]
1.
Aliran-aliran
agama Budha Di Cina
Agama
Budha di Cina juga melahirkan beberapa aliran besar dalam golongan Budha
Mahayana, antara lain:
1) Aliran
Chan atau Dyana, merupakan aliran yang bersifat meditatif, yang
mengembangkan ajaran metafisis Madhyamika, digabungkan dengan ajaran Prajnaparamita
dan ajaran Yogacara. Ketiganya disesuaikan dengan keadaan Cina. Kata Chan
berarti meditasi sama dengan bahasa sansekerta, dhyana.[1]
Pendirinya adalah Boddhidharma, asal
India tetapi menetap di Cina anara 527-536 M. Boddhidharma dikenal sangat
radikal terhadap kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Budha, dan
bermaksud untuk kembali pada semangat ajaran Budha yang asli sehingga aliran
yang didirikan sangat mengutamakan pada perenungan (kontemplasi) dan tidak
banyak memberi tekanan pada teks-teks suci.[2]
Aliran
ini berkembang pesat di Cina terutama pada Masa Hui Neng (838-713 M) karena
mengaku mendapatkan ajarannya langsung dari Sakyamuni. Dalam perkembangannya
kemudian, aliran ini dan berkembang di Jepang menjadi aliran Zen dan
berpengaruh dalam kehidupan keagamaan di Cina maupun Jepang sampai hari ini.
Seorang Bhikhhu Cina memberi warna lain pada aliran ini dengan menekankan
ajarannya pada etos kerja pada kata-kata singkat :”Sehari tanpa kerja adalah sama dengan sehari tanpa makan. Kehidupan
tidak hanya diisi dengan meditasi, tetapi juga dengan kerja.”[3]
2) Aliran
Vinaya, didirikan oleh Too Hsuan (595-667), yang menekankan ajarannya pada
pelaksanaan vinaya secara ketat. Menurut aliran ini, pengingkaran terhadap
dunia dan kesusilaan merupakan kondisi yang sesuai dengan kehidupan Sang Budha.
Oleh karena itu aliran ini menekankan pada kehidupan mistik membiara.[4]
3) Aliran
Ching-t’u atau tanah putih, yang didirikan oleh Hin Yuan dan T’an Lun. Ajarannya
didasarkan pada kitab amitayadhyana, sebuah kitab yang merupakan
kelanjutan dari kitab Sukhauzatiyuha. Aliran ini menekankan pada
pemujaan terhadap amida atau amitaba yang mewujudkan diri dalam Dewi Kwan In.
Dewi Kuan-yin, barangkali seorang Dewi dari zama Cina Kuno , dihubungkan erat
sekali dengan pemujaan kepada amitaba, yang dipandang sebagai Bodhisattwanya,
sebagai Awalokiteswara.[5]
Sebutan
Kuan-yin berarti “Ia yang melihat kebawah mendengarkan suara anak
dipangkuannya. Kadang-kadang juga digambarkan berada disebelah kiri Amitaba.
Kuan-yin biasanya dipuja untuk diminta pertolongannya dalam kesusahan, atau
ingin mempunyai anak.”[6]
Dengan menyebut nama Amitaba atau Amida, para
pengikutnya berharap mendapat kebahagiaan, hilang kesedihan mereka, lepas dari
sengsara dan masuk dalam surga. Karena ajarannya yang mudah dan sederhana,
aliran ini berkembang cukup luas dalam masyarakat.[7]
Aliran-aliran
lainnya adalah aliran Chen Yen yang
bercorak eksoteris dan banyak mempergunakan mantram dan mandala atau diagram
magik dalam mencapai tingkat kebudhaan. Aliran Tien T’ai yang didirikan oleh
Chih-Yi, seorang ahli tafsir kitab-kitab sutra, dengan ajarannya yang
menekankan pada dharma dan meditasi dan sebagainya.[8]
Detelah
masa keemasan hingga akhir abad ke-7 M, agama Budha di Cina pelahan-lahan mulai
mengalami kemunduran. Pada dinasti Sung (960-1279), terutama akibat perubahan
sikap pemerintah dalam hubungan antara agama dan negara, semua agama
mendapatkan kesempatan yang sama untuk hidup dan berkembang, sehingga ide-ide
Konfusianisme lambat laun mendominasi kehidupan agama dan polotik di Cina.[9]
Lebih-lebih
pada masa kekuasaan akhir dinasti Tang, ketika penguasa baru Cina yang berasal
dari mancu lebih cenderung pada Konfusianisme dari pada agama Budha. Selaian
itu, agama Budha di Cina sudah mencapai titik jenuhnya sehingga tidak lagi
mampu memberikan semangat baru untuk mengembangkan kreatifitasnya sendiri.
Disamping itu agama Budha sendiri muncul kecenderungan ke arah bentuk-bentuk keagamaan yang lebih
bersumber ke Cina dari pada India sehingga keasliannya semakin berkurang.[10]
2.
Bentuk-Bentuk Budha
di Cina
a.
Yao Shi Fo
(Bhaisjya Buddha)
Yao Shi Fo (Hokkian: Yok Su Hud)
atau Bhaisjya Buddha adalah salah satu Budha dari masa paling awal. Beliau
terkenal sebagai Budha yang ahli dalam menyembuhkan penyakit. Banyak pihak yang
memperoleh berkah berupa kesembuhan secara ajaib dari penyakit. Hal ini
menjadikan Yao Shi Fo sebagai guru pengobatan amat dekat dengan hari masyarakat
luas. Selain memberikan kesembuhan Yao Shi Fo juga menghindarkan malapetaka
serta memberikan berkah kemakmuran untuk mereka yang memuja nya. Hari
ulangtahun Yao Shi Fo diperingati pada tanggal 30 bulan 9 Imlek.
Sebagai Bodhisatva, Yao shi Fo
pernah mengucapkan 12 jqnji agung ialah berkaitan dengan membebaskan manusia
dari penyakit badaniah dan mengusir rasa was-was mereka yang kurag memperoleh
bimbingan rohani.[11]
b.
Mi Tuo Fo
(Amitaba Budha)
O Mi Tuo Fo (Amitaba Budha) disebut juga Wu Liang Shou Fo. Tradisi yang
berkembang Budha Mahayana di Cina menyebutkan bahwa Amitabha sebelumnya adalah
seorang raja. Ia meninggalkan tahta dan menjadikan bhiksu dengan nama
Dharmakarsa yang berarti putra Dharma. Diilhami oleh khotbah Lokesvaraja Budha
yang mengajarkan jalan penerangan yang sempurna, maka bhiksu Dharmakarsa
mengucapkan 48 janji untuk menyelamatkan makhluk-makhluk yang menderita. Sejak
itu ia disebut Bodhisatva Dharmakarsa.
Setelah melewati 5 masa penempatan diri memeproleh penerangan sempurna dan
menjadi Budha amitabha. Hal ini memberikan keyakinan bahwa janji yang penuh
belas kasih dan agung itu telah menjadi kenyataan
Doa penghormatan sederhana yang diucapkan Namo O mi Duo Fo yang berarti
Namo amithabaha atau aku berlindung kepada Amitabha Budha. Hari lahir amiabha
Budha diperingati pada tanggal 17 bulan 11 Imlek.[12]
c.
Budha Vairicana
Terdapat beberapa terjemahan dari Budha vairocana, antara lain Budha yang
keberadaannya dimana-mana secara universal. Rocana dan Hyang Budha yang dari
tubuhnya memancarkan Cahaya yang terang benderang. Sekte atau aliran agama
Budha menggunakan nama beliau seccara berbeda-beda. Sekte Avatamsaka menerima
Budha vairocana ini sebaga Sang Penguasab atas dunia Bunga Teratai. Sekte
Dharmalaksana membaangkan Budha Vairocana ini sebagai sifat diri dari Budha
Sakyamuni sedangkan sekte Tien Tai memikirkjan Budha vairocana sebagai
Dharmakaya dari Budha Sakyamuni. Aliran lain bersifat esoteric (yang
mementingkan segi batin dari Dharma) memuja Budha Vaircana ini sebagai Sang
Penguasa dari kendaraan rahasia dari perkataan yang benar. Dan masih banyak
bentuk-bentuk Budha yang lainnya.[13]
3.
Bentuk
Pendidikan Agama Budha Di Cina
Umat Buddha Cina Han tidak
menghadapi penindasan separah yang dialami umat Tibet. Kegiatan mereka juga
terbatas hanya pada kuil-kuil yang dibuka untuk ibadah. Dari 600 kuil dan
wihara Cina Han di Beijing, hanya tiga yang masuk pada kelompok ini, ditambah
satu kuil Tibet/Mongol. Sisanya adalah museum. Pada hari festival tahunan
Guanyin (Avalokiteshvara) tahun ini, lebih dari dua ribu orang mengunjungi kuil
Buddha utama di Beijing, Guangqi Si, tempat Persatuan Umat Buddha Cina
berkedudukan. Akan tetapi, biasanya sekitar seratus orang datang pada beberapa
hari khusus dalam kalender keagamaan di setiap bulan candra untuk membuat
sesembahan dupa, dan pada hari-hari lain pengunjungnya bisa dihitung jari.
Jumlah biksu pada kuil/wihara ini dibatas tiga puluh saja. Walaupun mereka
melaksanakan upacara dua kali sehari selama satu jam, di waktu sisanya mereka
bekerja sebagai penjaga. Tidak
ada pelajaran karena tidak ada guru. Para biksu mencoba belajar sendiri.Sebelum
guru mereka meninggal pada 1988, mereka belajar dan latihan meditasi bersama.
Kini, mereka telah menghentikan latihan yang biasa mereka lakukan dan hanya
beberapa saja yang lanjut berlatih di kamar masing-masing. Ada satu guru
meditasi yang sudah tua yang kadang-kadang mengunjungi mereka, tapi ia juga
harus melayani sekitar dua puluh kuil/wihara serupa di sekeliling Cina.
Sekitar delapan biksu Cina tiap
tahun diizinkan untuk belajar ke luar negeri, sebagian besar di Sri Lanka. Di
sana bentuk ajaran Buddha-nya berbeda sama sekali dengan aliran Cina. Walaupun
ada minat besar terhadap ajaran Buddha di antara rakyat Cina Han, pemerintah
tidak mengizinkan diadakannya pengajaran agama Buddha di sekolah-sekolah atau
perguruan-perguruan tinggi. Pemerintah juga tidak mengizinkan dibangunnya
kuil-kuil Cina baru dan perbaikan kuil-kuil yang lama sengaja diperlambat.
Alasan resmi yang dikeluarkan pemerintah atas tindakan ini adalah bahwa terlalu
banyak uang digelapkan oleh orang-orang yang mengumpulkan dana untuk
pembangunan kuil-kuil tersebut.
Sekolah negeri Buddha Cina di Beijing
terletak di kuil/wihara Fayun Si. Ini adalah satu dari lima perguruan serupa
yang diatur pemerintah sebagai tempat melatih para biksu aliran Cina Han. Empat
yang lain ada di Shanghai, Nanjing, Jiuhua di Anhui, dan Mingnan di Fujian.
Agama Buddha Han terkuat di Shanghai dan khususnya Fujian, yang merupakan
wilayah paling giat. Terdapat delapan puluh biksu di perguruan tersebut di
Beijing yang menjalani pendidikan empat-tahun. Empat perguruan yang lain
memiliki jumlah yang serupa dan ada pula beberapa sekolah pelatihan yang lebih
kecil di kota-kota lain. Hampir seluruh pelatihan dimaksudkan untuk
indoktrinasi politik.
Masyarakat Awam Buddha Beijing
memiliki dua guru Cina Han yang usianya sudah kepala tujuh, yang mengikuti dan
utamanya mengajarkan aliran Tibet. Persatuan tersebut memiliki sekitar 1200
anggota. Mereka hanya memiliki prasarana yang kecil dan sudah usang dan
walaupun mereka telah mengumpulkan cukup banyak sumbangan untuk membangun
gedung yang layak di atas tanah mereka, pemerintah tidak akan memberi.
Pemerintah Cina telah membangun
sebuah kuil di Lumbini, Nepal, tempat lahir sang Buddha. Tahun ini, untuk
pertama kalinya, pemerintah mengizinkan umat Buddha Cina untuk melakukan ziarah
di Nepal dan India untuk pembukaan kuil ini. Jumlahnya dibatasi delapan puluh
dan hanya bagi biksu saja. Dari delapan puluh ini, sepuluh di antaranya berasal
dari aliran Tibet-Mongolia dan yang lain dari wihara-wihara Cina Han. Sepuluh
bisku dari aliran Tibet-Mongolia dilarang untuk melanjutkan ziarah ke India, karena
pemerintah waswas mereka akan berhubungan dengan Yang Mulia Dalai Lama.
Ongkosnya $3000 untuk dua minggu – jauh di atas jangkauan sebagian besar orang.[14]
Mengenai tentang kitab agama Budha
di Cina adalah Avadana (Legenda Budha) dan Prajaparamitha.
BAB III
PENUTUPAN
Agama
Budha di India telah berlangsung kira-kira 2.600 tahun dan selama periode itu
telah mengalami perkembangan yang pesat. Terutama perkembangan yang amat
menonjol berada pada masa pemerintahan raja Asoka. Dimana Raja Asoka merupakan
seorang raja yang baik, sopan dan taat beragama. Asoka juga mengajarkan agar hidup rukun walau
berbeda agama. Perkembangan
agama Buddha tidak bisa lepas dari usaha-usaha Dharmaduta-Dharmaduta yang
berjuang keras dalam mengembangkan agama Buddha. Raja Asoka termasuk salah satu
raja yang aktif dalam mengembangkan agama Buddha dengan mengirimkan
Dharmadutanya ke berbagai penjuru dunia. Dalam perkembangannya agama Buddha
menjumpai tidak sedikit halangan termasuk dari berbagai agama bahkan dari
aliran-aliran agama Buddha sendiri demi untuk kepentingan mereka pribadi
Setelah
mengalami perkembangan yang mengesankan di India kurang lebih lima abad,
akhirnya agama Budha mengalami kemunduran baik dari segi kualitas maupun
kuantitatifnya. Pemasukan yang selalu bertambah dari unsur Hinduistik kedalam
ajaran agama Budha, akhirnya menyebabkan keruntuhan agama Budha di India.
Namun, kemunduran agama Budha di India dapat di pandang sebagia terbukanya
kesempatan bagi agama Budha untuk berkembang di luar India. Teutama ke China.
Agama Budha berkembang dengan baik
sekali di China pada abad ke-6 dibawah pemerintahan Kaisar Laiang. Akan tetapi
masa keemasan agama Budha di Cina
terjadi antara abad ke-7 M hingga abad ke-9 M, dibawah kekuasaan dinasti Tang.
Pada masa ini kontak antara Cina dan India tidak hanya terbatas pada bidang
keagamaan saja, tetapi juga menyangkut bidang-bidang yang lain.
Dalam
perkembangan agama buddha didunia sekarang ini sangat prsat sekali dibanding
zaman yang dulu terutama dibelahan bumi bagian barat (Amerika dan eropa).
Orang-orang dibarat saat ini lebih menyukai spritual dan filsafat orang-orang
timur, dimana terjadi kebalikanya oarang timur lebih menyukai hal-hal yeng
bersifat modern dan kapitalis yang dimiliki orang barat.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. Agama-Agama
Di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu Budha. Jakarta: Gunung Mulia. 2010
Honig, A.G. Ilmu Agama.
Jakarta: BPK Gunung Mulia 2009
Salab, Ahmad. Perbandingan Agama-Agama Besar Di
Indonesia.Jakarta: PT. Bumi Aksara. 1998
Suwarto. T. Budha
Dharma Mahayana. Palembang: Majelis agama Budha Mahayana Indonesia. 1995
Tanggok, Ikhsan. Mengenal
Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia. Jakarta:Pelita Kebajikan. 2005
Tim Penyusun. Kapita Selekta Agama Budha. Jakarta:
CV. Dewi Kayana Abadi. 2003
T.S.G. Mulia. Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Dinas Pemerintahan Balai Pustaka.
1959
[1] Harun
Hadiwiyono. Agama Hindu dan Budha.
Jakarta: Gunung Mulia. 2010, h. 97
[2] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 139
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Harun
Hadiwiyono. Agama Hindu Budha.
Jakarta: Gunung Mulia. 2010, h. 98
[6] Ibid.,
h. 97
[7] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 140
[8] Ibid
[9]Ibid
[10] Ibid
[14]http://www.berzinarchives.com/web/id/archives/study/islam/modern_interaction/situation_buddhism_islam_china.html.
Diakses
Pada 22 Mei 2013 Pukul 22.35 WIB
[1] Ibid
[2] Harun
Hadiwiyono. Agama Hindu dan Budha.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2010, h. 97
[3] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 138
[4] Ibid
[5] Tim Penyusun. Kapita Selekta Agama Budha. Jakarta: CV. Dewi
Kanaya Abadi. 2003, h. 94
[6] Ibid
[7] Harun
Hadiwiyono. Agama Hindu dan Budha.
Jakarta: Gunung Mulia. 2010, h.97
[8] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 138
[10] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 139
[11] Ibid
[12] Harun
Hadiwiyono. Agama Hindu Budha.
Jakarta: Gunung Mulia. 2010, h. 97
[13] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 139
[14] http://budhisme10.blogspot.com/2012/05/peradaban-agama-buddha-di-india-dan-di.html.
Diakses
Pada tanggal 22 Mei 2013 Pukul 22.30 WIB
[15]http://www.berzinarchives.com/web/id/archives/study/islam/modern_interaction/situation_buddhism_islam_china.html
Diakses
Pada 22 Mei 2013 Pukul 22.13 WIB
[1] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 137
[2] Ibid.,
h. 138
[3]Ikhsan Tanggok. Mengenal
Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia. Jakarta:Pelita Kebajikan. 2005
h.
[2] http://newsrzone.blogspot.com/2011/03/peradaban-kuno-di-asia.html.
Diakses pada 14 Mei 2013 Pukul 12.00 WIB
[3] http://kumpulan-tugas-sekolahku.blogspot.com/2012/07/raja-asoka.html,
Diakses Pada 14 Mei 2013 Pukul 12.00 WIB
[4] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 137
[5] Ibid
[6] Ibid
[1] Mukti Ali. Agama-agama
di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988, h. 133
[2]T .S.G. Mulia. Sejarah Politik
dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka. 1959, h.
20
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] T .S.G. Mulia. Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Dinas
Penerbitan Balai Pustaka. 1959, h.
[13] http://kumpulan-tugas-sekolahku.blogspot.com/2012/07/raja
asoka.html. Diakses pada 14 Mei 2013 Pukul 11.40
[15] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1988. h. 134
[16] T.S.G. Mulia. India Sejarah Politik dan Pergerakan
Kebangsaan. Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1959. h. 27-28
[17] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1988. h. 134
[18] Ahamad Shalab. Perbandingan Agama-Agama Besar Di Indonesia.
Jakarta: PT. Bumi aksara, 1998, h. 158
[19] T.S.G. Mulia. India Sejarah Politik dan Pergerakan
Kebangsaan. Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1959. h. 28
[20] Ibid
[21] A.G.Honig.
Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia. 1997. h. 220
[22] T.S.G. Mulia. India Sejarah Politik dan Pergerakan
Kebangsaan. Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka. 1959. h. 28
[23] Ibid
[24] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yoryakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 134
[25] T.S.G. Mulia. India Sejarah Politik dan Pergerakan
Kebangsaan. Jakarta: Dinas Perbitan Balai Pustaka 1959, h. 29
[26] Ibid
[28] Mukti Ali. Agam,a-agama di Dunia. Yogyakarta:IAIN
Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 137
[29] A.G. Honig. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia, 1997
[30] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 137
[31] http://kumpulan-tugas-sekolahku.blogspot.com/2012/07/raja
asoka.html. Diakses pada 14 Mei 2013 Pukul 11.40
[1] Suarto T. Budha
Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Budha Mahaya Indonesia, 1995, h. 81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar