Rabu, 05 Juni 2013

Perkembangan Agama Budha


BAB I
PENDAHULUAN

Agama Budha merupakan sejarah agama-agama di India  yang dimulai  semenjak tahun 500 SM hingga tahun 800 M. Secara historis agama tersebut  mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya, akan tetapi juga mempunyai beberapa  perbedaan dengan  agama yang mendahuluinya dan yang datang sesudahnya, yaitu agama Hindu.
Zaman Budha dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama “ Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem Yoga dan Semadhi sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Agama Hindu dari India Selatan menyebar sampai keluar India dengan berbagai cara. Terutama melalui perdagangan bebas internasional.
Perlu diketahui bahwa peradaban pada masa ini telah dapat disejajarkan dengan peradaban-peradaban seperti Yunani, Mesir, dan Eropa yang telah maju. Pengetahuan tentang Sejarah kerajaan ini dapat menambah pengetahuan kita tentang sejarah dunia, selain itu dapat dikomparasikan dengan kerajaan-kerajaan nasional yang juga berpengaruh pada dunia kala itu.
Secara geografis, agama Budha mempunyai tiga periode, yaitu periode pertama tetap terbatas pada orang-orang India secara keseluruhannya. Periode kedua sudah berkembang dan menyebar keluar dari negeri asalnya India ke Asia Timur dan ada pengaruh pada pemikiran filsafat non Indian; dan pada periode ketiga pusat-pusat kreatif pemikiran Budhis didirikan diluar India, terutama di China.[1]


 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Agama Budha Di India
Agama Budha telah berlangsung kira-kira 2.600 tahun dan selama periode itu telah mengalami perkembangan. Sejarah perkembangan agama Budha di India setelah Budha Gautama wafat dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu a) Masa perkembangan awal hingga pasamuan agung Kedua, b) Masa kekuasaan Raja Asoka; dan c) Masa Kemunduran Agama Budha di India.[1]
1.    Masa Perkembangan Awal
donlodan.png
Pemerintahan Magadha
Raja-raja Magadha yang terkenal ialah Sisunaga (642 SM), Bimbisara (582 SM), dan Ajatasatru, nama lain Kunika (554 SM). Bimbisara memperluas kerajaan Magadha dan menaklukan kerajaan-kerajaan di sekelilingnya. Di masa pemerintahan Ajatasatru agama Buddha dan Jaina mulailah bersaing untuk merebut kedudukan yang terpenting. Menurut berita di masa itu Devadatta seorang keponakan Buddha melawan agama Buddha dan mendirikan cabang agama baru yang mempunyai pengikut hingga abad ke-7, tarikh Masehi. Ajasatru memperluas kerajaan Magadha dan memindahkan ibukotanya ke Pataliputra, di tepi sungai Gangga.[2]
Beberapa tahun kemudian di waktu pemerintahan Udaya, cucu Ajatasaru (kurang lebih 516 SM) Darios dari Persia menaklukan daerah di Sindh dan Punjab, di hulu sungai Indus. Dalam berita-berita itu tertulis bahwa raja Persia mempunyai prajurit-prajurit bangsa India yang turut berjuang di tanah Yunani.
Sejak abad ke-5 SM, sejarah kerajaan Magadha tidak begitu jelas lagi. Yang agak dapat dipercayai adalah kisah ini. Salah seorang keturunan Bimbasara yang tidak begitu besar kuasanya dibunuh dan diganti menterinya yang bernama Mahapadma Nanda dari golongan Sudra. Raja itulah asal keturunan 9 orang raja yang berturut-turut memerintah Magadha sampai tahun 322 SM. Pada tahun itu Nanda yang penghabisan dibunuh oleh oleh Chandragupta Maurya. Menurut dugaan ia adalah seorang keturunan Nanda juga akan tetapi kawin dengan perempuan kasta rendah. Dengan Chandragupta mulailah riwayat kejadian-kejadian di India jelas dan dapat ditentukan. Diwaktu pemerintahan raja itu, Magadha berhasil merebut kuasa yang seluas-luasnya. Akan tetapi dua tahun sebelum ia diangkat menjadi raja terjadilah peristiwa yang besar akibatnya bagi seluruh India, yaitu penyerbuan Iskandar Zulkarnain ke India.[3]

Penyerbuan Iskandar Zulkarnain ke India
Iskandar Zulkarnain adalah seorang raja dan panglima besar Yunani yang mahsyur dalam sejarah Barat purbakala. Ayahnya memerintah dalam negeri kecil, yaitu Makedonia, bagian dari tanah Yunani. Waktu masih muda ia mendapat pendidikan yang luas, bukan dalam keprajuritan saja tapi dalam ilmu filsafat dan pemerintahan juga. Ayahnya mempunyai cita-cita untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Yunani dan memperluas kerajaannya sampai ke daerah Asia, akan tetapi sebelum ia dapat menjalankannya, ia dibunuh oleh seorang penjahat.[4]
Putra mahkota Iskandar juga yang pada ketika itu baru berumur 24 tahun menjadi raja di negeri Makedonia sebagai penggantinya. Iskandar mengadakan persediaan untuk meneruskan niat ayahnya itu.  Di tahun 334 SM balatentaranya menyebrang selat Hellesponts yang memisahkan Eropa dengan Asia. Dengan cepat seperti halilintar ia menaklukan Asia Muka (Turki sekarang), Syria, Palestina, Mesir, Persia, dan Baktria, sehingga di tahun 327 SM jadi sudah tujuh tahun sudah meninggalkan negerinya, balatentaranya tiba di batas India, negeri yang mengandung banyak rahasia kekayaan dan hasil-hasil kebudayaan yang luhur. Bagi seorang pahlawan yang muda, remaja nafsunya tidak dapat tertahankan lagi untuk memasuki dan memerangi India yang sudah begitu dekat di hadapannya.
Setelah didirikannya benteng-benteng pertahanan di tapal India dan Baktria. Maka tahun 327 SM turunlah ia ke lembah India melalui pegunungan Hindu – Kush dan jurang-jurang yang dalam.
Menurut berita, Iskandar mula-mula tidak mendapatkan perlawanan dalam negeri-negeri yang didudukinya. Di antara negeri yang terkenal itu ialah negeri Takkashila. Peninggalan kota itu sekarang masih nampak di dekat kota Rawalpindi. Ia menyebrangi hulu sungai India dan terus memasuki Punjab atau negeri lima sungai. Akan tetapi ketika melalui sungai Jhilam (dalam bahasa Yunani: Hydaspes) Iskandar mengalami perlawanan hebat yang belum pernah dialaminya dalam tujuh tahun, sejak ia menyerbu ke Asia. Tatkala Iskandar sampai di tepi sungai Jhilam, raja negeri Poros sudah siap sedia menantikan kedatangannya dengan tentara terdiri dari 30.000 serdadu berjalan, 4000 serdadu berkuda, 300 kereta perang yang ditarik empat ekor kuda, 200 gajah perang, semua membawa senjata yang langka.[5]
Iskandar lebih dari tiga bulan terhambat dan terpaksa mengadakan persediaan untuk melawan, balatentara yang kuat itu. Akhirnya dapatlah ia menyerang pasukan gajah raja Poros itu dulu, sehingga terjadi kekacauan di antara binatang-binatang itu. Mereka menginjak serta membantingkan baik musuh maupun pasukan raja sendiri dengan belalainya sampai mati. Sesudah itu barulah pasukan berkuda mengepung dan menghalaukan balatentara Poros itu ke pinggir sungai Jhilam yang dalam itu. Tidak lama kemudian raja Poros terpaksa menyerah, setelah ia mendapat luka-luka yang parah. Iskandar menghormati musuhnya dan memerdekakan tawanan semuanya, mereka berjanji akan berkerja sama dengan orang Yunani.[6]
Tiba di tepi sungai bias, balatentara Iskandar mogok dan mengatakan tidak bersedia berperang lagi, melainkan hendak pulang ke Yunani yang tujuh tahun mereka tinggalkan. Dengan bijaksana Iskandar memenuhi kemauan tentaranya dan mengumumkan supaya perang di India diselesaikan pada tempat itu saja. Sebelum balik ke Yunani, Iskandar mendirikan dua belas candi sebagai tanda peringatan dan tanda perasaan berterima kasih kepada dewa-dewa kebangsaan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 326 SM.
Iskandar menganggap negeri-negeri itu semuanya masuk bagian-bagian kerajaannya dan ia berharap akan lekas kembali ke India. Sebagai wakilnya untuk memerintah negeri-negeri yang takluk itu diangkatnya Poros, musuh lama itu. Akan tetapi kedatangan ajalnya kedatangan ajalnya tidak dapat dielakkan dan dengan wafatnya tidak lama kemudian, India terlepas dari kerajaan Yunani.
Meskipun penjajahan politik lenyap dari India tidak berarti peristiwa itu tidak ada akibatnya. Karena sejak itu terjadilah hubungan yang erat antara India dengan negeri Barat. Perhubungan lalu lintas yang melalui jurang Khaibar sudah terbuka juga pertalian dengan kota-kota di pantai Persia. Hasil dan bahan-bahan dari india mulai mengalir ke negeri Barat dan sejak zaman itu terjadilah perhubungan antara Timur dan Barat.[7]

Zaman Kerajaan Maurya
Mengingat lemahnya kedudukan wakil-wakil yang ditinggalkan oleh Iskandar di India, tidak lama setelah beliau wafat, penduduk negeri tersebut langsung bertindak untuk merebut kemerdekaannya. Pemimpin gerakan tersebut adalah Chandragupta, keturunan raja Nanda di Magadha, yang dibuang keluar negerinya dan tiba di India Utara. Dengan demikian, muncul dugaan bahwa Chandragupta pernah bertemu dengan Iskandar dan sebagai pemuda bangsawan yang mempunyai perasaan keprajuritan, beliau tentu tertarik oleh kegagahan dan kebijaksanaan pahlawan tersebut.
Kerajaan Iskandar dibagi-­bagi oleh para panglima perangnya sehingga mereka bisa menjadi raja di daerah masing - masing. Di antara mereka, Seleukos menguasai bagian timur yang melingkupi India Utara. Tindakannya untuk mempertahankan kekuasaannya di negeri itu dikalahkan oleh Chandragupta dari Magadha, sehingga beliau terpaksa mencari perdamaian pada tahun 305 SM. Perdamaian itu sangat berarti, karena semenjak itu Seleukos mempunyai utusan - utusan di Pataliputta, ibu kota Magadha. Salah seorang utusan yang bernama Megasthenes, menuliskan pengalamannya di sana dengan rapi dan teliti. Surat - suratnya masih tersimpan dan salinannya menjadi sumber penting untuk mengetahui keadaan dalam kerajaan Chandragupta pada masa itu (322 - 298 SM) dan pemerintahan putranya,  yakni Raja Bindusara (298 - 272 SM).[8]
Penulilain yang terkenal adalah Chakya Vishnugupta atau Kautilya, seorang  Brahmana, guru besar penasihat Chandragupta ketika beliau berada dalam pembuangan. Setelah Chandragupta menjadi raja, beliau diangkat sebagai menteri dan dalam jabatan itu beliau menulis undang-undang yang dikumpulkan dan dinamai Kautilya-ArthasastraKitab itu mengandung kejadian yang sangat bermakna untuk sejarah India kuno, baru ditemukan di Tanjore oleh seorang ahli Hindu, Shamasastri  pada tahun 1906. Beliau yang menafsirkan dan menerbitkan Arthasastra itu.
Kitab Arthasastra memberikan keterangan yang cukup banyak mengenai peraturan pemerintahan dan kehakiman di zaman itu. Keterangan-keterangan itu semuanya menggambarkan Magadha sebagai suatu negeri yang maju dan mempunyai kebudayaan tinggi, pemerintahan, keuangan, kehakiman, perekonomian serta cara pertahanan yang teratur. Peraturan-peraturan pemerintahan tersebut muncul dari kebijaksanaan dan pemikiran sendiri, bukan meniru negeri lain.
Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi, di bawahnya terdapat raja­ - raja muda yang menguasai propinsi-propinsi. Di samping raja, ada suatu badan penasihat tinggi. Pusat pemerintahan diserahkan kepada 18 kementerian yang amat lengkap, yakni kementerian pertahanan negeri, dibagi atas 8 bagian.Para pejabat menerima gaji yang cukup supaya mereka tidak memeras penduduk. Pajak tanah, cukai barang masuk, pajak penghasilan, yang dihitung dengan aturan - aturan yang modern, sudah dijalankan di     kerajaan Magadha. Untuk meningkatkan hasil pertanian diadakan irigasi secara besar – besaran yang sangat diperlukan di negeri panas seperti India. Jalan - jalan raya terdapat di seluruh kerajaan. Untuk mengetahui keadaan rakyat, secara diam – diam, raja mengirim utusan – utusan khusus untuk mengadakan pemeriksaan di daerah – daerah.[9]
Pertahanan di dalam negeri sangat kuat. Menurut keterangan Megasthenes, tentara Magadha terdiri dari sekitar 600.000 prajurit, 30.000 prajurit berkuda, 9.000 ekor gajah dan 8.000 kereta perang. Keraton raja di Pataliputta sangat indah dengan banyak harta yang terkumpul di dalamnya. Para pegawai wanita bekerja di dalam keraton dengan kedudukan teratur.
Kaum Brahmana mendapat perlindungan yang khusus, mereka banyak memberikan pengaruh kepada raja. Menurut kabar dari kaum Jaina, sesudah terjadi kelaparan hampir 10 tahun, Raja Chandragupta mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjadi pengikut Jaina, karena beliau merasa bersalah terhadap rakyatnya. Beliau digantikan oleh putranya, Raja Bindusara (298 - 272 SM).
Riwayat Raja Bindusara tidak begitu jelas. Raja Bindusara pertama kali memerangi bangsa - bangsa di daerah Deccan di India Tengah. Beliau digantikan oleh putranya yang terkenal dalam sejarah India, yakni Raja Asoka Vardana (272-232 SM).[10]
Kerajaan Maurya merupakan salah satu kerajaan yang memegang peranan penting dalam sejarah Asia Selatan. Penemuan dan peninggalannya adalah penemuan penting yang dapat menjelaskan bagaimana peradaban masyarakat India jaman dahulu.
Kekaisaran Maurya diperintah oleh Dinasti Maurya yang didirikan oleh Candragupta di Pataliputra (sekarang disebut Patna) di Magadha, India timur laut. Pada 322 SM, Chandragupta naik tahta hasil dari kudeta yang dipimpinnya dari dinasti Nanda. Pada masa pemerintahan Chandragupta merupakan persinggungan antara India dengan bangsa asing, tepatnya kekaisaran Macedonia yang dipimpin oleh Alexander Agung. Peristiwa ini berlangsung 2 tahun sum Chandragupta naik tahta. Kedatangan Macedonia selain dengan maksud politis, juga dengan maksud menyebarkan kebudayaan barat ke timur. Pasca ekspansi bangsa barat adalah kemunculan budaya hellenisme, yakni perpaduan antara budaya timur dengan budaya barat.
Chandragupta naik tahta beberapa saat pasca kematian Alexander Agung. Ia berhasil menguasai daerah yang sebelumnya dikuasai oleh Macedonia, dan bahkan berhasil menjalin hubungan dengan musuh Alexander Agung, Seloucos Nicator (penguasa Yunani di Asia Barat) yang kemudian banyak membantu Chandragupta dalam menuliskan sejarah India.
Menurut kitab Wisnu Purana, jumlah raja-raja Dinasti Maurya ada sepuluh dan memerintah selama 137 tahun:
                        1.      Candragupta
                        2.      Bindusara
                        3.      Asoka-wardhana
                        4.      Suyasas
                        5.      Dasaratha
                        6.      Sanggata
                        7.      Salisuka
                        8.      Somasarman
                        9.      Sasadharman
                        10.  Brihadratha
Chandragupta mengambil alih kekuasaan di Maghada pada 321 SM. Dalam waktu 10 tahun, ia telah menginvasi sebagian besar India utara. Ia seorang negarawan yang baik, dan India menjadi makmur di bawah pengaruhnya. Putranya, Bindusara (293-268 SM), memperluas kerajaan hingga jauh ke bagian selatan India.[11]
Cucu Chandragupta, Asoka (268-233 SM), merupakan penguasa terbesar Maurya. Ia memperluas kerajaan, yang dihuni oleh penduduk dengan lebih dari 60 keyakinan dan bahasa yang berbeda. Tahun 261 SM, pasukan Maurya menghancurkan penduduk Kalingga dalam sebuah peperangan yang banyak mengucurkan darah dan memakan korban sebanyak 200.000 jiwa. Menyaksikan kengerian serta penderitaan tersebut, Asoka merasa sangat terguncang dan ia memutuskan bahwa tidak ada kemenangan militer yang harus dibayar semahal itu. Ia berpindah agama, dari seorang Hindu menjadi pengikut Buddha, dan menanggalkan kekuasaan militer sebagai sebuah kebijakan nasional. Ia melarang persembahan korban hewan maupun manusia dan mempertahankan angkatan daratnya semata-mata sebagai sarana pertahanan. Asoka juga menerapkan hukum moral Buddha mengenai sikap baik dan menjauhi kekerasan serta memberikan perdamaian, kebudayaan, kehormatan, dan kemakmuran bagi rakyatnya.
Raja Asoka dengan resmi telah mengikuti ajaran Buddha, akan tetapi rakyat pada umumnya masih setia kepada ajaran Hindu, yang sudah berakar teguh dalam masyarakat sejak zaman purba. Para Brahmana masih memberikan pengaruh yang besar kepada rakyat. Dalam keadaan demikian, Raja Asoka mengeluarkan amanat supaya di antara agama-agama dan aliran - aliran haruslah ada ikatan persaudaraan dan perdamaian, setiap agama bebas untuk melakukan kebaktian dan mendapatkan perlindungan yang sama dari raja.[12]
 Di bidang keagamaan dikatakan masyarakat beragama Hindu memuja Heracles, Dionysus, maupun Zeus Ombrios. Pusat pemujaan Heracles adalah Mathura,dari sini kita dapat menduga bahwa Heracles itu Kreshna, yang lebih dikenal sebagai sais kerata perang Arjuna, dan yang sekaligus menjadi Raja di Yadava, dan tempat kelahirannya di Mathura. Sedangkan yang dimaksud dengan Dionysus boleh jadi ialah Dewa Siwa, dan Zeus ialah Dewa Indra. Dapat disimpulkan dari bidang keagamaan bahwa masyarakat pada masa Chandragupta banyak memuja Dewa, dan Dewa yang di puja adalah Dewa local.[13]
           
2.  Masa Kekuasaan Raja Asoka
Raja Asoka adalah raja yang ketiga dalam dinasti Maurya, yang     telah memperbesar kerajaan Magadha di Pataliputra, yakni Patna sekarang didataran sungai Gangga.[14]  Kelahiran raja Asoka tidak bisa diketahui secara pasti, namun prasasti yang ditemukan di India mengatakan bahwa raja Asoka hidup pada 300 SM. Beliau Naik tahta sekitar tahun 273 SM. Wafat tahun 233 SM.
Sebelum raja Asoka memeluk agama Budha, beliau merupakan seorang panglima perang yang berhasil meluaskan kekuasaan hampir keseluruh India.[15] Akan tetapi, ia berlainan dengan nenek dan bapaknya, ia ternyata seorang lemah lembut, peramah dan suka berbakti, setia kepada agama dan amat sangat mengasihi rakyatnya.
Pada tahun ke-8 dari masa pemerintahannya Ia  mengadakan peperangan di Deccan dalam menaklukan karajaan Kalinga (dipantai Teluk Benggala). Setelah raja Asoka mendengar bahwa dalam peperangan itu kurang lebih dari 100.000 orang Kalinga binasa dan 150.000 orang ditawan, ia amat sedih hati dan bersumpah tidak akan mengangkat senjata lagi terhadap siapapun juga untuk selama-lamanya. Makin lama makin nampaklah kerinduan raja untuk memeluk agama Budha dan menjalankan segala syarat-ayarat agama itu dalam kehidupan sehari-hari serta dalam pemerintahan.[16]
Ia juga menyesali perbuatan-perbuatannya kemudian diarahkan untuk menyebarkan dan mengembangkan agama yang dipeluknya, disamping usaha-usaha  lain untuk mensejahterakan rakyatnya. Dalam masa pemerintahannya, agama Budha berkembang menjadi agama yang berpengaruh di seluruh India dan mempunyai peranan dalam berbagai bidang kehidupan, baik sosial, kebudayaan, ekonomi maupun politik.[17] Begitulah agama Budha perpindahan dari suatu madzhab yang mengandung aliran-aliran Agama hindu kepada suatu agama dunia.[18]
Ditahun 249 SM atau 24 tahun sejak tahun Asoka menjadi raja, baginda ziarah mengunjungi semua tempat-tempat suci yang bersangkutan dengan hidup dan pengajaran Gautama Budha. Kota-kota itu ialah: Kapilavastu (tempat lahir Budha), Sarnath dekat Benares (tempat Budha pertama kali menyebarkan agamanya), Sravasthi, Gaya (tempat pohon Bodhi yang suci), dan Kusinagara (tempat wafatanya). Ditempat-tempat itu Beginda memberi sedekah dan mendirikan tanda-tanda peringatan yang sampai sekarang amat berarti bagi ilmu sejarah.[19]
Dengan resmi raja Asoka meninggalkan agama Brahma dengan memeluk agama Budha. Kemudian baginda masuk Bhiksu (reshi). Dari sikap ini teranglah bahwa agama Budha dizaman itu mendapat kedudukan sebagai agama kerajaan. Atas titah raja Asoka didirikan lebih kurang 48.000 buah stupa. Yang masih ketinggalan, ialah stupa yang mashur di Sanchi (India Tengah), dekat ibu negeri provinsi yang dibawah pemerintahannya dulu. Untuk anaknya putri Charumati  yang sungguh sangat berbakti didirikan oleh raja beberapa wihara atau asrama bagi kaum wanita, terutama dibagian Nepal.[20]
Sejarah menuturkan tentang kekayaan dan keindahan yang luar biasa dari kota  dan istana raja serta penggalian-penggalian membenarkan adanya perkembangan kebudayaan yang tinggi. Tradisipun menceritakan bermacam-macam contoh kesalehan raja ini. Yang sudah pasti ialah bahwa ia seorang penganut  agama Budha yang setia dan malahan ia minta dirinya ditahbiskan sebagai biksu dan berusaha keras meluaskan ajaran itu.[21]
Diwaktu pemerintahan Asoka seluruh India hampir dapat disatukan. Hanya bagian ujung selatan yang belum takluk kepadanya. Kepulau Sailan dikirim utusan-utusan untuk mengajarkan agama Budha. Sejak itu dari pulau itu tiap-tiap tahun beratus-ratus orang datang ziarah kedaerah Benares. Dari zaman Asoka sampai sekarang pulau  Sailan adalah suatu pusat pertahanan agama Budha.[22]
Dalam sejarah India belum pernah terdapat seorang raja yang begitu luas kerajaannya seperti Asoka. Kerajaan Chandra Ghupta di abad ke-5 SM, dan kerajaan Moghul (Sultan Akbar dan turunannya) diabad ke-16 dan 17 tidak sampai menjadi kerajaan Asoka itu.[23]
Salah satu usahanya yang dianggap penting bagi sejarah perkembangan agama Budha adalah pembuatan piagam-piagam yang dipahatkan pada tugu-tugu batu atau lereng-lereng gunung yang ditandatanganinya dengan nama “Piyadassi”, yang berarti penuh kemanusiaan. Piagam-piagam itu berisi pemberitahuan kepada rakyatnya agar hidup sesuai dengan ajaran-ajaran Sang Budha, penyesalannya atas peperangan yang dilakukannya dan ajaran agar menghormati ajaran lain.[24]
Bahasa yang dipakai dalam maklumat-maklumat itu ialah bahasa Prakrit, bahasa orang biasa pada masa itu. Bahasa amat rapat perhubungannya dengan bahasa Sankrit dan dengan bahasa Pali yang lazim dipakai dalam kitab-kitab agama Budha. Prasasti-prasasti itu mengandung berbagai undang-undang dan aturan-aturan tentang agama dan masyarakat, perdamaian antara agama-agama, upacara, kebaktian, dll.[25]
Dari maklumat-maklumat itu nyata juga bagaimana susunan pemerintahan pada zaman Asoka. Terang pula kesucian rohani raja itu, sebab dari susunan kata-kata dan perasaan-perasaan batin yang terpahat itu terbit dari sanubari raja sendiri bukan dari buah pikiran menteri atau pandit-pandit diistananya.[26]
Diatas telah dikatakan, bahwa Asoka dengan resmi memeluk agama Budha. Akan tetapi rakyat pada umumnya masih setia kepada agama Hindu, yang sudah berakar teguh dalam masyarakat sejak purbakala. Pandit-pandit Brahma masih besar pengaruhnya kepada rakyat. Dalam keadaan demikian Asoka mengeluarkan amanat supaya diantara agama-agama dan mazhab-mazhab haruslah ada ikatan persaudaraan dan perdamaian: tiap-tiap agama merdeka dalam melakukan kebaktian dan mendapat perlindungan yang sama dari raja. Pendidikan masyarakat didasarkan kepada pelajaran Budha. Oleh sebab itu, ia melarang membunuh yang berjiwa, baik manusia maupun hewan. Orang yang melanggar peraturan itu  mendapat hukuman keras. Agama Budha percaya bahwa manusia itu dalam hidupnya melalui beberapa tingkat dan menjelma tiap-tiap kali dalam suatu jenis makhluk. Penjelmaan itu ditentukan oleh karma, yang terdapat dalam tiap-tiap manusia, yaitu hasil dari segala perbuatannya yang baik atau buruk. Oleh karena itu manusia dan penyelamatannya tak boleh dibunuh.[27]
Usaha-usaha Raja Asoka dapat diperinci sebagaimana berikut
      Mendirikan rumah sakit-rumah sakit
      Mendirikan rumah-rumah peribadatan (stupa dan wihara)
      Mengeluarkan aturan-aturan yang meringankan untuk penduduk.
      Membangun jalan-jalan guna menunjang pemerintahan menuju “pejabat Dharma”.
      Pembuatan piagam-piagam yang dipahat pada tugu-tugu batu atau lereng-lereng gunung yang ditandatanganinya dengtan nama “piyadassi” yang berarti “penuh kemanusiaan”.
Melakukan ziarah mengunjungi semua tempat-tempat suci. Seperti: Kapilavastu (tempat lahir Budha), Sarnath dekat Benares (tempat Budha pertama kali menyebarkan agamanya), Sravasti Gaya (tempat pohon Bodhi yang suci) dan Kusinagara (Tempat wafatnya). Ditempat-tempat itu Beginda memberi sedekah dan mendirikan tanda-tanda peringatan yang sampai sekarang amat berarti bagi ilmu sejarah
      Menaklukan seluruh India, hanya bagian ujung selatan yang belum takluk kepadanya.
      Memerdekakan tiap-tiap agama dalam melakukan kebaktian dan mendapat perlindungan yang sama dari raja.
      melarang membunuh yang berjiwa, baik manusia maupun hewan. Orang yang melanggar peraturan itu  mendapat hukuman keras.
      Asoka memerintahkan supaya tiap-tiap orang menghormati orang tuanya, leluhurnya dan orang-orang yang diatasnya.
      supaya tiap-tiap orang mencari kebenaran dan menuntut kerendahan dan kemurahan hati.
      Dibawah kekuasaan raja Asoka ini pula diadakan pasamuan agung ketiga pada tahun 249 SM di Pataliputra, yang dimaksudkan untuk meneliti kembali ajaran-ajaran Budha serta mencegah penyelewengan-penyelewengan yang mengakibatkan perpecahan dalam sangha.
      Mengirimkan utusan-utusan keberbagai negara untuk menyebarkan dharma, antara lain ke Siria, Mesir. Yunani, Macedonia, India Belakang, dam Asia Tenggara. Salah seorang utusan yang dikirim itu adalah Mahinda, putra raja Asoka sendiri, ke Srilangka yang hingga sekarang merupakan salah satu pusat agama Budha.

3. Kemunduran Agama Budha Di India
Setelah mengalami perkembanmgan yang mengesankan di India kurang lebih lima abad, akhirnya agama Budha mengalami kemunduran baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.[28] Pemasukan yang selalu bertambah dari unsur Hinduistik kedalam ajaran agama Budha, akhirnya menyebabkan keruntuhan agama Budha di India. Sejak permulaannya ajaran itu bersikap sabar (toleran) terhadap berbagai ajaran-ajaran dan tindakan keagamaan lain. Karena itu agama Budha kurang tajam kelihatan sebagai suatu agama yang mempunyai batasan-batasannya. Tambahan pula semakin mujarat dan kurang tertuju kepada hati dan angan-angan khalayak ramai. Itulah sebabnya maka didaerah-daerah dimana orang memeluk agama Budha, masih banyak juga dilakukan orang adat kebiasaan agama lain.[29]
Pada abad ketujuh Masehi, kemerosotan tersebut semakin meluas ke India, antara lain disebabkan oleh serangan bangsa Hun Putih dari Utara yang banyak menghancurkan pusat-pusat peribadatan agama Budha. Usaha untuk mengatasi kemunduran tersebut juga ada, seperti yang dilakukan oleh Kaisar Harsya (606-647), namun kemunduran itu agaknya sudah tidak dapat dicegah lagi.[30]
Beberapa kerajaan pada masa sesudah raja Asoka wafat yang kemudian menjadikan kemunduran agama Budha di India.



Zaman Kerajaan Andra
Kerajaan Andhra didiami oleh Bangsa Dravida letaknya di Teluk Benggala, diantara sungai Godavari dan Krihsna. Sewaktu pemerintahan Ashoka kerjaan itu ditaklukkan dan diharuskan membayar upeti, namun kemudian kerajaan itu bertambah kuat sehingga seorang diantara mereka menduduki Kerajaan Maurya.
Selama raja Andhra memerintah Agama Brahma dan Budha mendapat penghargaan yang sama. Dalam masyarakat negeri Andhra terdapat empat golongan ;
1. Raja dan Kepala Daerah
2. Pegawai Negeri
3. Pekerja yang terdidik
4. Pekerja tangan
Kerajaan Andhra terkenal makmur sebab mempunyai perhubungan laut dengan luar negeri. Sampai sekarang belum diketahui bagaimana lenyapnya kerajaan itu. Sisa kerajaan Iskandar masih terdapat di Persia, yaitu Kerajaan Baktria. Penduduknya kebanyakan adalah penggembala ternak. Namun akhirya kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Bangsa Parthi yang terus merebut Daerah Sungai Indus di India Barat. Di zaman inilah terjadi perpindahan Bangsa Asia tengah ke India.

Kerajaan Parthi  (India Barat)
Sisa kerajaan Iskandar Zulkarnain yang masih terdapat di Persia pada masa itu adalah kerajaan Baktria.Penduduknya kebanyakan pengembarayang suka berpindah tempat untuk menggembalakan ternaknya.Bangsa itu selalu hendak memasuki India. Terutama setelah mereka didesak oleh bangsa lain yang datang dari sebelah utara. Kerajaan Baktria akhirnya ditaklukan oleh bangsa Parthi yang kemudian terus merebut daerah sungai Indus di India Barat. Dizaman ini terjadilah perpindahan bangsa-bangsa Asia Tengah ke India (bangsa-bangsa Parthi dan saka) secara besar-besaran. Raja yang terkenal dari bangsa Parthi adalah Gondophares. Menurut berita, raja inilah yang membawa agama kristen ke India.

Kerajaan Kushan  (India Utara)
India utara menderita kerusakan disebabkan oleh masuknya bangsa Yue-chi dari Tiongkok Tengah. Setelah mengetahui kelemahan raja-raja Andhra, Bangsa Yue-chi ingin merebut India dengan menaklukkan daerah Gandhara dan Punjab. Bangsa ini amat perkasa, sehingga mereka menaklukkan daerah-daerah Turkestan dan mengusir bangsa-bangsa Saka atau Scyth dari kediamannya disekitar laut Kaspia. Mereka mendirikan suatu kerajaan yang kuat sebelah utara India. Dan kerajaan diganti dengan nama Kerajaan Kushan, diambil dari nama suku Bangsa Yue-Chi. .
Raja Kushan yang termasyur bernama Kanishka, namanya disebut dalam kitab Budha di India, Tibet, dan Mongolia karena ia terkenal sebagai pembela Agama Budha. Pada waktu itu kerajaan Kushan menguasai India Utara, Lembah Gangga dan Indus jadi, belum seluruh kekuasaan Ashoka.
Dalam sejarah agama Budha terberita permusyawaratan besar diadakan diantara pemimpin agama Budha atas perintah Kanishka untuk menyelesaikan bermacam-macam perselisihan yang timbul dalam agama dan menyelidiki kitab-kitab mengenai ilmu agama dan filsafat agar dapat disatukan. Semua keputusan yang diambil ditulis pada tembaga dan disimpan dalam stupa dekat kota Srinagar.
Raja Kanishka memajukan kerajaan Kushan dengan memajukan budaya dalam sejarah India dinamakan masa Ghandara. Di negeri itu terdapat barang-barang kuno. Barang-barang itu kebanyakan terdiri dari lukisan pada dinding batu yang dipahat.
Diantara keturunan Kanishka ialah Vasudeva (182-220). Sewaktu pemerintahannya sudah tampak tanda-tanda keruntuhan. Mula-mula adanya penyakit Pest yang menular dari Babylon ke sebelah barat sampai Eropa hingga ke India yang mendatangkan maut berjuta-juta orang. Kejadian kedua kuasa Kerajaan Persia yang dipimpin Ardhasir makin mengencang. Kemudian kerajaan Kushan pecah belah dan lenyap dari sejarah. Dengan runtuhnya kerajaan Kushan dan Andhra sampai pada zaman Gupta.[31]

Zaman Kerajaan Gupta
Zaman keemasan pada pemerintahan Raja Asoka. Agama Budha dijadikan dasar pemerintahan. Di segala penjuru kerajaan didirikan tiang-tiang batu bertahtakan ajaran agama Budha. Di pucuk tiang tersebut terdapat patung singa sebagai kebesaran kerajaan Maurya. Setelah Raja Asoka meninggal, kerajaan terpecah menjadi bagian-bagian kecil. Pada abad IV muncul seorang raja yaitu Candragupta I  yang membangun Kerajaan Gupta. dengan pusatnya di Lembah Sungai Gangga. Pada masa pemerintahan Raja Candragupta I, agama Hindu dijadikan agama negara, namun agama Buddha masih tetap dapat berkembang.[1]
Masa kejayaan Kerajaan Gupta terjadi pada masa pemerintahan Samudragupta. Pada masa pemerintahannya Lembah Sungai Gangga dan Lembah Sungai Indus berhasil dikuasainya dan Kota Ayodhia ditetapkan sebagai ibukota kerajaan.
Pengganti Raja Samudragupta adalah Candragupta II, yang dikenal sebagai Wikramaditiya. Ia juga bergama Hindu, namun tidak memandang rendah dan mempersulit perkembangan agama Budha. Bahkan pada masa pemerintahannya berdiri perguruan tinggi agama Buddha di Nalanda. Di bawah pemerintahan Candragupta II kehidupan rakyat semakin makmur dan sejahtera.. Kesusastraan mengalami masa gemilang. Pujangga yang terkenal pada masa ini adalah pujangga Kalidasa dengan karangannya berjudul "Syakuntala". Perkembangan seni patung mencapai kemajuan yang juga pesat. Hal ini terlihat dari pahatan-pahatan dan patung-patung terkenal menghiasi kuil-kuil di Syanta.[2]
Dalam-perkembangannya Kerajaan Gupta mengalami kemunduran setelah meninggalnya Raja Candragupta II. India mengalami masa kegelapan selama kurang lebih dua abad.
Agama Hindu mengalami sebuah pasang surut dengan munculnya agama-agama baru di India yakni Budha, Jain dan Sikh. Namun berkat peranan Dinasti Gupta, agama Hindu kembali mendapat tempat pada masyarakat India sampai saat ini. Di Zaman Gupta yakni pada masa Pemerintahan Samudragupta dan Candragupta II. Ayah dan anak ini merupakan dua di antara pemimpin-pemimpin hebat bangsa Gupta. Dinasti tersebut menguasai hampir seluruh India Utara dari 320 sampai 497 M, meski pengaruh mereka tersebar lebih luas dan bertahan lebih lama.

Kerajaan Harsha
Dalam sejarah India sebelum zaman Islam terdapat pemerintahan Harsha, raja Hindu. Dua buah sumber keterangan dapat disebutkan yaitu kitab yang ditulis oleh Hiuen Tsang tatkala ia mengunjungi India di tahun 630-644 ketika raja Harsha pada puncak kuasanya dan kitab Harsha-carita yang menjelaskan peristiwa yang terjadi selama pemerintahan Raja Harsha yang ditulis pujangga keraton bernama Bana.
Di tahun 604 ayahnya mengirim saudaranya yang sulung Rajavardhana dengan tentara yang kuat untuk memerangi bangsa Huna di sebelah utara. Tidak berapa lama ayahnya wafat dan diganti oleh putra mahkota, meskipun ada sebagian pembesar yang lebih suka pada Harsha tetapi ia menolak.
Raja yang baru terpaksa meninggalkan kota tempatnya untuk membalas perbuatan yang membunuh iparnya dan menganiaya adik perempuannya. Raja Malwa yang dicari itu dapat dikalahkan tetapi tidak lama kemudian raja sendiri dibunuh oleh beberapa penjahat.
Selama satu tahun pemerintahan kacau karena Harsha menolak permintaan rakyat mengganti saudaranya. Dan pada tahun 606 ia menerima permohonan itu akan tetapi sebagai pemangku. Pekerjaan pertamanya ia mencari adik perempuannya ke pegunungan.
Putri itu yang mempunyai kebijaksanaan dan watak yang luar biasa diangkat sebagai penasihat raja. Enam tahun kemudian Harsha dipilih menjadi raja bernama Maharajadhiraja Sri Harsha. Untuk memperkuat kerajaannya dengan memperluas daerah kekuasaan dari India utara sampai ke Teluk Benggala dan merubah nama kerajaan menjadi Kanauj.
Kesusastraan di zaman itu menarik minat raja sendiri dengan menulis syair-syair yang sampai sekarang masih terkenal. Seperti Kanishka dan Chandragupta II juga mengadakan permusyawaratan yang luhur dengan pemimpin agama Budha. Hal itu dituliskan oleh Hiuen Tsang saat perjalanannya di ibukota Kanauj di tahun 643.
Di tahun 647 raja Harsha wafat setelah memerintah 46 tahun. India tidak akan melupakan namanya, sebab ialah raja yang membawa keamanan dan kemakmuran serta membangkitkan India kembali dari penindasan bangsa Huna.[3]
Dari laporan parantau Cina seperti Fa Hsien (399-414), Hsuan Chuang dan I’tsing, dapat diketahui bahwa jumlah wihara di India sudah semakin berkurang dan pengamalan serta pengajaran agama Budha semakin kendor. Agama Budha semakin lama semakin semakin bersifat India lama dengan semakin banyaknya unsur asli India yang masuk kedalam agama tersebut.Disamping itu, muncul kembali persaingan dengan agama Brahmana yang mulai bangkit setelah sempat terdesak oleh agama Budha untuk jangka waktu yang cukup lama. Akan tetapi yang paling terparah dari semua itu adalah rusaknya kebatinan ajaran agama Budha dan perkembangan Islam yang mulai menyebarkan ajarannya ke Timur sejak abad delapan Masehi.[4]
Akibat dari hal-hal di atas, aliran Theravada dan Mahayana lambat laun tersingkir dari tanah kelahirannya sendiri terutama karena peranan sangha yang cukup besar dalam penyebaran agama Budha selama ini menjadi jauh berkurang sejak abad ketujuh Masehi tersebut. Kemunduran peranan Sangha ini antara lain disebabkan banyaknya unsur non-Budhis yang masuk kedalam agama Budha, sehingga menyebabkan merosotnya penghargaan rakyat terhadap sangha dan mengakibatkan berkurangnya dana yang diterimanya.[5]
Namun, kemunduran agama Budha di India dapat di pandang sebagia terbukanya kesempatan bagi agama Budha untuk berkembang di luar India.[6]

KRONOLOGI PERKEMBANGAN BUDDHISME
(TIMELINE BUDDHISME)



 
           
B. Perkembangan Agama Budha Di Cina
Jauh sebelum agama Budha mengalami kemunduran di India, agama tersebut telah tersebar ke beberapa negara di sekitar India, baik karena usaha golongan Theravada maupun Mahayana. Oleh karena itu, ketika agama Budha mulai berkurang peranannya di India, justru berkembang lebih baik di negara-negara yang pernah menerima penyebaran agama tersebut dengan membentuk pusat-pusat kegiatan baru hingga sekarang.[1]
Dari segi geografis, perkembangan kedua aliran agama Budha di luar India tersebut memperlihatkan pembagian wilayah yang cukup menarik. Aliran Theravada berkembang ke Selatan, kewilayah-wilayah yang sekarang disebut dengan Srilanka, Burma, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Indonesia. Sementara aliran Mahayana berkembang ke Utara memasuki wilayah-wilayah Nepal, Tibet, Mongolia, Cina, Korea, dan menyebar ke Jepang juga Indonesia.[2]

1.    Latar Belakang Situasi Sosial Keagamaan Cina Sebelum Budha Datang
Pada dasarnya pandangan berpikir orang Cina selalu mengembalikan hakekat keharmonisan antara kehidupan “langit” (alam gaib) dan kehidupan di bumi (alam dunia nyata). Mereka percaya bahwa alam semesta ini sebagai akibat dari inkarnasi kekuatan alam. Alam dikuasai oleh spirit-spirit yang kekuatannya luar biasa. Alam semesta semata-mata hanyalah ekspresi dari kekuatan-kekuatan alam yang dipengaruhi oleh spirit-spirit yang mendiami alam. Beberapa spirit itu berada dan hidup di dalam fenomena-fenomena alam seperti langit, matahari, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, gunung, serta fenomena-fenomena alam lainnya. Di antara spirit-spirit alam itu adalah spirit yang berasal dari arwah leluhur yang kekuatan hidupnya sangat besar, sekeluarga dapat melanjutkan kekekalan hidupnya setelah jasad jasmaniahnya mati.       
Menurut dasar pikiran orang Cina, seluruh fenomena alam itu dapat dibagi dua klasifikasi yaitu yang dan yin. “Yang” merupakan prinsip dasar untuk laki-laki, matahari, arah selatan, panasnya cahaya (siang), dan segala yang termasuk keaktifan, sedangkan “yin” adalah suatu prinsip seperti: wanita, bulan, arah utara, dingin, gelap (malam), dan segala yang bersifat pasif. Orang Cina beranggapan bahwa manusia harus dapat menyesuaikan diri dengan ritme alam semesta. kehidupan harus harmonis dengan tiga dasar yaitu: kehidupan langit, bumi, dan kehidupan manusia itu sendiri. Di samping itu harus disesuaikan pula dengan fengsui yang berarti angin dan air. Penyesuaian itu berarti hidup manusia itu harus disesuaikan dengan arah angin dan keadaan air di mana manusia bertempat tinggal. Tiap bangunan yang dipergunakan harus pula disesuaikan dengan keadaan fengsui, sehingga akan terhindar dari segala malapetaka.[3]
Kedua prinsip yin dan yang ini merupakan nafas dan kekuatan yang dilambangkan dalam bentuk lingkaran yang dibagi dalam dua bagian dengan garis yang saling melingkar yang memisahkan yang dan ying. Bulatan melambangkan prinsip alam semesta, dimana alam semesta ini terwujud oleh karena kedua prinsip kesatuan antara yang dan yin. “Yang” merupakan daya cipta suatu sifat Tuhan yang memberi gerakan dan hidup kepada sesuatu. “Yin” bersifat bahan atau zat yang diberi kemampuan menerima “yang”, sehingga terjadilah hidup dan bergerak. Dengan kata lain, “yang” bersifat memberi dan memperbanyak, sedangkan “yin” bersifat menerima dan menyimpan. Adanya kesatuan hidup ini terjelmalah fenomena alam semesta seperti: air, kayu, bumi, dan makhluk hidup di dalamnya. Penciptaan dan pergerakan kesatuan yang dan yin tunduk dan mengikuti hukum tata kehidupan alam semesta, sehingga dengan demikian bergerak dengan teratur dan berirama. Ritme ini mengisi dan mengatur setiap ruangan di alam semesta ini seperti jalannya matahari, bintang, bulan, pergantian musim, dan lain-lain. Ritme ini disebut tao yaitu bagaimana sesuatu di dunia itu dijadikan dan jalan bagaimana orang harus mengatur hidup. Tao adalah jalan Tuhan. Dasar demikian inilah yang selanjutnya menimbulkan paham Taoisme.
Dalam kehidupan orang Cina, ada tiga ajaran yang mereka anut yaitu Toisme, Konfusianisme, dan Buddha. Ketiga ajaran ini sudah saling menyatu (sinkretisme) dan dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw (dialek Hokkian). Dalam kehidupannya, orang Cina memang sangat toleran terhadap soal-soal agama. Setiap agama dianggap baik dan bermanfaat, begitu pula dengan ajaran Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha yang mempunyai banyak kesamaan-kesamaan pandangan dan saling membutuhkan sehingga ketiga ajaran tersebut berpadu menjadi satu.[4]

Toisme
Taoisme merupakan ajaran pertama bagi orang Cina yang dikemukakan Laotze. Ia dilahirkan di Provinsi Hunan pada tahun 604 SM. Dikisahkan, Laotze merasa amat kecewa akan kehidupan dunia, sehingga ia memutuskan untuk pergi mengasingkan diri dengan tidak mencampuri urusan keduniawian. Ia kemudian menulis kitab Tao Te Ching yang kelak menjadi dasar pandangan ajaran Taoisme. Tao berarti “jalan” dan dalam arti luas yaitu realitas absolut, yang tidak terselami, dasar penyebab, dan akal budi. Kitab Tao Te Ching memuat ajaran bahwa seharusnya manusia mengikuti geraknya (hukum alam) yaitu dengan menilik kesederhanaan hukum alam. Dengan Tao manusia dapat menghindarkan diri dari segala keadaan yang bertentangan dengan irama alam semesta. Taoisme diakui sebagai suatu pre-sistematik berpikir terbesar di dunia yang telah mempengaruhi cara berpikir orang Cina.
Haryono (1994), menyimpulkan bahwa pada dasarnya filsafat Taoisme dibangun dengan tiga kata, yaitu:
1.      Tao Te, “tao” adalah kebenaran, hukum alam, sedangkan “te” adalah kebajikan. Jadi Tao Te berarti hukum alam yang merupakan irama dan kaidah yang mengatur bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya.
2.      Tzu-Yan artinya wajar. Manusia seharusnya hidup secara wajar, selaras dengan cara bekerja sama dengan alam.
3.      Wu-Wei berati tidak campur tangan dengan alam. Manusia tidak boleh mengubah apa yang sudah diatur oleh alam.
Pada zaman pertengahan dinasti Han muncul seorang yang bernama Zhang Dao-ling, yang juga menulis kitab Tao. Ia juga menyembuhkan orang sakit, membuat jimat sehingga banyak orang yang kemudian menjadi pengikutnya. Begitu besar pengaruhnya hingga pada akhirnya ajaran-ajarannya menjadi dasar dari agama Tao yang kemudian disebut Tao-Jiao. Di dalam penerapannya, aliran mereka berbeda dengan ajaran Tao yang dilontarkan oleh Laotze. Jika Laotze mengajarkan hidup selaras dengan alam, Tao-Jiao justru mengajarkan upaya untuk menentang kehendak alam. Usaha ini mereka lakukan dengan jalan melakukan tapa untuk hidup abadi, membuat jimat-jimat dan kias guna menolak pengaruh jahat, sakit, penyakit, dan sebagainya (Setiawan, dkk, 1982: 156-157). Dalam prakteknya, perwujudan ajaran Tao-Jiao antara lain berupa atraksi-atraksi seperti berjalan di atas bara api, memotong lidah, dan perayaan-perayaan tertentu.[5]

Konfusianisme
Konfusianisme atau Konghuchu mulai dikenal di Cina melalui pemikiran-pemikirannya yang cemerlang yang dilontarkan pada zaman Chou Timur (770-221 SM). Konghuchu lahir pada tahun 551 SM berasal dari kota Lu, Provinsi Shandong. Pada masa itu dinasti Chou tengah kehilangan kendali terhadap para tuan tanah yang menempati hampir setengah bagian dari wilayah Cina. Konghuchu dibesarkan oleh ibunya karena ia sudah kehilangan ayahnya ketika masih berusia tiga tahun. Ketika dewasa dan bekerja sebagai pegawai di kuil bangsawan Zhou, ia mengikuti semua detail-detail yang terdapat dalam perayaan yang akhirnya menjadikannya sebagai seorang yang ahli dalam ritual agama kuno.
Konfusianisme adalah humanisme, tujuan yang hendak dicapai adalah kesejahteraan manusia dalam hubungan yang harmonis dengan masyarakatnya. Kodrat manusia menurut konfusius adalah “pemberian langit”, yang berarti bahwa dalam hal tertentu ia berada di luar piliham manusia. Kesempurnaan manusia terletak dalam pemenuhannya sebagai manusia yang seharusnya. Moralitas merupakan realisasi dari rancangan yang ada dalam manusia. Oleh karena itu, tujuan manusia yang paling tinggi adalah menemukan petunjuk sentral bagi moral yang mempersatukan manusia dengan seluruh isi alam semesta. Bagi Konfusius, manusia adalah baian dari konstitutif dai seluruh isi alam semesta. Manusia harus berhubungan secara indah dan harmonis dengan harmoni alam di luarnya. Ungkapan yang paling terkenal yang merupakan inti ajarannya yaitu tidak berbuat kepada orang lain apa yang dia tidak sukai orang lain perbuatan pada dirinya. Secara praktis ajaran Konfusius dapat disimpulkan menjadi tiga pokok yaitu:[6]

1. Pemujaan terhadap Tuhan (Thian)
Konfusius mengajarkan keyakinan kepada pengikutnya bahwa Thian atau Tuhan menjadi awal atas sumber kesadaran alam semesta dan segalanya. Ia menekankan bahwa amat perlu untuk melakukan sembahyang korban terhadap Thian. Pengertian Tuhan dalam kepercayaan Tionghoa sebenarnya juga tidak berbeda dengan agama-agama yang lain yaitu sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya. Dalam kepercayaan kalangan rakyat, Tuhan biasanya disebut sebagai Thian atau Shangdi atau Siang Te (dialek Hokkian). Thian adalah penguasa tertinggi alam semesta ini. Karena itu, kedudukan-Nya berada di tempat yang paling agung, sedangkan para dewa dan malaikat yang lain adalah para pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan di alam semesta ini, sesuai dengan fungsinya masing-masing. Di dalam sistem pemerintahan ini, merupakan cerminan dari prinsip Yin dan Yang, yang diwujudkan dalam bentuk pemerintahan di dunia dan pemerintahan surga yang dilakukan oleh para dewa yang dipuncaki oleh Shangdi. Rakyat percaya pemerintahan surga memiliki struktur yang sama dengan pemerintahan dunia. Kalau pemerintahan dunia terdiri dari kaisar, para keluarganya, perdana menteri, menteri-menteri sipil dan militer, dan lain sebagainya, maka pemerintahan surga pun dipimpin oleh Shangdi dan dibantu para dewa-dewa baik sipil maupun militer untuk mengatur tata tertib di alam semesta ini. Sebab inilah maka para kaisar (hung-di) yang di bumi merasa perlu untuk memuja Shangdi (yang berkedudukan di atas) untuk memohon perlindungan dan berkah serta petunjuk-petunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan di mayapada ini agar selalu selaras dengan kehendak Shangdi (Shang=di atas, di=tanah).[7]
2. Pemujaan terhadap leluhur
Pemujaan terhadap leluhur adalah menolong seseorang untuk mengingat kembali asal-usulnya. Di sini asal mula manusia adalah dari leluhurnya. Upacara pemujaan terhadap leluhur di sini diperlukan sesaji. Sebagian besar aktifitas rumah tangga dalam keluarga Cina selalu berhubungan dengan roh leluhur. Salah satu fungsi utama dalam keluarga adalah melakasanakan pemujaan terhadap leluhur. Pemujaan leluhur dipandang sebagai perwujudan dari bakti anak terhadap orang tua dan leluhurnya (Xiao). Pelaksanaan upacara pemujaan leluhur dalam keluarga dipimpin oleh ayah sebagai kepala keluarga. Keluarga Cina menganut garus keturunan dari pihak ayah atau disebut patrilineal. Garis keturunan sangat penting bagi mereka guna menjaga kelangsungan keluarga. Oleh karena itu, anak laki-laki sangat penting untuk meneruskan garis keturunan.

3. Penghormatan terhadap Konfusius
Bagi orang Cina merupakan kewajiban mereka untuk menghormati Konghuchu yang mereka anggap sebagai guru besar seperti halnya penghormatan terhadap orang tua. Konghuchu dianggap telah berjasa dalam mengajarkan dasar-dasar ajaran moral yang sampai sekarang masih terus diterapkan. Filsafatnya yang pada akhirnya menyatu dengan kehidupan masyarakat Cina membuat secara keseluruhan ajaran Konfusius lebih banyak ditujukan kepada manusia sebagai makhluk hidup.[8] 

 

1.    Masa Awal Kedatangan Agama Budha Di Cina
Agama Budha masuk ke Cina melalui jalur sutra akan tetapi tidak diketahui secara pasti kapan agama Budha masuk ke Cina, namun pendapat yang umumnya diterima ialah pada masa dinasti Han.[1] Menurut ceritanya, pada tahun ketiga dari pemerintahannya Kaisar Ming Ti bermimpi melihat suatu benda terbuat dari emas yang terbang melayang-layang di atas istananya. Kepala benda itu bersinar seperti matahari dan bulan. Menurut tafsiran menterinya hal itu menunjukkan adanya kelahiran makhluk ilahi (Budha) disebelah Barat Cina. Kaisar Ming Ti segera mengutus 18 orang ke  India.[2]
Ketika kaisar Ming Ti (58-76 M) mengirimkan utusan ke India untuk meneliti agama Budha. Perkembangan awal agama tersebut di Cina kurang meperlihatkan hasil yang menggembirakan karena mendapat perlawanan dan tantangan dari kepercayaan dan filsafat asli Cina yang telah berkembang sebelumnya, seperti,  yang diajarkan oleh Konfusius, disamping ajaran dan filsafat Budha dianggap terlalu kaku dan metafisis sehingga dirasakan sangat bertentangan dengan alam pikiran Cina yang praktis dan matrealistis. Perkembangan yang mulai cukup pesat itu terjadi setelah abad kedua Masehi, yang antara lain jatuhnya dinasti Han yang diikuti dengan merosotnya paham konfusianisme dan Taonisme sehingga mengakibatkan Cina menghadapi periode kegelisahan Budaya. Tradisi dan struktur sosial yang ada mulai melemah, sementara alternatif baru belum muncul.[3]
Dalam situasi budaya seperti itulah, Budha Mahayana muncul dan dipandang mampu memenuhi kebutuhan yang ada dengan menawarkan suatu bentuk upacara keagamaan yang berbeda dari tradisi-tradisi yang sudah ada sebelumnya disatu pihak, dan dilain pihak kepercayaan dan tradisi asli tadi memberikan sumbangan dalam membentuk kualitas agama Budha yang merakyat di Cina.[4]
Sebelum agama Budha masuk ke Cina, Dao-Jiao (agama Tao) adalah agama yang tertua di Cina. Agama Budha yang di Cina disebut Fo-Jiao juga tidak lepas daripengaruh Dao-Jiao. Pengaruh Dao-Jiao menjadi kerangka dari kepercayaan masyarakat Cina, dalam perkembangannya dijumpai adanya Bhiksu yang memimpin kuli-kuil Dao. Para pendeta Dao sering kali juga membaca paritta agama Budha. Singkritisme yang berkembang di Cina dapat dikatakan bahwa agama Budha yang terpengaruh disana adalah Mahayana dalam perkembangannya yang terkhir.
Pada periode awal perkembangan agama Budha di Cina itu banyak didirikan wihara-wihara dan dilakukan penerjemahan naskah-naskah Budha ke dalam baahasa Cina. Salah seorang penerjemah yang terkenal adalah Sarvastivadin yang telah mengerjakan terjemahan tidak kurang dari 100 naskah Budha kedalam bahasa Cina.[5][6]
Agama Budha berkembang dengan baik sekali pada abad ke-6 dibawah pemerintahan Kaisar Liang.[7] Akan tetapi masa keemasan  agama Budha di Cina terjadi antara abad ke-7 M hingga abad ke-9 M, dibawah kekuasaan dinasti Tang. Pada masa ini kontak antara Cina dan India tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan saja, tetapi juga menyangkut bidang-bidang yang lain.[8]
Agama Budha yan di negeri Cina juga khususnya mempunyai bentuk yang menjadikannya jauh dari Agmaa Budha yang benar. Orang-orang Cina telah membalutnya dengan kebudayaan dan kehidupan mereka. Mereka menjadikan bilangan Tuhannya sebanyak 33tahun srabaimana yang telah mereka alkukan sebelum datangnya agama Budha. Untuknya mereka mendirikan kuil-kuil yang menarik dengan dihiasi karya seni yang indah. Diantara sebab-seba yang mendorong orang-orang Cina menerima ajaran Budha ini adalah karena ia masuk knegara mereka sesudah Budha dijadikan sbagai Tuhan dan patung-patungnya dijadikan sebagai berhala-berhala yang disembah, kepadanya diberikan korban dan untuknya dilakukan upacara ritual. Mereka juga mempunyai cara-cara prmujaan terhadap Tuhan-Tuhan mereka yang hampir-hampir serupa dengan cara-cara ini. diantara sebab-sebab yang menarik mereka kepada penganutan agama Budha lagi adalah karena agama itu penyelamat dan bersih. Melalui Nirwana ia memberi kenikmatan dan kebahagiaan didalam hidup dan sesudah mati. Ia mendorong bersikap lembut dan sayang, mempengaruhi denan kebaikan dan mengahpuskan hawa nafsu yang xalim serta menjauhi kejahatan.[9]

2.    Masa Keemasan Pada Masa Kekuasaan Dinasti Tang
Masa keemasan agama Budha di Cina terjadi antara abad ke-7 M hingga abad ke-9 M dibawah kekuasaan dinasti Tang. Pada masa dinasti Tang, agama Budha  diadaptaskan dan dikombinasikan dengan kebudayaan setempat, seperti terlihat dalam berbagai karya seni yang bercorak keagamaan. Masa keemasaan ini juga ditandai dengan banyaknya ilmuan Cina yang melakukan perjalanan untuk mempelajari dan menulis sejarah agama keberbagai negeri termasuk Nusantara, menerjemahkan kitab-kitab Sutra dan memperkaya dengan ide-ide keagamaan  yang ganjil dan menakjubkan. Diantara para ilmuan itu adalah Fa Hien, Hi Nen Tsang dan I’sing.[10]
Namun kemajuan agama Budha di Cina itu ditandai pula dengan kebangkitan kembali Konfusianisme yang bersifat sosiallitis sehingga sering berbenturan dengan ajaran Budha yang menekankan pada kehidupan sejati melalui hidup membiara sebagai Bhikkhu. Pertentangan tersebut merembet pula pada tradisi Cina yang menekankan pada kehidupan keluarga disatu pihak, dengan ajaran agama Budha  untuk hidup selibat dan membiara dilain pihak, yang secara ekonomis tidak membantu pengembangan produktifitas keluarga dan masyarakat.[11]
            Pada tahun 845 timbullah penganiayaan terhadap orang-oranga Budha, yang disebabkan karena iri hati kaum Taois dan pengikut Kong Hu Cu. Beribu-ribu Biksu dipaksa untuk meninggalkan agama Budha. Semenjak itu agama Budha tidak dapat berkembang dengan baik.[12]
Namun sejauh itu agama Budha tetap mampu mengakomodasikan dirinya dengan kepercayaan tersebut sehingga memperoleh tempat sejajar dengan konfusianisme dan Taonisme. Bahkan ketiga-tiganya membentuk landasan filsafat dan agama di Cina yang di kenal  sebagai Sam Kauw, atau Tri Dharma, yang berarti tiga ajaran.[13]

3.    Masa Kemunduran Agama Budha Di Cina
Pada tahun 845 agama Buddha di China menghadapi cobaan berat. Kaisar Wu Zong yang berkuasa mengeluarkan perintah untuk melenyapkan pengaruh agama Buddha atas pertimbangan ekonomi. Lebih dari 4.600 vihāra dan 40.000 biara di wilayah kerajaan dihancurkan, lebih dari 260.500 bhikṣu-bhikṣuni dipaksa kembali ke kehidupan rumah tangga sementara lebih dari 150.000 dipaksa menjadi pekerja kerajaan. Dan tidak dapat dibayangkan banyaknya karya-karya sūtra dan sastra yang ditulis selama 6 dinasti ikut terbakar dan hancur.
Dalam keadaan yang sulit tersebut, agama Buddha dari aliran Chan saja yang dapat bertahan dan tidak banyak terpengaruh karena aliran ini tidak tergantung pada kitab-kitab ataupun upacara-upacara. Bhikṣu-bhikṣu aliran Chan dapat bekerja sendiri­sendiri untuk mendapatkan nafkahnya dan tidak tergantung dari masyarakat.
Krisis yang terjadi pada masyarakat China setelah runtuhnya dinasti Han telah diwarnai oleh nilai-nilai yang dibawa oleh ajaran agama Buddha yang masuk melewati Asia Tengah. Diseluruh wilayah kerajaan, baik di utara, selatan, maupun suku-suku nomad (pengembara) serta di lingkungan kaum terpelajar maupun masyarakat umum, agama Buddha diterima dengan tangan terbuka. Kemudian agama Buddha ikut berkembang dalam pasang surutnya dinasti-dinasti.
Ajaran agama Buddha mempunyai pengaruh yang kuat dalam kebudayaan China. Ajaran Mahāyāna membawa pengaruh terhadap seni patung dan seni lukis di negeri ini. Agama Buddha juga menambah perbendaharaan bahasa China serta menambah wawasan pandangan dan pemikiran bangsa China. Keberadaan ajaran Kong Hu Chu dan Tao yang ada tidak cukup kuat untuk menahan para cendekiawan pergi ke India mempelajari pandangan-pandangan baru. Menjelang akhir abad ke-8, kebudayaan China berkembang ke arah yang sebaliknya. Ketimpangan kehidupan biara dan kerajaan telah dijadikan alasan bagi penguasa untuk mengesampingkan agama Buddha dan mengembalikan pandangan asli yang berdasarkan ajaran Kong Hu Chu dan Tao. Beberapa waktu kemudian kedua ajaran asli China mengalami zaman kebangkitan kembali pada abad ke 10.[14]

4.    Tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan agama Buddha di Cina
a.       Kumarajiva (344-413M)
Kumarajiva dilahirkan di kara shard an tidak lama setelah itu ibunya memeluk agama Buddha dan menjalani kehidupan suci menjadoi Bhikkhuni. Dia mempunyai guru. Sejak berusia 9 tahun dia dibawa ibunya ke kasmir untuk belajar kitab-kitab dan filsafat agama Buddha. Dia juga mempunyai guru (Budhudatta) yang menganut pandangan Mahayana. Dengan penetahuan yang luas dan mendalam tentang filsafat aliran-aliran Buddha dan penguasaan terhadap bahasa Sansekerta maupun Cina.
b.      Paramatha (513-569M )
Adalah seorang sramana yang berasal dari suatu pendidikan agama Buddha dengan bahasa sankerta Paramatha juga menerjemahkan kitab-kitab sanskreta kedalam bahasa Cina.
c.       Bodhidarma (wafat tahun 528/536)
Bodhidarma pergi ke Cina bertujuan untuk memperkenalkan system filsafat. Filsafat Bodhidarma yaitu filsafat kekosongan (sunyata) dan sunyata tidak dapat dibandingkan dengan apapun juga. Aliran Bodhidarma ini berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan dengan keadaan.
d.      Huan-Tsang (602-664M)
Huan-Tsang merupakan seorang penulis sejarah maupun penerjemah kitab-kitab Sankerta kedalam bahasa Cina. Huan-Tsang menerjemahkan dengan cara bebas untuk menerjemahkan hal yang dimaksud, meniadakan pengulangan-pengulangan dan memberikan tambahan.
e.       Bodhiruci ( 571-727M)
Nama asli Budhiruci adalah Dharmaruci. Arti kata yang mengandung dari masing-masing nama tersebut adalah cinta-Dharma menjadi cinta pengetahuan. Bohiruci mempelajari beberapa ilmu pengetahuan se[erti astronomi, ilmu bumi dan agama serta menjadi Bhikkhu setelah mempelajari ilmu tersebut dan samsara hidupnya dia membaktikan dirinya untuk menerjemahkan kitab-kitab agama Buddha.[15]
 

1.    Aliran-aliran agama Budha Di Cina
Agama Budha di Cina juga melahirkan beberapa aliran besar dalam golongan Budha Mahayana, antara lain:
1) Aliran Chan atau Dyana, merupakan aliran yang bersifat meditatif, yang mengembangkan ajaran metafisis Madhyamika, digabungkan dengan ajaran Prajnaparamita dan ajaran Yogacara. Ketiganya disesuaikan dengan keadaan Cina. Kata Chan berarti meditasi sama dengan bahasa sansekerta, dhyana.[1]
 Pendirinya adalah Boddhidharma, asal India tetapi menetap di Cina anara 527-536 M. Boddhidharma dikenal sangat radikal terhadap kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Budha, dan bermaksud untuk kembali pada semangat ajaran Budha yang asli sehingga aliran yang didirikan sangat mengutamakan pada perenungan (kontemplasi) dan tidak banyak memberi tekanan pada teks-teks suci.[2]
Aliran ini berkembang pesat di Cina terutama pada Masa Hui Neng (838-713 M) karena mengaku mendapatkan ajarannya langsung dari Sakyamuni. Dalam perkembangannya kemudian, aliran ini dan berkembang di Jepang menjadi aliran Zen dan berpengaruh dalam kehidupan keagamaan di Cina maupun Jepang sampai hari ini. Seorang Bhikhhu Cina memberi warna lain pada aliran ini dengan menekankan ajarannya pada etos kerja pada kata-kata singkat :”Sehari tanpa kerja adalah sama dengan sehari tanpa makan. Kehidupan tidak hanya diisi dengan meditasi, tetapi juga dengan kerja.”[3]
2) Aliran Vinaya, didirikan oleh Too Hsuan (595-667), yang menekankan ajarannya pada pelaksanaan vinaya secara ketat. Menurut aliran ini, pengingkaran terhadap dunia dan kesusilaan merupakan kondisi yang sesuai dengan kehidupan Sang Budha. Oleh karena itu aliran ini menekankan pada kehidupan mistik membiara.[4]
3) Aliran Ching-t’u atau tanah putih, yang didirikan oleh Hin Yuan dan T’an Lun. Ajarannya didasarkan pada kitab amitayadhyana, sebuah kitab yang merupakan kelanjutan dari kitab Sukhauzatiyuha. Aliran ini menekankan pada pemujaan terhadap amida atau amitaba yang mewujudkan diri dalam Dewi Kwan In. Dewi Kuan-yin, barangkali seorang Dewi dari zama Cina Kuno , dihubungkan erat sekali dengan pemujaan kepada amitaba, yang dipandang sebagai Bodhisattwanya, sebagai Awalokiteswara.[5]
Sebutan Kuan-yin berarti “Ia yang melihat kebawah mendengarkan suara anak dipangkuannya. Kadang-kadang juga digambarkan berada disebelah kiri Amitaba. Kuan-yin biasanya dipuja untuk diminta pertolongannya dalam kesusahan, atau ingin mempunyai anak.”[6]
 Dengan menyebut nama Amitaba atau Amida, para pengikutnya berharap mendapat kebahagiaan, hilang kesedihan mereka, lepas dari sengsara dan masuk dalam surga. Karena ajarannya yang mudah dan sederhana, aliran ini berkembang cukup luas dalam masyarakat.[7]
Aliran-aliran lainnya adalah aliran Chen Yen  yang bercorak eksoteris dan banyak mempergunakan mantram dan mandala atau diagram magik dalam mencapai tingkat kebudhaan. Aliran Tien T’ai yang didirikan oleh Chih-Yi, seorang ahli tafsir kitab-kitab sutra, dengan ajarannya yang menekankan pada dharma dan meditasi dan sebagainya.[8]
Detelah masa keemasan hingga akhir abad ke-7 M, agama Budha di Cina pelahan-lahan mulai mengalami kemunduran. Pada dinasti Sung (960-1279), terutama akibat perubahan sikap pemerintah dalam hubungan antara agama dan negara, semua agama mendapatkan kesempatan yang sama untuk hidup dan berkembang, sehingga ide-ide Konfusianisme lambat laun mendominasi kehidupan agama dan polotik di Cina.[9]
Lebih-lebih pada masa kekuasaan akhir dinasti Tang, ketika penguasa baru Cina yang berasal dari mancu lebih cenderung pada Konfusianisme dari pada agama Budha. Selaian itu, agama Budha di Cina sudah mencapai titik jenuhnya sehingga tidak lagi mampu memberikan semangat baru untuk mengembangkan kreatifitasnya sendiri. Disamping itu agama Budha sendiri muncul kecenderungan  ke arah bentuk-bentuk keagamaan yang lebih bersumber ke Cina dari pada India sehingga keasliannya semakin berkurang.[10]

2.    Bentuk-Bentuk Budha di Cina
a.       Yao Shi Fo (Bhaisjya Buddha)
Yao Shi Fo (Hokkian: Yok Su Hud) atau Bhaisjya Buddha adalah salah satu Budha dari masa paling awal. Beliau terkenal sebagai Budha yang ahli dalam menyembuhkan penyakit. Banyak pihak yang memperoleh berkah berupa kesembuhan secara ajaib dari penyakit. Hal ini menjadikan Yao Shi Fo sebagai guru pengobatan amat dekat dengan hari masyarakat luas. Selain memberikan kesembuhan Yao Shi Fo juga menghindarkan malapetaka serta memberikan berkah kemakmuran untuk mereka yang memuja nya. Hari ulangtahun Yao Shi Fo diperingati pada tanggal 30 bulan 9 Imlek.
Sebagai Bodhisatva, Yao shi Fo pernah mengucapkan 12 jqnji agung ialah berkaitan dengan membebaskan manusia dari penyakit badaniah dan mengusir rasa was-was mereka yang kurag memperoleh bimbingan rohani.[11]
b.      Mi Tuo Fo (Amitaba Budha)
O Mi Tuo Fo (Amitaba Budha) disebut juga Wu Liang Shou Fo. Tradisi yang berkembang Budha Mahayana di Cina menyebutkan bahwa Amitabha sebelumnya adalah seorang raja. Ia meninggalkan tahta dan menjadikan bhiksu dengan nama Dharmakarsa yang berarti putra Dharma. Diilhami oleh khotbah Lokesvaraja Budha yang mengajarkan jalan penerangan yang sempurna, maka bhiksu Dharmakarsa mengucapkan 48 janji untuk menyelamatkan makhluk-makhluk yang menderita. Sejak itu ia disebut Bodhisatva Dharmakarsa.
Setelah melewati 5 masa penempatan diri memeproleh penerangan sempurna dan menjadi Budha amitabha. Hal ini memberikan keyakinan bahwa janji yang penuh belas kasih dan agung itu telah menjadi kenyataan
Doa penghormatan sederhana yang diucapkan Namo O mi Duo Fo yang berarti Namo amithabaha atau aku berlindung kepada Amitabha Budha. Hari lahir amiabha Budha diperingati pada tanggal 17 bulan 11 Imlek.[12]

c.       Budha Vairicana
Terdapat beberapa terjemahan dari Budha vairocana, antara lain Budha yang keberadaannya dimana-mana secara universal. Rocana dan Hyang Budha yang dari tubuhnya memancarkan Cahaya yang terang benderang. Sekte atau aliran agama Budha menggunakan nama beliau seccara berbeda-beda. Sekte Avatamsaka menerima Budha vairocana ini sebaga Sang Penguasab atas dunia Bunga Teratai. Sekte Dharmalaksana membaangkan Budha Vairocana ini sebagai sifat diri dari Budha Sakyamuni sedangkan sekte Tien Tai memikirkjan Budha vairocana sebagai Dharmakaya dari Budha Sakyamuni. Aliran lain bersifat esoteric (yang mementingkan segi batin dari Dharma) memuja Budha Vaircana ini sebagai Sang Penguasa dari kendaraan rahasia dari perkataan yang benar. Dan masih banyak bentuk-bentuk Budha yang lainnya.[13]


3.    Bentuk Pendidikan Agama Budha Di Cina
Umat Buddha Cina Han tidak menghadapi penindasan separah yang dialami umat Tibet. Kegiatan mereka juga terbatas hanya pada kuil-kuil yang dibuka untuk ibadah. Dari 600 kuil dan wihara Cina Han di Beijing, hanya tiga yang masuk pada kelompok ini, ditambah satu kuil Tibet/Mongol. Sisanya adalah museum. Pada hari festival tahunan Guanyin (Avalokiteshvara) tahun ini, lebih dari dua ribu orang mengunjungi kuil Buddha utama di Beijing, Guangqi Si, tempat Persatuan Umat Buddha Cina berkedudukan. Akan tetapi, biasanya sekitar seratus orang datang pada beberapa hari khusus dalam kalender keagamaan di setiap bulan candra untuk membuat sesembahan dupa, dan pada hari-hari lain pengunjungnya bisa dihitung jari. Jumlah biksu pada kuil/wihara ini dibatas tiga puluh saja. Walaupun mereka melaksanakan upacara dua kali sehari selama satu jam, di waktu sisanya mereka bekerja sebagai penjaga. Tidak ada pelajaran karena tidak ada guru. Para biksu mencoba belajar sendiri.Sebelum guru mereka meninggal pada 1988, mereka belajar dan latihan meditasi bersama. Kini, mereka telah menghentikan latihan yang biasa mereka lakukan dan hanya beberapa saja yang lanjut berlatih di kamar masing-masing. Ada satu guru meditasi yang sudah tua yang kadang-kadang mengunjungi mereka, tapi ia juga harus melayani sekitar dua puluh kuil/wihara serupa di sekeliling Cina.
Sekitar delapan biksu Cina tiap tahun diizinkan untuk belajar ke luar negeri, sebagian besar di Sri Lanka. Di sana bentuk ajaran Buddha-nya berbeda sama sekali dengan aliran Cina. Walaupun ada minat besar terhadap ajaran Buddha di antara rakyat Cina Han, pemerintah tidak mengizinkan diadakannya pengajaran agama Buddha di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi. Pemerintah juga tidak mengizinkan dibangunnya kuil-kuil Cina baru dan perbaikan kuil-kuil yang lama sengaja diperlambat. Alasan resmi yang dikeluarkan pemerintah atas tindakan ini adalah bahwa terlalu banyak uang digelapkan oleh orang-orang yang mengumpulkan dana untuk pembangunan kuil-kuil tersebut.
Sekolah negeri Buddha Cina di Beijing terletak di kuil/wihara Fayun Si. Ini adalah satu dari lima perguruan serupa yang diatur pemerintah sebagai tempat melatih para biksu aliran Cina Han. Empat yang lain ada di Shanghai, Nanjing, Jiuhua di Anhui, dan Mingnan di Fujian. Agama Buddha Han terkuat di Shanghai dan khususnya Fujian, yang merupakan wilayah paling giat. Terdapat delapan puluh biksu di perguruan tersebut di Beijing yang menjalani pendidikan empat-tahun. Empat perguruan yang lain memiliki jumlah yang serupa dan ada pula beberapa sekolah pelatihan yang lebih kecil di kota-kota lain. Hampir seluruh pelatihan dimaksudkan untuk indoktrinasi politik.
Masyarakat Awam Buddha Beijing memiliki dua guru Cina Han yang usianya sudah kepala tujuh, yang mengikuti dan utamanya mengajarkan aliran Tibet. Persatuan tersebut memiliki sekitar 1200 anggota. Mereka hanya memiliki prasarana yang kecil dan sudah usang dan walaupun mereka telah mengumpulkan cukup banyak sumbangan untuk membangun gedung yang layak di atas tanah mereka, pemerintah tidak akan memberi.
Pemerintah Cina telah membangun sebuah kuil di Lumbini, Nepal, tempat lahir sang Buddha. Tahun ini, untuk pertama kalinya, pemerintah mengizinkan umat Buddha Cina untuk melakukan ziarah di Nepal dan India untuk pembukaan kuil ini. Jumlahnya dibatasi delapan puluh dan hanya bagi biksu saja. Dari delapan puluh ini, sepuluh di antaranya berasal dari aliran Tibet-Mongolia dan yang lain dari wihara-wihara Cina Han. Sepuluh bisku dari aliran Tibet-Mongolia dilarang untuk melanjutkan ziarah ke India, karena pemerintah waswas mereka akan berhubungan dengan Yang Mulia Dalai Lama. Ongkosnya $3000 untuk dua minggu – jauh di atas jangkauan sebagian besar orang.[14]
Mengenai tentang kitab agama Budha di Cina adalah Avadana (Legenda Budha) dan Prajaparamitha.

BAB III
PENUTUPAN
Agama Budha di India telah berlangsung kira-kira 2.600 tahun dan selama periode itu telah mengalami perkembangan yang pesat. Terutama perkembangan yang amat menonjol berada pada masa pemerintahan raja Asoka. Dimana Raja Asoka merupakan seorang raja yang baik, sopan dan taat beragama.  Asoka juga mengajarkan agar hidup rukun walau berbeda agama. Perkembangan agama Buddha tidak bisa lepas dari usaha-usaha Dharmaduta-Dharmaduta yang berjuang keras dalam mengembangkan agama Buddha. Raja Asoka termasuk salah satu raja yang aktif dalam mengembangkan agama Buddha dengan mengirimkan Dharmadutanya ke berbagai penjuru dunia. Dalam perkembangannya agama Buddha menjumpai tidak sedikit halangan termasuk dari berbagai agama bahkan dari aliran-aliran agama Buddha sendiri demi untuk kepentingan mereka pribadi
Setelah mengalami perkembangan yang mengesankan di India kurang lebih lima abad, akhirnya agama Budha mengalami kemunduran baik dari segi kualitas maupun kuantitatifnya. Pemasukan yang selalu bertambah dari unsur Hinduistik kedalam ajaran agama Budha, akhirnya menyebabkan keruntuhan agama Budha di India. Namun, kemunduran agama Budha di India dapat di pandang sebagia terbukanya kesempatan bagi agama Budha untuk berkembang di luar India. Teutama ke China.
            Agama Budha berkembang dengan baik sekali di China pada abad ke-6 dibawah pemerintahan Kaisar Laiang. Akan tetapi masa keemasan  agama Budha di Cina terjadi antara abad ke-7 M hingga abad ke-9 M, dibawah kekuasaan dinasti Tang. Pada masa ini kontak antara Cina dan India tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan saja, tetapi juga menyangkut bidang-bidang yang lain.
Dalam perkembangan agama buddha didunia sekarang ini sangat prsat sekali dibanding zaman yang dulu terutama dibelahan bumi bagian barat (Amerika dan eropa). Orang-orang dibarat saat ini lebih menyukai spritual dan filsafat orang-orang timur, dimana terjadi kebalikanya oarang timur lebih menyukai hal-hal yeng bersifat modern dan kapitalis yang dimiliki orang barat.
 
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. Agama-Agama Di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu Budha. Jakarta: Gunung Mulia. 2010
Honig, A.G. Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2009
Salab, Ahmad. Perbandingan Agama-Agama Besar Di Indonesia.Jakarta: PT. Bumi Aksara. 1998
Suwarto. T. Budha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis agama Budha Mahayana Indonesia. 1995
Tanggok, Ikhsan. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia. Jakarta:Pelita Kebajikan. 2005
Tim Penyusun. Kapita Selekta Agama Budha. Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi. 2003
T.S.G. Mulia. Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Dinas Pemerintahan Balai Pustaka. 1959

[1] Harun Hadiwiyono. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: Gunung Mulia. 2010, h. 97
[2] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 139
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Harun Hadiwiyono. Agama Hindu Budha. Jakarta: Gunung Mulia. 2010, h. 98
[6] Ibid., h. 97
[7] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 140
[8] Ibid
[9]Ibid
[10] Ibid
[11] Tim Penyusun. Kapita Selekta Agama Budha. Jakarta: CV. Dewi Kanaya Abadi. 2003, h. 96
[12] Ibid., h. 97
[13] Ibid


[1] Ibid
[2] Harun Hadiwiyono. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2010, h. 97
[3] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 138
[4] Ibid
[5] Tim Penyusun. Kapita Selekta Agama Budha. Jakarta: CV. Dewi Kanaya Abadi. 2003, h. 94
[6] Ibid
[7] Harun Hadiwiyono. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: Gunung Mulia. 2010, h.97
[8] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 138
[9] Ahmad Shalab. Perbandingan Agama-Agama Besar Di India. Jakarta: PT. Bumi aksara. 1998, h. 160
[10] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 139
[11] Ibid
[12] Harun Hadiwiyono. Agama Hindu Budha. Jakarta: Gunung Mulia. 2010, h. 97
[13] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 139


[1] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 137
[2] Ibid., h. 138
[3]Ikhsan Tanggok. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia. Jakarta:Pelita Kebajikan. 2005 h.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid



[1] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988
[4] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 137
[5] Ibid
[6] Ibid

[1] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988, h. 133
[2]T .S.G. Mulia. Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka. 1959, h. 20
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid, h.22
[6] Ibid, h, 23
[7] Ibid
[8] http//file:///E:/Buddha/sejarah-india-kuno.html. Diakses pada 14 Mei 2013 pukul 11.30 WIB
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] T .S.G. Mulia. Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka. 1959, h.
[12] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. h. 134
[14] Honig. Ilmu Agama . BPK Gunung Mulia, 1997, h. 220
[15] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. h. 134
[16] T.S.G. Mulia. India Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1959. h. 27-28
[17] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. h. 134
[18] Ahamad Shalab. Perbandingan Agama-Agama Besar Di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi aksara, 1998, h. 158
[19] T.S.G. Mulia. India Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1959. h. 28
[20] Ibid
[21] A.G.Honig. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia. 1997. h. 220
[22] T.S.G. Mulia. India Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka. 1959. h. 28
[23] Ibid
[24] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yoryakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 134
[25] T.S.G. Mulia. India Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Dinas Perbitan Balai Pustaka 1959, h. 29
[26] Ibid
[27]Ibid., h. 30
[28] Mukti Ali. Agam,a-agama di Dunia. Yogyakarta:IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 137
[29] A.G. Honig. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia, 1997
[30] Mukti Ali. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988, h. 137

[1] Suarto T. Budha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Budha  Mahaya Indonesia, 1995, h. 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar