Kompilasi Kitab suci Tripitaka
Asava | Delapan Jalan Utama | ||||
1. | Kilesa | 3. Ucapan Benar
4. Perbuatan Benar 5. Pencaharian Benar | Sila | ||
2. | Nivarana | 6. Daya-upaya Benar
7. Perhatian Benar 8. Konsentrasi Benar | Samadhi | ||
3. | Anusaya | 1. Pengertian Benar 2. Pikiran Benar | Pañña |
1. KITAB SUCI AGAMA BUDDHA
Kitab Suci Agama Buddha yang tertulis dalam Bahasa Pali adalah
TIPITAKA, yang terdiri dari :
- Vinaya Pitaka yang berisikan tata-tertib bagi para bhikkhu/bhikkhuni.
- Sutta Pitaka yang berisikan khotbah-khotbah Sang Buddha
- Abidhamma Pitaka yang berisikan Ajaran tentang metafisika dan ilmu kejiwaan.
- Avatamsaka Sutra.
- Lankavatara Sutra.
- Saddharma Pundarika Sutra.
- Vajracchendika Prajna Paramita Sutra (Kim Kong Keng), dan lain-lain.
- Paramatha-sacca : Kebenaran mutlak (absolute truth), dan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- Harus benar.
- Tidak terikat oleh waktu ; waktu dulu, sekarang dan waktu yang akan datang sama saja.
- Tidak terikat oleh tempat ; di sini, di Amerika ataupun di bulan sama saja.
- Sammuti-sacca : Kebenaran relatif ; berarti bahwa sesuatu itu benar, tetapimasih terikat oleh waktu dan tempat.
Ehipassiko berarti “datang dan alamilah sendiri”. Umat Buddha tidak diminta untuk percaya saja, tetapi justru untuk mengalami sendiri segala sesuatu. Ini menunjukkan khas Buddhis, berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Agama-agama lain.
4. EMPAT KESUNYATAAN MULIA
I. | Kesunyataan Mulia tentang Dukkha | |||||||
Hidup dalam bentuk apa pun adalah dukkha (penderitaan) : | ||||||||
a. | dilahirkan, usia tua, sakit, mati adalah penderitaan. | |||||||
b. | berhubungan dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan. | |||||||
c. | ditinggalkan oleh orang yang dicintai adalah penderitaan. | |||||||
d. | tidak memperoleh yang dicita-citakan adalah penderitaan. | |||||||
e. | masih memiliki lima khanda adalah penderitaan. | |||||||
Dukkha dapat juga dibagi sbb. : | ||||||||
a. | dukkha-dukkha | - | ialah penderitaan yang nyata, yang benar dirasakan sebagai penderitaan tubuh dan bathin, misalnya sakit kepala, sakit gigi, susah hati dll. | |||||
b. | viparinäma-dukkha | - | merupakan fakta bahwa semua perasaan senang dan bahagia –berdasarkan sifat ketidak-kekalan– di dalamnya mengandung benih-benih kekecewaan, kekesalan dll. | |||||
c. | sankhärä-dukkha | - | lima khanda adalah penderitaan ; selama masih ada lima khanda tak mungkin terbebas dari sakit fisik. |
II. | Kesunyataan Mulia tentang asal mula Dukkha | |||
Sumber dari penderitaan adalah tanhä, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Semakin diumbar semakin keras ia mencengkeram. Orang yang pasrah kepada tanhä sama saja dengan orang minum air asin untuk menghilangkan rasa hausnya. Rasa haus itu bukannya hilang, bahkan menjadi bertambah, karena air asin itu yang mengandung garam. Demikianlah, semakin orang pasrah kepada tanhä semakin keras tanhä itu mencengkeramnya. Dikenal tiga macam tanhä, yaitu : | ||||
1. | Kämatanhä : kehausan akan kesenangan indriya, ialah kehausan akan :
a. bentuk-bentuk (indah) b. suara-suara (merdu) c. wangi-wangian d. rasa-rasa (nikmat) e. sentuhan-sentuhan (lembut) f. bentuk-bentuk pikiran |
|||
2. | Bhavatanhä : kehausan untuk lahir kembali sebagai manusia berdasarkan kepercayaan tentang adanya “atma (roh) yang kekal dan terpisah” (attavada). | |||
3. | Vibhavatanhä : kehausan untuk memusnahkan diri, berdasarkan kepercayaan, bahwa setelah mati tamatlah riwayat tiap-tiap manusia (ucchedaväda). |
III. | Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya Dukkha | |||||||
Kalau tanhä dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan yang bahagia sekali, karena terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana. | ||||||||
a. | Sa-upadisesa-Nibbana | = | Nibbana masih bersisa. Dengan ‘sisa’ dimaksud bahwa lima khanda itu masih ada. | |||||
b. | An-upadisesa-Nibbana | = | Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Misalnya, kalau api padam, kejurusan mana api itu pergi? jawaban yang tepat : ‘tidak tahu’ Sebab api itu padam karena kehabisan bahan bakar. | |||||
IV. | Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha | |||||||
Delapan Jalan Utama (Jalan Utama Beruas Delapan) yang akan membawa kita ke Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha, yaitu : | ||||||||
Pañña | ||||||||
1. | Pengertian Benar (sammä-ditthi) | |||||||
2. | Pikiran Benar (sammä-sankappa) | |||||||
Sila | ||||||||
3. | Ucapan Benar (sammä-väcä) | |||||||
4. | Perbuatan Benar (sammä-kammanta) | |||||||
5. | Pencaharian Benar (sammä-ajiva) | |||||||
Samädhi | ||||||||
6. | Daya-upaya Benar (sammä-väyäma) | |||||||
7. | Perhatian Benar (sammä-sati) | |||||||
8. | Konsentrasi Benar (sammä-samädhi) |
Delapan Jalan Utama ini dapat lebih lanjut diperinci sbb. : | ||||||
1. | Pengertian Benar (sammä-ditthi) menembus arti dari : | |||||
a. | Empat Kesunyataan Mulia | |||||
b. | Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum) | |||||
c. | Hukum Paticca-Samuppäda | |||||
d. | Hukum Kamma | |||||
2. | Pikiran Benar (sammä-sankappa) | |||||
a. | Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian (nekkhamma-sankappa). | |||||
b. | Pikiran yang bebas dari kebencian (avyäpäda-sankappa) | |||||
c. | Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsä-sankappa) | |||||
3. | Ucapan Benar (sammä-väcä) Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika dapat memenuhi empat syarat di bawah ini : | |||||
a. | Ucapan itu benar | |||||
b. | Ucapan itu beralasan | |||||
c. | Ucapan itu berfaedah | |||||
d. | Ucapan itu tepat pada waktunya | |||||
4. | Perbuatan Benar (sammä-kammanta) | |||||
a. | Menghindari pembunuhan | |||||
b. | Menghindari pencurian | |||||
c. | Menghindari perbuatan a-susila | |||||
5. | Pencaharian Benar (sammä-ajiva) Lima pencaharian salah harus dihindari (M. 117), yaitu : | |||||
a. | Penipuan | |||||
b. | Ketidak-setiaan | |||||
c. | Penujuman | |||||
d. | Kecurangan | |||||
e. | Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat) | |||||
Di samping itu seorang siswa harus pula menghindari lima macam perdagangan , yaitu : | ||||||
a. | Berdagang alat senjata | |||||
b. | Berdagang mahluk hidup | |||||
c. | Berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup) | |||||
d. | Berdagang minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan | |||||
e. | Berdagang racun. | |||||
6. | Daya-upaya Benar (sammä-väyäma) | |||||
a. | Dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam bathin. | |||||
b. | Dengan sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan unsur-unsur jahat dan tidak baik, yang sudah ada di dalam bathin. | |||||
c. | Dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik dan sehat di dalam bathin. | |||||
d. | Berusaha keras untuk mempernyata, mengembangkan dan memperkuat unsur-unsur baik dan sehat yang sudah ada di dalam bathin. | |||||
7. | Perhatian Benar (sammä-sati) Sammä-sati ini terdiri dari latihan-latihan Vipassanä-Bhävanä (meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang hidup), yaitu : | |||||
a. | Käyä-nupassanä = Perenungan terhadap tubuh | |||||
b. | Vedanä-nupassanä = Perenungan terhadap perasaan. | |||||
c. | Cittä-nupassanä = Perenungan terhadap kesadaran. | |||||
d. | Dhammä-nupassanä = Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran. | |||||
8. | Konsentrasi Benar (sammä-samädhi) Latihan meditasi untuk mencapai Jhäna-Jhäna. |
Siswa yang telah berhasil melaksanakan Delapan Jalan Utama memperoleh : | |||
1. | Sila-visuddhi | - | Kesucian Sila sebagai hasil dari pelaksanaan Sila dan terkikis habisnya Kilesa. |
2. | Citta-visuddhi | - | Kesucian Bathin sebagai hasil dari pelaksanaan Samadhi dan terkikis habisnya Nivarana. |
3. | Ditthi-visuddhi | - | Kesucian Pandangan sebagai hasil dari pelaksanaan Pañña dan terkikis habisnya Anusaya. |
Untuk lebih jelasnya, hal tersebut di atas akan diterangkan lebih lanjut seperti di bawah ini : |
Asava | Delapan Jalan Utama | ||||
1. | Kilesa | 3. Ucapan Benar
4. Perbuatan Benar 5. Pencaharian Benar |
Sila | ||
2. | Nivarana | 6. Daya-upaya Benar
7. Perhatian Benar 8. Konsentrasi Benar |
Samadhi | ||
3. | Anusaya | 1. Pengertian Benar 2. Pikiran Benar | Pañña |
Asava = | Kekotoran bathin, dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan besar, yaitu: | |||
1. | Kilesa | = | Kekotoran bathin yang kasar dan dapat jelas dilihat atau didengar. | |
2. | Nivarana | = | Kekotoran bathin yang agak halus, yang agak sukar diketahui. | |
3. | Anusaya | = | Kekotoran bathin yang halus sekali dan sangat sukar untuk diketahui. |
BHAVANA | |||
Agama Buddha mengenal 2 (dua) macam meditasi (Bhavana) : | |||
I. | Samatha-bhavana | = | Meditasi untuk mendapatkan ketenangan bathin melalui Jhäna-Jhäna. |
Jhäna pertama : | a. | Vitakka | = | Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek. | |
b. | Vicära | = | Pikiran yang berhasil memegang obyek dengan kuat. | ||
c. | Piti | = | Kegiuran | ||
d. | Sukha | = | Kebahagiaan. | ||
e. | Ekaggata | = | Pemusatan pikiran yang kuat. | ||
Jhäna kedua | : | Vicära, Piti, Sukha, Ekaggata. | |||
Jhäna ketiga | : | Piti, Sukha, Ekaggata. | |||
Jhäna keempat | : | Sukha, Ekaggata. | |||
Jhäna kelima | : | Ekaggata + keseimbangan bathin. | |||
Meditasi Samatha-bhävanä yang sangat dipujikan ialah Brahma-Vihära-bhävanä yang terdiri dari : | |||||
1. | Mettä-bhävanä | = | Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek. | ||
2. | Karunä-bhävanä | = | Meditasi welas-asih terhadap semua mahluk yang sedang menderita. | ||
3. | Muditä-bhävanä | = | Meditasi yang mengandung simpati terhadap kebahagiaan orang lain. | ||
4. | Upekkhä-bhävanä | = | Meditasi keseimbangan bathin. | ||
Brahmä-Vihära-bhävanä dapat juga dipakai untuk melemahkan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. | |||||
Tiga Akar Perbuatan | |||||
Tiga hal yang di bawah ini dapat disebut sebagai tiga akar atau sumber untuk melakukan perbuatan, yaitu : | |||||
1. | Lobha | = | Kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu sehingga menimbulkan keserakahan. | ||
2. | Dosa | = | Penolakan yang sangat terhadap sesuatu sehingga menimbulkan kebencian. | ||
3. | Moha | = | Kebodohan ; tidak dapat menbeda-bedakan mana yang buruk dan mana yang baik. |
II. | Vipassanä-bhävanä | = | Meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang tentang hidup, tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda. |
Latihan-latihan Vipassanä-bhävanä sudah diterangkan sewaktu membahas Perhatian Benar (sammä-sati).
Tujuan dari latihan-latihan bhävanä ialah untuk menyingkirkan
Nivarana (lihat pembahasan Asava) yang dianggap sebagai
rintangan untuk memperoleh ketenangan bathin maupun
Pandangan Terang tentang hidup dan hakekat sesungguhnya
dari benda-benda. Perincian dari Nivarana adalah sbb. :1. Kämacchanda — nafsu keinginan 2. Vyäpäda — keinginan jahat, kebencian dan amarah. 3. Thina-middha — lamban, malas dan kesu. 4. Uddhacca-kukkucca — gelisah dan cemas. 5. Vicikicchä — keragu-raguan. Dalam tingkat kesucian, umat Buddha dapat dibagi dalam dua golongan : |
|||
1. | Puthujjana | - | Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang belum mencapai tingkat kesucian. |
2. | Ariya-puggalä | - | Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang setidak-tidaknya telah mencapai tingkat kesucian pertama. |
Tingkat kesucian | Belenggu yang harus dipatahkan ; | Lahir kembali | ||||||||||
1. Sotäpanna |
|
Maksimum 7 kali | ||||||||||
2. Sakadägämi | Melemahkan belenggu-belenggu nomor 4 dan 5. | 1 kali | ||||||||||
3. Anägämi |
|
Tidak akan terlahir kembali di alam manusia | ||||||||||
4. Arahat |
|
Mencapai Nibbana |
Keterangan | : | Perbedaan antara Avijjä dan Moha. |
Avijjä | = | Kebodohan/kegelapan bathin, karena tidak dapat menembus arti dari Empat Kesunyataan Mulia, Hukum Tilakkhana, Hukum Paticca-Samuppada, Hukum Kamma. |
Moha | = | Kebodohan/kegelapan bathin, karena tidak dapat membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik. |
Hukum Tilakkhana ini termasuk Hukum Kesunyataan ; berarti bahwa Hukum ini berlaku di mana-mana dan pada setiap waktu. Jadi tidak terikat oleh waktu dan tempat.
-
- Sabbe sankhärä aniccäSegala sesuatu dalam alam semesta ini yang
terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Umat
Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta ini
sebagai suatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak,
yaitu :
Uppada (timbul) Thiti (berlangsung) Bhanga (berakhir/lenyap) - Sabbe sankhärä dukkhaApa yang tidak kekal sebenarnya tidak memuaskan dan oleh karena itu adalah penderitaan.
- Sabbe Dhammä AnattäSegala sesuatu yang tercipta dan tidak tercipta adalah tanpa inti yang kekal/abadi.Contoh dari sesuatu yang tidak tercipta adalah Nibbana.
- Sabbe sankhärä aniccäSegala sesuatu dalam alam semesta ini yang
terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Umat
Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta ini
sebagai suatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak,
yaitu :
-
- AttavädaPaham bahwa atma (roh) adalah kekal-abadi dan akan berlangsung sepanjang masa (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
- UcchedavädaPaham bahwa setelah mati atma (roh) itu pun akan turut lenyap (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
Attaväda
- A + p = A + p
- (A + p) + p1 = A + p + p1
- (A + p + p1) + p2 = A + p + p1 + p2
- (A-p-p1-p2) + … + pn = A + p + p1 + p2 + … + pn
- A + p = Nihil
- A + p = BA = Atma, roh
- B + p1 = Cp = Pengalaman hidup
- C + p2 = DI, II, III = Kehidupan ke I, II, III.
Kesimpulan : Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut di atas, namun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven telah menjadi sesuatu yang baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam bentuknya yang semula.
LIMA KHANDHA
Dalam Agama Buddha diajarkan bahwa seorang manusia terdiri dari lima kelompok kehidupan/kegemaran (Khandha) yang saling bekerja-sama dengan erat sekali. Kelima kelompok kehidupan/kegemaran tersebut adalah :
- Rupa = Bentuk, tubuh, badan jasmani.
- Sañña = Pencerapan.
- Sankhära = Pikiran, bentuk-bentuk mental.
- Vedanä = Perasaan.
- Viññana = Kesadaran.
- RupaKita menangkap suatu rangsangan melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubuh yang merupakan bagian dari badan jasmani kita.
- Viññana (citta)Kita lalu akan menyadari bahwa bathin kita telah menangkap suatu rangsangan.
- SaññaRangsangan tersebut mencerap ke dalam bathin kita melalui suatu bagian dari otak kita, mengenal obyek.
- SankhäraRangsangan ini kita akan banding-bandingkan dengan pengalaman kita yang dulu-dulu melalui gambaran-gambaran pikiran yang tersimpan dalam bathin kita.
- VedanäDengan membanding-bandingkan ini lalu timbul suatu perasaan senang (suka) atau tidak senang (tidak suka) terhadap rangsangan yang telah tertangkap melalui panca indera kita.
Kesadaran Pencerapan Pikiran Perasaan.
Menurut Ajaran Sang Buddha, di dalam diri seorang manusia hanya terdapat lima khandha ini dan tidak dapat ditemukan suatu atma atau roh yang kekal dan abadi. Dengan cara ini, maka anattä diterangkan melalui analisa.
6.HUKUM PATICCA-SAMUPPADA
Paham anattä dapat pula diterangkan melalui cara sinthesa, yaitu melalui Hukum Paticca-Samuppada (Hukum Sebab-musabab Yang Saling Bergantungan). Prinsip dari Hukum ini diberikan dalam empat formula pendek, yaitu :
- Imasming Sati Idang Hoti Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
- Imassuppädä Idang UppajjatiDengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
- Imasming Asati Idang Na Hoti Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
- Imassa Nirodhä Idang Nirujjati Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.
- Avijjä Paccayä SankhäraDengan adanya kebodohan (ketidak-tahuan), maka terjadilah bentuk-bentuk karma.
- Sankhära Paccayä ViññänangDengan adanya bentuk-bentuk karma, maka terjadilah kesadaran.
- Viññäna Paccayä NamarupangDengan adanya kesadaran, maka terjadilah bathin dan badan jasmani.
- Namarupang Paccayä Saläyatanang.Dengan adanya bathin dan badan jasmani, maka terjadilah enam indriya
- Saläyatana Paccayä Phassa.Dengan adanya enam indriya, maka terjadilah kesan-kesan.
- Phassa Paccayä Vedanä.Dengan adanya kesan-kesan, maka terjadilah perasaan.
- Vedanä Paccayä Tanhä.Dengan adanya perasaan, maka terjadilah tanhä (keinginan).
- Tanhä Paccayä Upädänang.Dengan adanya tanhä (keinginan), maka terjadilah kemelekatan.
- Upädäna Paccayä Bhavo.Dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses tumimbal lahir.
- Bhava Paccayä Jati.Dengan adanya proses tumimbal lahir, maka terjadilah kelahiran kembali.
- Jati Paccayä Jaramaranang.Dengan adanya kelahiran kembali, maka terjadilah kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll.
- Jaramarana.Kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll. adalah akibat dari kelahiran kembali.
7. HUKUM KAMMA
Kamma adalah kata bahasa Pali yang berarti “perbuatan”, yang dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Makna yang luas dan sebenarnya dari Kamma, ialah semua kehendak atau keinginan dengan tidak membeda-bedakan apakah kehendak atau keinginan itu baik (bermoral) atau buruk (tidak bermoral), mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda :
“O, bhikkhu, kehendak untuk berbuat (Pali : Cetana) itulah yang Kami namakan Kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan badan, perkataan atau pikiran.”
Kamma bukanlah satu ajaran yang membuat manusia menjadi orang yang lekas berputus-asa, juga bukan ajaran tentang adanya satu nasib yang sudah ditakdirkan. Memang segala sesuatu yang lampau mempengaruhi keadaan sekarang atau pada saat ini, akan tetapi tidak menentukan seluruhnya, oleh karena kamma itu meliputi apa yang telah lampau dan keadaan pada saat ini, dan apa yang telah lampau bersama-sama dengan apa yang terjadi pada saat sekarang mempengaruhi pula hal-hal yang akan datang. Apa yang telah lampau sebenarnya merupakan dasar di mana hidup yang sekarang ini berlangsung dari satu saat ke lain saat dan apa yang akan datang masih akan dijalankan. Oleh karena itu, saat sekarang inilah yang nyata dan ada “di tangan kita” sendiri untuk digunakan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu kita harus hati-hati sekali dengan perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa akan bersifat baik.
Kita hendaknya selalu berbuat baik, yang bermaksud menolong mahluk-mahluk lain, membuat mahluk-mahluk lain bahagia, sehingga perbuatan ini akan membawa satu kamma-vipaka (akibat) yang baik dan memberi kekuatan kepada kita untuk melakukan kamma yang lebih baik lagi. Satu contoh yang klasik adalah sbb. :
Lemparkanlah batu ke dalam sebuah kolam yang tenang. Pertama-tama akan terdengar percikan air dan kemudian akan terlihat lingkaran-lingkaran gelombang. Perhatikanlah bagaimana lingkaran ini makin lama makin melebar, sehingga menjadi begitu lebar dan halus yang tidak dapat lagi dilihat oleh mata kita. Ini bukan berarti bahwa gerak tadi telah selesai, sebab bilamana gerak gelombang yang halus itu mencapai tepi kolam, ia akan dipantulkan kembali sampai mencapai tempat bekas di mana batu tadi dijatuhkan.
Begitulah semua akibat dari perbuatan kita akan kembali kepada kita seperti halnya dengan gelombang di kolam yang kembali ke tempat dimana batu itu dijatuhkan.
Sang Buddha pernah bersabda (Samyutta Nikaya I, hal. 227) sbb :
“Sesuai dengan benih yang telah ditaburkan begitulah buah yang akan dipetiknya, pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula. Tertaburlah olehmu biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah dari padanya”.
Segala sesuatu yang datang pada kita, yang menimpa diri kita, sesungguhnya benar adanya. Bilamana kita mengalami sesuatu yang membahagiakan, yakinlah bahwa kamma yang telah kita perbuat adalah benar. Sebaliknya bila ada sesuatu yang menimpa kita dan membuat kita tidak senang, kamma-vipaka itu menunjukkan bahwa kita telah berbuat suatu kesalahan. janganlah sekali-kali dilupakan hendaknya bahwa kamma-vipaka itu senantiasa benar. Ia tidak mencintai maupun membenci, pun tidak marah dan juga tidak memihak. Ia adalah hukum alam, yang dipercaya atau tidak dipercaya akan berlangsung terus.
Terdapat dua belas jenis bentuk-bentuk kamma yang tidak diperinci di sini. Bentuk kamma yang lebih berat (bermutu) dapat menekan — bahkan menggugurkan — bentuk-bentuk kamma yang lain. Ada orang yang menderita hebat karena perbuatan kecil, tetapi ada juga yang hampir tidak merasakan akibat apapun juga untuk perbuatan yang sama. Mengapa? Orang yang telah menimbun banyak kamma baik, tidak akan banyak menderita karena perbuatan itu, sebaliknya orang yang tidak banyak melakukan kamma-kamma baik akan menderita hebat.
Singkatnya : Kamma Vipaka dapat diperlunak, dibelokkan, ditekan, bahkan digugurkan.
Kamma dapat dibagi dalam tiga golongan :
- Kamma Pikiran (mano-kamma).
- Kamma Ucapan (vaci-kamma).
- Kamma Perbuatan (kaya-kamma).
- Gemar beramal dan bermurah hatiakan berakibat dengan diperolehnya kekayaan dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang.
- Hidup bersusilamengakibatkan terlahir kembali dalam keluarga luhur yang keadaannya berbahagia.
- Bermeditasiberakibat dengan terlahir kembali di alam-alam sorga.
- Berendah hati dan hormatmenyebabkan terlahir kembali dalam keluarga luhur.
- Berbaktiberbuah dengan diperolehnya penghargaan dari masyarakat.
- Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lainberbuah dengan terlahir kembali dalam keadaan berlebih-lebihan dalam banyak hal.
- Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lainmenyebabkan terlahir dalam lingkungan yang menggembirakan.
- Sering mendengarkan Dhammaberbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan.
- Menyebarkan Dhammaberbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan (sama dengan No. 8).
- Meluruskan pandangan orang lainberbuah dengan diperkuatnya keyakinan.
- Pembunuhanakibatnya pendek umur, berpenyakitan, senantiasa dalam kesedihan karena terpisah dari keadaan atau orang yang dicintai, dalam hidupnya senantiasa berada dalam ketakutan
- Pencurianakibatnya kemiskinan, dinista dan dihina, dirangsang oleh keinginan yang senantiasa tak tercapai, penghidupannya senantiasa tergantung pada orang lain.
- Perbuatan a-susilaakibatnya mempunyai banyak musuh, beristeri atau bersuami yang tidak disenangi, terlahir sebagai pria atau wanita yang tidak normal perasaan seksnya.
- Berdustaakibatnya menjadi sasaran penghinaan, tidak dipercaya khalayak ramai.
- Bergunjingakibatnya kehilangan sahabat-sahabat tanpa sebab yang berarti.
- Kata-kata kasar dan kotorakibatnya sering didakwa yang bukan-bukan oleh orang lain.
- Omong kosongakibatnya bertubuh cacad, berbicara tidak tegas, tidak dipercaya oleh khalayak ramai.
- Keserakahanakibatnya tidak tercapai keinginan yang sangat diharap-harapkan.
- Dendam, kemauan jahat / niat untuk mencelakakan mahluk lainakibatnya buruk rupa, macam-macam penyakit, watak tercela.
- Pandangan salahakibatnya tidak melihat keadaan yang sewajarnya, kurang bijaksana, kurang cerdas, penyakit yang lama sembuhnya, pendapat yang tercela.
Lima perbuatan durhaka di bawah ini mempunyai akibat yang sangat berat ialah kelahiran di alam neraka :
- Membunuh ibu.
- Membunuh ayah.
- Membunuh seorang Arahat.
- Melukai seorang Buddha.
- Menyebabkan perpecahan dalam Sangha.
8.HIRI DAN OTAPPA
Dua ciri khas yang dianggap dua sifat yang membantu melindungi dunia dari kekacauan :
- HiriPerasaan malu, yaitu malu melakukan hal-hal yang tidak baik.
- OtappaPerasaan takut, yaitu takut akan akibat yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
Dalam penghidupan seorang manusia tidak dapat terlepas dari 8 (delapan) keadaan, yaitu :
- läbha – aläbhauntung – rugi
- yasa – ayasaterkenal – tak terkenal
- nindä – pasamsädicela – dipuji
- sukha – dukkhagembira, bahagia – sedih, menderita dll
- .1. KITAB SUCI AGAMA BUDDHA Kitab Suci Agama Buddha yang tertulis dalam Bahasa Pali adalah TIPITAKA, yang terdiri dari : Vinaya Pitaka yang berisikan tata-tertib bagi para bhikkhu/bhikkhuni. Sutta Pitaka yang berisikan khotbah-khotbah Sang Buddha Abidhamma Pitaka yang berisikan Ajaran tentang metafisika dan ilmu kejiwaan. Sedangkan yang tertulis dalam bahasa Sansekerta adalah : Avatamsaka Sutra. Lankavatara Sutra. Saddharma Pundarika Sutra. Vajracchendika Prajna Paramita Sutra (Kim Kong Keng), dan lain-lain. 2. KESUNYATAAN DAN KENYATAAN Paramatha-sacca : Kebenaran mutlak (absolute truth), dan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : Harus benar. Tidak terikat oleh waktu ; waktu dulu, sekarang dan waktu yang akan datang sama saja. Tidak terikat oleh tempat ; di sini, di Amerika ataupun di bulan sama saja. Sammuti-sacca : Kebenaran relatif ; berarti bahwa sesuatu itu benar, tetapimasih terikat oleh waktu dan tempat. 3. EHIPASSIKO Ehipassiko berarti “datang dan alamilah sendiri”. Umat Buddha tidak diminta untuk percaya saja, tetapi justru untuk mengalami sendiri segala sesuatu. Ini menunjukkan khas Buddhis, berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Agama-agama lain. 4. EMPAT KESUNYATAAN MULIA I. Kesunyataan Mulia tentang Dukkha Hidup dalam bentuk apa pun adalah dukkha (penderitaan) : a. dilahirkan, usia tua, sakit, mati adalah penderitaan. b. berhubungan dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan. c. ditinggalkan oleh orang yang dicintai adalah penderitaan. d. tidak memperoleh yang dicita-citakan adalah penderitaan. e. masih memiliki lima khanda adalah penderitaan. Dukkha dapat juga dibagi sbb. : a. dukkha-dukkha - ialah penderitaan yang nyata, yang benar dirasakan sebagai penderitaan tubuh dan bathin, misalnya sakit kepala, sakit gigi, susah hati dll. b. viparinäma-dukkha - merupakan fakta bahwa semua perasaan senang dan bahagia –berdasarkan sifat ketidak-kekalan– di dalamnya mengandung benih-benih kekecewaan, kekesalan dll. c. sankhärä-dukkha - lima khanda adalah penderitaan ; selama masih ada lima khanda tak mungkin terbebas dari sakit fisik. II. Kesunyataan Mulia tentang asal mula Dukkha Sumber dari penderitaan adalah tanhä, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Semakin diumbar semakin keras ia mencengkeram. Orang yang pasrah kepada tanhä sama saja dengan orang minum air asin untuk menghilangkan rasa hausnya. Rasa haus itu bukannya hilang, bahkan menjadi bertambah, karena air asin itu yang mengandung garam. Demikianlah, semakin orang pasrah kepada tanhä semakin keras tanhä itu mencengkeramnya. Dikenal tiga macam tanhä, yaitu : 1. Kämatanhä : kehausan akan kesenangan indriya, ialah kehausan akan : a. bentuk-bentuk (indah) b. suara-suara (merdu) c. wangi-wangian d. rasa-rasa (nikmat) e. sentuhan-sentuhan (lembut) f. bentuk-bentuk pikiran 2. Bhavatanhä : kehausan untuk lahir kembali sebagai manusia berdasarkan kepercayaan tentang adanya “atma (roh) yang kekal dan terpisah” (attavada). 3. Vibhavatanhä : kehausan untuk memusnahkan diri, berdasarkan kepercayaan, bahwa setelah mati tamatlah riwayat tiap-tiap manusia (ucchedaväda). III. Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya Dukkha Kalau tanhä dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan yang bahagia sekali, karena terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana. a. Sa-upadisesa-Nibbana = Nibbana masih bersisa. Dengan ‘sisa’ dimaksud bahwa lima khanda itu masih ada. b. An-upadisesa-Nibbana = Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Misalnya, kalau api padam, kejurusan mana api itu pergi? jawaban yang tepat : ‘tidak tahu’ Sebab api itu padam karena kehabisan bahan bakar. IV. Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha Delapan Jalan Utama (Jalan Utama Beruas Delapan) yang akan membawa kita ke Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha, yaitu : Pañña 1. Pengertian Benar (sammä-ditthi) 2. Pikiran Benar (sammä-sankappa) Sila 3. Ucapan Benar (sammä-väcä) 4. Perbuatan Benar (sammä-kammanta) 5. Pencaharian Benar (sammä-ajiva) Samädhi 6. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma) 7. Perhatian Benar (sammä-sati) 8. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi) Delapan Jalan Utama ini dapat lebih lanjut diperinci sbb. : 1. Pengertian Benar (sammä-ditthi) menembus arti dari : a. Empat Kesunyataan Mulia b. Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum) c. Hukum Paticca-Samuppäda d. Hukum Kamma 2. Pikiran Benar (sammä-sankappa) a. Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian (nekkhamma-sankappa). b. Pikiran yang bebas dari kebencian (avyäpäda-sankappa) c. Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsä-sankappa) 3. Ucapan Benar (sammä-väcä) Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika dapat memenuhi empat syarat di bawah ini : a. Ucapan itu benar b. Ucapan itu beralasan c. Ucapan itu berfaedah d. Ucapan itu tepat pada waktunya 4. Perbuatan Benar (sammä-kammanta) a. Menghindari pembunuhan b. Menghindari pencurian c. Menghindari perbuatan a-susila 5. Pencaharian Benar (sammä-ajiva) Lima pencaharian salah harus dihindari (M. 117), yaitu : a. Penipuan b. Ketidak-setiaan c. Penujuman d. Kecurangan e. Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat) Di samping itu seorang siswa harus pula menghindari lima macam perdagangan , yaitu : a. Berdagang alat senjata b. Berdagang mahluk hidup c. Berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup) d. Berdagang minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan e. Berdagang racun. 6. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma) a. Dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam bathin. b. Dengan sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan unsur-unsur jahat dan tidak baik, yang sudah ada di dalam bathin. c. Dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik dan sehat di dalam bathin. d. Berusaha keras untuk mempernyata, mengembangkan dan memperkuat unsur-unsur baik dan sehat yang sudah ada di dalam bathin. 7. Perhatian Benar (sammä-sati) Sammä-sati ini terdiri dari latihan-latihan Vipassanä-Bhävanä (meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang hidup), yaitu : a. Käyä-nupassanä = Perenungan terhadap tubuh b. Vedanä-nupassanä = Perenungan terhadap perasaan. c. Cittä-nupassanä = Perenungan terhadap kesadaran. d. Dhammä-nupassanä = Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran. 8. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi) Latihan meditasi untuk mencapai Jhäna-Jhäna. Siswa yang telah berhasil melaksanakan Delapan Jalan Utama memperoleh : 1. Sila-visuddhi - Kesucian Sila sebagai hasil dari pelaksanaan Sila dan terkikis habisnya Kilesa. 2. Citta-visuddhi - Kesucian Bathin sebagai hasil dari pelaksanaan Samadhi dan terkikis habisnya Nivarana. 3. Ditthi-visuddhi - Kesucian Pandangan sebagai hasil dari pelaksanaan Pañña dan terkikis habisnya Anusaya. Untuk lebih jelasnya, hal tersebut di atas akan diterangkan lebih lanjut seperti di bawah ini : Asava Delapan Jalan Utama 1. Kilesa Kilesa 3. Ucapan Benar 4. Perbuatan Benar 5. Pencaharian Benar > Sila Line 2. Nivarana Nivarana 6. Daya-upaya Benar 7. Perhatian Benar 8. Konsentrasi Benar > Samadhi 3. Anusaya 1. Pengertian Benar 2. Pikiran Benar > Pañña Asava = Kekotoran bathin, dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan besar, yaitu: 1. Kilesa = Kekotoran bathin yang kasar dan dapat jelas dilihat atau didengar. 2. Nivarana = Kekotoran bathin yang agak halus, yang agak sukar diketahui. 3. Anusaya = Kekotoran bathin yang halus sekali dan sangat sukar untuk diketahui. BHAVANA Agama Buddha mengenal 2 (dua) macam meditasi (Bhavana) : I. Samatha-bhavana = Meditasi untuk mendapatkan ketenangan bathin melalui Jhäna-Jhäna. Jhäna pertama : a. Vitakka = Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek. b. Vicära = Pikiran yang berhasil memegang obyek dengan kuat. c. Piti = Kegiuran d. Sukha = Kebahagiaan. e. Ekaggata = Pemusatan pikiran yang kuat. Jhäna kedua : Vicära, Piti, Sukha, Ekaggata. Jhäna ketiga : Piti, Sukha, Ekaggata. Jhäna keempat : Sukha, Ekaggata. Jhäna kelima : Ekaggata + keseimbangan bathin. Meditasi Samatha-bhävanä yang sangat dipujikan ialah Brahma-Vihära-bhävanä yang terdiri dari : 1. Mettä-bhävanä = Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek. 2. Karunä-bhävanä = Meditasi welas-asih terhadap semua mahluk yang sedang menderita. 3. Muditä-bhävanä = Meditasi yang mengandung simpati terhadap kebahagiaan orang lain. 4. Upekkhä-bhävanä = Meditasi keseimbangan bathin. Brahmä-Vihära-bhävanä dapat juga dipakai untuk melemahkan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. Tiga Akar Perbuatan Tiga hal yang di bawah ini dapat disebut sebagai tiga akar atau sumber untuk melakukan perbuatan, yaitu : 1. Lobha = Kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu sehingga menimbulkan keserakahan. 2. Dosa = Penolakan yang sangat terhadap sesuatu sehingga menimbulkan kebencian. 3. Moha = Kebodohan ; tidak dapat menbeda-bedakan mana yang buruk dan mana yang baik. II. Vipassanä-bhävanä = Meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang tentang hidup, tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Latihan-latihan Vipassanä-bhävanä sudah diterangkan sewaktu membahas Perhatian Benar (sammä-sati). Tujuan dari latihan-latihan bhävanä ialah untuk menyingkirkan Nivarana (lihat pembahasan Asava) yang dianggap sebagai rintangan untuk memperoleh ketenangan bathin maupun Pandangan Terang tentang hidup dan hakekat sesungguhnya dari benda-benda. Perincian dari Nivarana adalah sbb. :1. Kämacchanda — nafsu keinginan 2. Vyäpäda — keinginan jahat, kebencian dan amarah. 3. Thina-middha — lamban, malas dan kesu. 4. Uddhacca-kukkucca — gelisah dan cemas. 5. Vicikicchä — keragu-raguan. Dalam tingkat kesucian, umat Buddha dapat dibagi dalam dua golongan : 1. Puthujjana - Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang belum mencapai tingkat kesucian. 2. Ariya-puggalä - Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang setidak-tidaknya telah mencapai tingkat kesucian pertama. Tingkat-tingkat kesucian Tingkat kesucian Belenggu yang harus dipatahkan ; Lahir kembali 1. Sotäpanna 1. Sakkäyaditthi = Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal. 2. Vicikicchä = Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya. 3. Silabbataparämäsa = Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Maksimum 7 kali 2. Sakadägämi Melemahkan belenggu-belenggu nomor 4 dan 5. 1 kali 3. Anägämi 4. Kämaräga = Nafsu Indriya. 5. Vyäpäda = Benci, keinginan tidak baik. Setelah meninggal dunia, seorang Anägämi akan terlahir di sorga Suddhavasa dan disitu akan mencapai Tingkat Arahat. Tidak akan terlahir kembali di alam manusia 4. Arahat 6. Ruparäga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk. 7. Aruparäga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk. 8. Mäna = Ketinggian hati yang halus. 9. Uddhacca = Bathin yang belum seimbang benar. 10. Avijjä = Kegelapan bathin. Mencapai Nibbana Keterangan : Perbedaan antara Avijjä dan Moha. Avijjä = Kebodohan/kegelapan bathin, karena tidak dapat menembus arti dari Empat Kesunyataan Mulia, Hukum Tilakkhana, Hukum Paticca-Samuppada, Hukum Kamma. Moha = Kebodohan/kegelapan bathin, karena tidak dapat membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik. 5.HUKUM TILAKKHANA (TIGA CORAK UMUM) Hukum Tilakkhana ini termasuk Hukum Kesunyataan ; berarti bahwa Hukum ini berlaku di mana-mana dan pada setiap waktu. Jadi tidak terikat oleh waktu dan tempat. Sabbe sankhärä aniccäSegala sesuatu dalam alam semesta ini yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Umat Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta ini sebagai suatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak, yaitu : Uppada Petunjuk (timbul) Thiti Petunjuk (berlangsung) Bhanga (berakhir/lenyap) Sabbe sankhärä dukkhaApa yang tidak kekal sebenarnya tidak memuaskan dan oleh karena itu adalah penderitaan. Sabbe Dhammä AnattäSegala sesuatu yang tercipta dan tidak tercipta adalah tanpa inti yang kekal/abadi.Contoh dari sesuatu yang tidak tercipta adalah Nibbana. Di samping paham anattä yang khas Buddhis terdapat juga dua paham lain yaitu : AttavädaPaham bahwa atma (roh) adalah kekal-abadi dan akan berlangsung sepanjang masa (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha). UcchedavädaPaham bahwa setelah mati atma (roh) itu pun akan turut lenyap (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha). Uraian secara matematika tentang ketiga paham tersebut adalah sbb. : Attaväda A + p = A + p (A + p) + p1 = A + p + p1 (A + p + p1) + p2 = A + p + p1 + p2 (A-p-p1-p2) + … + pn = A + p + p1 + p2 + … + pn Ucchedaväda A + p = Nihil Anattä A + p = BA = Atma, roh B + p1 = Cp = Pengalaman hidup C + p2 = DI, II, III = Kehidupan ke I, II, III. Contoh konkrit tentang paham anattä, misalnya kalau kita membuat roti. Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu, air, api, tenaga kerja dll.. Tetapi setelah menjadi roti tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian tertentu dan mengatakan : ini adalah tepungnya, ini garamnya, ini menteganya, ini airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan itu diaduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah sama sekali. Kesimpulan : Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut di atas, namun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven telah menjadi sesuatu yang baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam bentuknya yang semula. LIMA KHANDHA Dalam Agama Buddha diajarkan bahwa seorang manusia terdiri dari lima kelompok kehidupan/kegemaran (Khandha) yang saling bekerja-sama dengan erat sekali. Kelima kelompok kehidupan/kegemaran tersebut adalah : Rupa = Bentuk, tubuh, badan jasmani. Sañña = Pencerapan. Sankhära = Pikiran, bentuk-bentuk mental. Vedanä = Perasaan. Viññana = Kesadaran. Gabungan dari No. 2, 3, 4 dan 5 dapat juga dinamakan nama (bathin), sehingga seorang manusia dapat dikatakan terdiri dari rupa dan nama. Dalam menangkap rangsangan dari luar, maka bekerja-samanya lima khandha ini adalah sbb. : RupaKita menangkap suatu rangsangan melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubuh yang merupakan bagian dari badan jasmani kita. Viññana (citta)Kita lalu akan menyadari bahwa bathin kita telah menangkap suatu rangsangan. SaññaRangsangan tersebut mencerap ke dalam bathin kita melalui suatu bagian dari otak kita, mengenal obyek. SankhäraRangsangan ini kita akan banding-bandingkan dengan pengalaman kita yang dulu-dulu melalui gambaran-gambaran pikiran yang tersimpan dalam bathin kita. VedanäDengan membanding-bandingkan ini lalu timbul suatu perasaan senang (suka) atau tidak senang (tidak suka) terhadap rangsangan yang telah tertangkap melalui panca indera kita. Proses mental ini berlangsung sbb. : Kesadaran > Pencerapan > Pikiran > Perasaan. Menurut Ajaran Sang Buddha, di dalam diri seorang manusia hanya terdapat lima khandha ini dan tidak dapat ditemukan suatu atma atau roh yang kekal dan abadi. Dengan cara ini, maka anattä diterangkan melalui analisa. 6.HUKUM PATICCA-SAMUPPADA Paham anattä dapat pula diterangkan melalui cara sinthesa, yaitu melalui Hukum Paticca-Samuppada (Hukum Sebab-musabab Yang Saling Bergantungan). Prinsip dari Hukum ini diberikan dalam empat formula pendek, yaitu : Imasming Sati Idang Hoti Dengan adanya ini, maka terjadilah itu. Imassuppädä Idang UppajjatiDengan timbulnya ini, maka timbullah itu. Imasming Asati Idang Na Hoti Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu. Imassa Nirodhä Idang Nirujjati Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu. Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling bergantungan ini, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan juga berhentinya hidup dapat diterangkan dalam formula dari duabelas nidana (sebab-musabab) : Avijjä Paccayä SankhäraDengan adanya kebodohan (ketidak-tahuan), maka terjadilah bentuk-bentuk karma. Sankhära Paccayä ViññänangDengan adanya bentuk-bentuk karma, maka terjadilah kesadaran. Viññäna Paccayä NamarupangDengan adanya kesadaran, maka terjadilah bathin dan badan jasmani. Namarupang Paccayä Saläyatanang.Dengan adanya bathin dan badan jasmani, maka terjadilah enam indriya Saläyatana Paccayä Phassa.Dengan adanya enam indriya, maka terjadilah kesan-kesan. Phassa Paccayä Vedanä.Dengan adanya kesan-kesan, maka terjadilah perasaan. Vedanä Paccayä Tanhä.Dengan adanya perasaan, maka terjadilah tanhä (keinginan). Tanhä Paccayä Upädänang.Dengan adanya tanhä (keinginan), maka terjadilah kemelekatan. Upädäna Paccayä Bhavo.Dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses tumimbal lahir. Bhava Paccayä Jati.Dengan adanya proses tumimbal lahir, maka terjadilah kelahiran kembali. Jati Paccayä Jaramaranang.Dengan adanya kelahiran kembali, maka terjadilah kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll. Jaramarana.Kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll. adalah akibat dari kelahiran kembali. Demikianlah kehidupan itu timbul, berlangsung dan bersambung terus. Kalau kita mengambil rumus tersebut dalam arti yang sebaliknya, maka kita akan sampai kepada penghentian dari proses itu. Dengan terhenti seluruhnya dari kebodohan, maka terhenti pula bentuk-bentuk karma; dengan terhentinya bentuk-bentuk karma, maka terhenti pulalah kesadaran; ….. dengan terhentinya kelahiran kembali, maka terhenti pulalah kelapukan, kematian, kesedihan dll. 7. HUKUM KAMMA Kamma adalah kata bahasa Pali yang berarti “perbuatan”, yang dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Makna yang luas dan sebenarnya dari Kamma, ialah semua kehendak atau keinginan dengan tidak membeda-bedakan apakah kehendak atau keinginan itu baik (bermoral) atau buruk (tidak bermoral), mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda : “O, bhikkhu, kehendak untuk berbuat (Pali : Cetana) itulah yang Kami namakan Kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan badan, perkataan atau pikiran.” Kamma bukanlah satu ajaran yang membuat manusia menjadi orang yang lekas berputus-asa, juga bukan ajaran tentang adanya satu nasib yang sudah ditakdirkan. Memang segala sesuatu yang lampau mempengaruhi keadaan sekarang atau pada saat ini, akan tetapi tidak menentukan seluruhnya, oleh karena kamma itu meliputi apa yang telah lampau dan keadaan pada saat ini, dan apa yang telah lampau bersama-sama dengan apa yang terjadi pada saat sekarang mempengaruhi pula hal-hal yang akan datang. Apa yang telah lampau sebenarnya merupakan dasar di mana hidup yang sekarang ini berlangsung dari satu saat ke lain saat dan apa yang akan datang masih akan dijalankan. Oleh karena itu, saat sekarang inilah yang nyata dan ada “di tangan kita” sendiri untuk digunakan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu kita harus hati-hati sekali dengan perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa akan bersifat baik. Kita hendaknya selalu berbuat baik, yang bermaksud menolong mahluk-mahluk lain, membuat mahluk-mahluk lain bahagia, sehingga perbuatan ini akan membawa satu kamma-vipaka (akibat) yang baik dan memberi kekuatan kepada kita untuk melakukan kamma yang lebih baik lagi. Satu contoh yang klasik adalah sbb. : Lemparkanlah batu ke dalam sebuah kolam yang tenang. Pertama-tama akan terdengar percikan air dan kemudian akan terlihat lingkaran-lingkaran gelombang. Perhatikanlah bagaimana lingkaran ini makin lama makin melebar, sehingga menjadi begitu lebar dan halus yang tidak dapat lagi dilihat oleh mata kita. Ini bukan berarti bahwa gerak tadi telah selesai, sebab bilamana gerak gelombang yang halus itu mencapai tepi kolam, ia akan dipantulkan kembali sampai mencapai tempat bekas di mana batu tadi dijatuhkan. Begitulah semua akibat dari perbuatan kita akan kembali kepada kita seperti halnya dengan gelombang di kolam yang kembali ke tempat dimana batu itu dijatuhkan. Sang Buddha pernah bersabda (Samyutta Nikaya I, hal. 227) sbb : “Sesuai dengan benih yang telah ditaburkan begitulah buah yang akan dipetiknya, pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula. Tertaburlah olehmu biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah dari padanya”. Segala sesuatu yang datang pada kita, yang menimpa diri kita, sesungguhnya benar adanya. Bilamana kita mengalami sesuatu yang membahagiakan, yakinlah bahwa kamma yang telah kita perbuat adalah benar. Sebaliknya bila ada sesuatu yang menimpa kita dan membuat kita tidak senang, kamma-vipaka itu menunjukkan bahwa kita telah berbuat suatu kesalahan. janganlah sekali-kali dilupakan hendaknya bahwa kamma-vipaka itu senantiasa benar. Ia tidak mencintai maupun membenci, pun tidak marah dan juga tidak memihak. Ia adalah hukum alam, yang dipercaya atau tidak dipercaya akan berlangsung terus. Terdapat dua belas jenis bentuk-bentuk kamma yang tidak diperinci di sini. Bentuk kamma yang lebih berat (bermutu) dapat menekan — bahkan menggugurkan — bentuk-bentuk kamma yang lain. Ada orang yang menderita hebat karena perbuatan kecil, tetapi ada juga yang hampir tidak merasakan akibat apapun juga untuk perbuatan yang sama. Mengapa? Orang yang telah menimbun banyak kamma baik, tidak akan banyak menderita karena perbuatan itu, sebaliknya orang yang tidak banyak melakukan kamma-kamma baik akan menderita hebat. Singkatnya : Kamma Vipaka dapat diperlunak, dibelokkan, ditekan, bahkan digugurkan. Kamma dapat dibagi dalam tiga golongan : Kamma Pikiran (mano-kamma). Kamma Ucapan (vaci-kamma). Kamma Perbuatan (kaya-kamma). 10 (sepuluh) jenis kamma baik Gemar beramal dan bermurah hatiakan berakibat dengan diperolehnya kekayaan dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang. Hidup bersusilamengakibatkan terlahir kembali dalam keluarga luhur yang keadaannya berbahagia. Bermeditasiberakibat dengan terlahir kembali di alam-alam sorga. Berendah hati dan hormatmenyebabkan terlahir kembali dalam keluarga luhur. Berbaktiberbuah dengan diperolehnya penghargaan dari masyarakat. Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lainberbuah dengan terlahir kembali dalam keadaan berlebih-lebihan dalam banyak hal. Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lainmenyebabkan terlahir dalam lingkungan yang menggembirakan. Sering mendengarkan Dhammaberbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan. Menyebarkan Dhammaberbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan (sama dengan No. 8). Meluruskan pandangan orang lainberbuah dengan diperkuatnya keyakinan. 10 (sepuluh) jenis kamma buruk Pembunuhanakibatnya pendek umur, berpenyakitan, senantiasa dalam kesedihan karena terpisah dari keadaan atau orang yang dicintai, dalam hidupnya senantiasa berada dalam ketakutan Pencurianakibatnya kemiskinan, dinista dan dihina, dirangsang oleh keinginan yang senantiasa tak tercapai, penghidupannya senantiasa tergantung pada orang lain. Perbuatan a-susilaakibatnya mempunyai banyak musuh, beristeri atau bersuami yang tidak disenangi, terlahir sebagai pria atau wanita yang tidak normal perasaan seksnya. Berdustaakibatnya menjadi sasaran penghinaan, tidak dipercaya khalayak ramai. Bergunjingakibatnya kehilangan sahabat-sahabat tanpa sebab yang berarti. Kata-kata kasar dan kotorakibatnya sering didakwa yang bukan-bukan oleh orang lain. Omong kosongakibatnya bertubuh cacad, berbicara tidak tegas, tidak dipercaya oleh khalayak ramai. Keserakahanakibatnya tidak tercapai keinginan yang sangat diharap-harapkan. Dendam, kemauan jahat / niat untuk mencelakakan mahluk lainakibatnya buruk rupa, macam-macam penyakit, watak tercela. Pandangan salahakibatnya tidak melihat keadaan yang sewajarnya, kurang bijaksana, kurang cerdas, penyakit yang lama sembuhnya, pendapat yang tercela. Lima bentuk kamma celaka Lima perbuatan durhaka di bawah ini mempunyai akibat yang sangat berat ialah kelahiran di alam neraka : Membunuh ibu. Membunuh ayah. Membunuh seorang Arahat. Melukai seorang Buddha. Menyebabkan perpecahan dalam Sangha. 8.HIRI DAN OTAPPA Dua ciri khas yang dianggap dua sifat yang membantu melindungi dunia dari kekacauan : HiriPerasaan malu, yaitu malu melakukan hal-hal yang tidak baik. OtappaPerasaan takut, yaitu takut akan akibat yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. 9. ATTHALOKA-DHAMMA Dalam penghidupan seorang manusia tidak dapat terlepas dari 8 (delapan) keadaan, yaitu : läbha – aläbhauntung – rugi yasa – ayasaterkenal – tak terkenal nindä – pasamsädicela – dipuji sukha – dukkhagembira, bahagia – sedih, menderita dll.
- aOleh karena itu Kitab Suci agama Buddha dinamakan Tipitaka
(Pâli) atau Tripitaka (sansekerta).
Di antara kedua versi Pâli dan Sansekerta itu, pada dewasa ini hanya Kitab Suci Tipitaka (Pâli) yang masih terpelihara secara lengkap, dan Tipitaka (Pâli) ini pulalah yang merupakan kitab suci bagi agama Buddha mazhab Theravâda (Pâli Canon).
VINAYA PITAKA
Vinaya Pitaka berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni; terdiri atas tiga bagian :
1. Sutta Vibhanga
2. Khandhaka, dan
3. Parivâra.
Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
Kitab Khandhaka terbagi atas Mahâvagga dan Cullavagga. Kitab Mahâvagga berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru di mana dibacakan Pâtimokkha (peraturan disiplin bagi para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa), upacara pada akhir vassa (pavâranâ), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.
Kitab Cullavagga berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (âcariyâ) dan calon bhikkhu (sâmanera), pengucilan dari upacara pembacaan Pâtimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama di Râjagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali. Kitab Parivâra memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.
SUTTA PITAKA
Sutta Pitaka terdiri atas lima 'kumpulan' (nikâya) atau buku, yaitu :
1. Dîgha Nikâya,
merupakan buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang, dan terbagi menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahâvagga dan Pâtikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta yang terkenal ialah : Brahmajâla Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah), Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa), Sigâlovâda Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari umat berumah tangga), Mahâsatipatthâna Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang, Vipassanâ), Mahâparinibbâna Sutta (kisah mengenai hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama).
2. Majjhima Nikâya,
merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannâsa); dua pannâsa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannâsa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di antaranya ialah : Ratthapâla Sutta, Vâsettha Sutta, Angulimâla Sutta, Ânâpânasati Sutta, Kâyagatasati Sutta dan sebagainya.
3. Anguttara Nikâya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipâta (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan.
4. Samyutta Nikâya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.
5. Khuddaka Nikâya, merupakan buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas kumpulan lima belas kitab, yaitu :
a. Khuddakapâtha, berisi empat teks : Saranattâya, Dasasikkhapâda, Dvattimsakâra, Kumârapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana, Tirokudda, Nidhikanda dan Metta Sutta.
b. Dhammapada, terdiri atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
c. Udâna, merupakan kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab ini memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.
d. Itivuttaka, berisi 110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam bhagavâ (demikianlah sabda Sang Bhagavâ).
e. Sutta Nipâta, terdiri atas lima vagga : Uraga, Cûla, Mahâ, Atthaka dan Pârâyana Vagga. Empat vagga pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam belas sutta.
f. Vimânavatthu, menerangkan keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui perbuatan-perbuatan berjasa.
g. Petavatthu, merupakan kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari perbuatan-perbuatan tidak baik.
h. Theragâthâ, kumpulan syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang diucapkan oleh para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.
i. Therigâthâ, buku yang serupa dengan Theragâthâ yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri semasa hidup Sang Buddha.
j. Jâtaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu.
k. Niddesa, terbagi menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Mahâ-Niddesa. Culla-Niddesa berisi komentar atas Khaggavisâna Sutta yang terdapat dalam Pârâyana Vagga dari Sutta Nipâta; sedang Mahâ-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam Atthaka Vagga dari Sutta Nipâta.
l. Patisambhidâmagga, berisi uraian skolastik tentang jalan untuk mencapai pengetahuan suci. Buku ini terdiri atas tiga vagga : Mahâvagga, Yuganaddhavagga dan Paññâvagga, tiap-tiap vagga berisi sepuluh topik (kathâ).
m. Apadâna, berisi riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang semuanya hidup pada masa Sang Buddha.
n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah yang paling akhir.
o. Cariyâpitaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 pâramî yang dijalankan oleh Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariyâ.
ABHIDHAMMA PITAKA
Kitab Abhidhamma Pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara analitis dan mencakup berbagai bidang, seperti : ilmu jiwa, logika, etika dan metafisika. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku (pakarana), yaitu :
1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.
2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhâjaniya, Abhidhannabhâjaniya dan Pññâpucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
3. Dhâtukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.
4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikâya.
5. Kathâvatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (kathâ) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika.
6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Âyatana, Dhâtu, Sacca, Sankhârâ, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.
7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).
Gaya bahasa dalam Kitab Abhidhamma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis, berbeda dengan gaya bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang bersifat naratif, sederhana dan mudah dimengerti oleh umum.
Pada dewasa ini bagian dari Tipitaka yang telah diterjemahkan dan dibukukan ke dalam bahasa Indonesia baru Kitab Dhammapada dan beberapa Sutta dari Dîgha Nikâya.
http://mitta.tripod.com/kitab.htm
http://sulut.kemenag.go.id/file/file/BimasBuddha/fwtq1365897829.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Tipi%E1%B9%ADaka
Sejarah
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka ([Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sanskerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.
Sidang Agung I (Konsili I)
Sidang Agung I diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei) dan berlangsung selama 2 bulan. Sidang ini dipimpin oleh YA. Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat. Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha. Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu.
Tujuan dari sidang pertama ini adalah untuk menghimpun ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Mengulang Dhamma dan Vinaya agar ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.
Kesimpulan dari sidang pertama ini adalah Sangha tidak akan menetapkan hal-hal mana yang perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus dilaksanakan, juga tidak akan menambah apa-apa yang telah ada. Mengadili Y.A. Ananda. Mengucilkan Chana. Agama Buddha masih utuh.
Sidang Agung II (Konsili II)
Sidang Agung II diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah yang I) dan berlangsung selama 4 bulan. Dipimpin oleh YA. Revata dan dibantu oleh YA. Yasa serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu. Sidang diadakan di Vesali. Sponsor sidang agung ini adalah Raja Kalasoka.
Sidang kedua ini diadakan karena sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika) menghendaki untuk memperlunak Vinaya yang sangat keras (tetapi gagal).
Dalam sidang kedua ini kesalahan-kesalahan Bhikkhu-Bhikkhu dari suku Vajjis yang melangggar pacittiya dibicarakan, diakui bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang hadir menyatakan setuju. Pengulangan Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan nama "Satta Sati" atau "Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa dalam bidang pemurnian Vinaya.
Sidang Agung III (Konsili III)
Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I). Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta. Sidang diadakan di Pataliputta. Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja Asoka dari Suku Mauriya.
Tujuan sidang ini adalah untuk menertibkan perbedaan pendapat yang mengaktifkan perpecahan Sangha. Memeriksa dan menyempurnakan Kitab Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha). Raja Asoka meminta agar para Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, agar Bhikkhu Sangha bersih dari oknum-oknum yang bermaksud tidak baik.
Sidang ini menghasilkan keputusan untuk menghukum Bhikkhu-Bhikkhu selebor. Ajaran Abhidhamma diulang tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa, sehingga lengkaplah pengertian Tipitaka (Vinaya, Sutta, dan Abhidhamma). Jadi pengertian Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III. Y.A. Tissa memilih 10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami Ajaran Sang Buddha untuk menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka dan perhimpunan tersebut berlangsung selama 9 bulan.
Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua, yaitu : Theravãda (Sthaviravada) dan Mahasanghika. Sementara itu ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa pada Konsili III ini bukan merupakan konsili umum, tetapi hanya merupakan suatu konsili yang diadakan oleh Sthaviravada.
Sidang Agung IV (Konsili IV)
Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM). Dipimpin oleh Y.A. Rakhita Mahathera dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu. Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale.
Tujuan dari sidang keempat ini adalah mencari penyelesaian karena melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang mengancam Ajaran-ajaran dan kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak lain.
Keputusan sidang ini adalah supaya Tipitaka disempurnakan komentar dan penjelasannya serta menuliskan Tipitaka dan komentarnya di atas daun lontar.
Konsili ini diakui sebagai konsili yang ke IV oleh sekte Theravãda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar